Sejarah HMI dari Zaman Kemerdekaan Sampai Reformasi(M. Chozin Amirullah, Ketua Umum PB HMI MPO 2009-2011)

Penulis: M. Chozin Amirullah, Ketua Umum PB HMI MPO 2009-2011

Harian Kedaulatan rakyat tertanggal 28 Februari 1947 memuat sebuah berita demikian : “Baru-baru ini di Yogyakarta, telah didirikan Himpunan Mahasiswa Islam. Anggota-anggotanya terdiri dari mahasiswa-mahasiswa seluruh Indonesia yang beragama Islam. Perhimpunan akan menjadi anggota Kongres Mahasiswa Indonesia. Sekretariat : Asrama Mahasiswa, Setyodinigratan 5 Yogyakarta. Hanya ini pemberitaan yang kita dapati dari pers, sehubungan dengan berdirinya HMI”. Rabu Pon, 14 Rabiulawal 1366 H atau bertepatan dengan 5 Februari 1947 M pukul 16.00 WIB, lahir sebuah organisasi mahasiswa yang kelak menjadi wadah perkaderan bagi calon-calon pemimpin bangsa. Di tengah pergolakan nasional mempertahankan kemerdekan dan polarisasi kaum terpelajar ke dalam paham sosialisme, HMI muncul sebagai organisasi mahasiswa pertama yang memakai label Islam. 

HMI adalah singkatan dari Himpunan Mahasiswa Islam yang ide pertamanya dikemukakan oleh Lafran Pane. Bertempat di salah satu ruang kuliah Sekolah Tinggi Islam/STI (sekarang UII), Jl. Setyodiningratan 30 (Sekarang P. Senopati 30), Lafran Pane, sebagai penggagas pertama HMI memanfaatkan jam kuliah tafsir Alqur’an yang diasuh oleh Prof. Husein Yahya untuk mendeklarasikan pembentukan HMI. Dengan berdiri tegak di hadapan kelas yang dihadiri oleh lebih kurang 20 mahasiswa, ia membacakan prakata sebagai berikut: “Hari ini adalah rapat pembentukan organisasi mahasiswa Islam, karena seluruh persiapan maupun perlengkapan yang diperlukan sudah siap…”. Acara deklarasi tersebut selesai seiring dengan terbenamnya matahari di ufuk barat. Sejak itu HMI secara resmi berdiri dengan beberapa tokoh pendiri antara lain: Lafran Pane, Kartono, Dahlan Husein, Anton Timur Djaelani, Yusdi Ghozali dan lain-lain.

Berbicara mengenai berdirinya HMI, maka kita tidak akan lepas dari sosok yang paling berperan yaitu Lafran Pane. Lafran Pane dilahirkan di Tapanuli Selatan pada tahun 1925. Beliau adalah satu keluarga dengan Sanusi Pane dan Armyn Pane (penyair angkatan Pujangga Baru). Masa mudanya dipenuhi dengan petualangan dan pergulatan pemikiran yang amat keras, sehingga Lafran Pane muda dikenal dengan tingkah lakunya yang aneh dan ide-idenya sangat cerdas namun seringkali tidak sistematis. Pendidikanagamanya diawali di lingkungan Islam tradisionalis Summatera. Metode pembelajaran agama dengan pengenalan sifat dua puluh (konsep ini sama dengan model pembelajaran agama yang diterapkan oleh NU di Jawa) dikecap Lafran Pane waktu kecil. Setelah menginjak dewas, Lafran Pane kemudian melanjutkan pendidikan formalnya di sekolah-sekolah modern milik Muhammadiyah (Sitompul 1976). 

Semenjak berdirinya, HMI merupakan organisasi independen yang berbasis mahasiswa dengan mengutamakan kebebasan berpikir dan bertindak sesuai dengan hati nurani. Komitmen pada perjuangan Islam dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan idealisme yang selalu dipegang teguh oleh para kader HMI, Hal ini sebagaimana tercantum dalam tujuan awal pembentukan HM:
1. Mempertahankan Negara republik Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia.
2. Menegakkan dan mengembangkan Agama Islam


I. Latar Belakang Berdirinya HMI

a. Situasi Pergolakan Nasional
HMI berdiri pada saat dimana Indonesia harus mempertahankan kemerdekaan yang direbutnya pada tanggal 17 Agustus 1945 dari tangan penjajah. Keinginan untuk menjajah kembali, menjadikan Belanda datang lagi setelah Jepang bertekuk lutut di hadapan tentara sekutu. Dengan menumpang pasukan Sekutu yang mendarat pada tanggal 29 September 1945, Belanda kembali ke Indonesia dan melakukan serangan-serangan atas beberapa wilayah Indonesia. Perang kembali berkobar dan teriakan-teriakan “Allahu Akbar” kembali menggema, memberikan semangat pada pejuang-pejuang Indonesia. 

Beberapa perlawan dilakukan oleh bangsa kita, diantaranya adalah: Pertempuran 5 hari di Semarang (15-20 Oktober 1945), Pertempuran 15 Oktober 1945 di Padang, Pertempuran 7 Oktober 1945 di Kotabaru, Yogyakarta, dan puncaknya adalah Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Semuanya adalah dalam rangka mempertahankan bumi pertiwi dari tangan para penjajah. 

Selain perlawanan fisik, perlawanan dengan cara diplomasipun dilakukan. Dengan mengikuti perundingan Lingar Jati, Renville dan KMB (Konferensi Meja Bundar), para pemimpin kita berusaha menggunakan cara-cara moderat dan anti kekerasan untuk menjaga kesatuan wilayah nusantara.

Perundingan Linggar Jati dilakukan pada tanggal 25 maret 1947, menghasilkan kesepakatan tentang eksistensi wilayah Indonesia yang hanya meliputi: Jawa, Madura dan Summatera, serta pengakuan terhadap terbentuknya Negara Indonesia Serikat (RIS). Terlepas dari pro dan kontranya hasil perundingan itu, di kalangan tokoh-tokohpergerakan waktu itu, perundingan ini merupakan sebuah kemajuan bagi perjuangan pergerakan bangsa kita. 

Pasca perundingan, di tubuh kabinet terjadi perpecahan. Partai sosialis (yang memimpin kabinet) terpecah menjadi dua, yaitu sosialis demokrat yang dipelopori oleh Sutan Syahrir dan sosialis revolusioner (PKI) dengan tokohnya Amir Syarifuddin. Perpecahan ini berimbas diturunkannya Syahrir dari kursi perdana menteri dan digantikan oleh Amir Syarifuddin. Penggantian ini menimbulkan kemarahan di kalangan Masyumi dan termasuk HMI. Dengan demonstrasi-demonstrasi yang dilakukanya HMI bersama kekutan Islam lain, mereka menuntut dibubarkannya kabinet Amir Syarifuddin. 

Dasar penjajah, secara sepihak Belanda melakukan pelanggaran terhadap hasil-hasil perundingan itu. Tanggal 29 Juni 1947, Belanda melakukan agresi militer I dengan mengultimatum pengakuan wilayah Belanda atas Indoesia. Maka dengan segala kegigihan semangatnya, TNI yang dipimpin oleh Panglima Besar Jenderal Sudirman melakukan perang gerilya di hutan-hutan dan pegunungan. Perlawanan ini berakhir dengan ditandatanganinya perjanjian Renville di atas geladak kapal Renville milik AS. Poin penting dari perundingan tersebut adalah diadakanya gencatan senjata sambil menunggu perundingan lebih lanjut. 

Secara umum, hasil perundingan ini tidak memuaskan para pemimpin bangsa Indonesia waktu itu. Oleh kubu yang menentangnya, perundingan ini dijadikan sebagai alat untuk memukul balik Amir Syarifuddin dengan mengatakannya sebagai sebuah kemunduran dan kegagalan kabinetnya. Atas kegagalan ini, kabinet Amir Syarifuddin kemudian diganti dengan kabinet baru pimpinan Mohammad Hatta yang mendapat dukungan dari kalangan Islam, termasuk dari HMI. 

Tentu saja penggantian pergantian dari kabinet Amir Syarifuddin ke kabinet Mohammad Hatta ini sangat mengecewakan PKI dan para pengikutnya. Mereka berpikir keras bagaimana mengembalikan kekuasaan yang sebelumnya sudah di tangan, melalui Amir Syarifuddin. Kepulangan salah satu kader PKI, Muso, dari tugas belajarnya di Uni Sovyet (sekarang Rusia) menjadikan PKI seakan mendapatkan ruh barunya. Muso mampu memberikan pijakan ideologis yang kuat bagi PKI. Muso mengimpikan menjadikan Indonesia sebagai negara komunis murni, yang merupakan sebagai bagian dari Komunisme Internasional (Komintern). Duet Amir dan Muso inilah yang kemudian menjadikan PKI semakin radikal dan berani. Hatta dianggap sebagai representasi kaum borjuis yang kontra revolusi dan merupakan antek-antek kapitalis.

Klimaksnya adalah persitiwa berdarah, Madiun 1948, yang mengakibatkan hilangya lebih dari 150.000 nyawa anak bangsa tak berdosa. Waktu itu, PKI berhasil memobilisir massa petani Madiun untuk melakukan perlawanan terhadap negara. Konflik petani yang pada mulanya hanya perebutan atas tanah (yang kebanyakan dikuasai oleh golongan beragama dan nasionalis) berubah menjadi konflik antar kelompok pengikut komunis dan non-komunis, bahkan antar golongan agama dan non-agama (Juliantara 199). HMI sebagai bagian dari kelompok yang anti komunis terlibat dalam konflik ini. Dalam rangka penumpasan PKI di Madiun, HMI mengirimkan kader-kadernya dikirim ke Madiun. Mereka tergabung dalam CMI (Corps Mahasiswa Indonesia) yang dipimpin oleh Achmad Tirto Sudiro. 

Pasca konflik di Madiun, lagi-lagi Belanda menghianati perjanjian. Secara sepihak Belanda membatalkan perjanjian Renville dan melakukan penyerangan mendadak pada tnggal 19 Desember 1949 di Yogyakarta (terkenal dengan Agresi Milter II). Beberapa tokoh penting seperti Sukarno, Hatta, Agus Salim dan lainya ditangkap dan diasingkan. Beruntunglah pemerintah cekatan bertindak dengan segera membentuk pemerintahan Darurat di Summatera yang dipimpin oleh Syafruddin Prawiranegara. Maka secara de jure pemerintahan Indonesia masih eksis, meskipun Ibu Kotanya dikuasai oleh tentara gabungan (NICA) pimpinan Belanda. 

Tanggal 23 Agustus s.d. 2 November 1949, atas instruksi PBB, diadakanlah Konferensi Meja Bundar (KMB) yang diselenggarakan di Den Haag, Belanda. Dalam perundingan itu diputuskan pengakuan kedaulatn Indonesia oleh pemerintah Belanda pada tangga 10 Desmber 1949. Melalui momen inilah kemerdekaan Indonensia, yang sudah dideklarasikan 17 Agustus 1945, kembali direbut dan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) kembali berdaulat.

b. Kondisi Pergerakan Islam
Abad ke-19 merupakan abad modern dalam sejarah perkembangan peradaban Islam. Abad ini ditandai dengan munculnya pemikiran-pemikiran modern Islam yang mengilhami gerakan revivalisme Islam sebagai counter dari kuatnya hegemoni Barat terhadap peradaban dunia. Pemikir-pemikir Islam yang banyak dikenal pada masa itu misalnya adalah Jamalauddin Al-Afgani (1839-1897), Muhammad Abduh (1849-1915), Sir Sayyid Ahmad Khan (1817-1898), M. Iqbal (1876-196) dan sebagainya. Melalui karya-karya dan gerakannya meraka mengilhami munculnya gerakan revivalisme Islam di berbagai negara. Beberapa gerakan revivalis yang Muncul adalah Pan Islamisme, Jemi’at Al-Islami, Ikhwanul Muslimin dan sebagainya. Beberapa diantara pemikiran tersebut kemudian sampai ke Indonesia melalui tokoh-tokoh Islam Indonesia yang belajar ke timur. Hasim Asy’ari (NU), Ahmad Dahlan (Muhammadiyah), dan A. Hassan (Persis) merupakan beberap tokoh pelopor yang besar dan terdidik di Timur Tengah dan kemudian kembali ke Indonesia mendirikan organisasi ke-Islaman seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, dan Persatuan Islam (PERSIS). Di sisi lain, penerapan politik etis (Etische Politiek) oleh Belanda semakin memberikan kesempatan kepada para tokoh pribumi untuk mendapatkan pendidikan di Barat. Berbekal pendidikan inilah lantas tak sedikit kaum pribumi mulai dapat menyerap narasi-narasi besar (nansionalisme, demokrasi dan sosialisme) yang telah lebih dahulu berkembang di negeri lain. Mereka mulai mempelajari metode perjuangan terorganisasi, bahkan kemudian mempelopori gerakan penyadaran rakyat secara terorganisasi sebagai salah satu alat perjuangan (Purwanto 1999). 

Tersebutlah beberapa organisasi pergerakan Islam seperti yang lahir pada fase itu: Serikat Dagang Islam (1908), Sarikat Islam (1912), Muhammadiyah (1912), Persatuan Ummat Islam (1917), Persatuan Islam (1923), Nahdlatul Ulama (1926), Al-jami’atul Wasliyyah (1930) Perti, dan Al Irsyad (1931), yang mempelopori era baru perjuangan kemerdekan Indonesia secara lebih terorganisir. Meskipun pada mulanya organisasi-organisasi tersebut hanya bergerak dalam bidang sosial kemasyarakatan saja, akan tetapi sesuai dengan tuntutan perkembangan bangsa yang berkeinginan untuk segera mencapai kemerdekaannya, beberapa organisasi itu kemudian berubah menjadi partai politik. 

Salah satu organisasi kemasyarakatan Islam yang berubah menjadi partai politik adalah Sarekat Islam (SI). Pada tahun 193, SI berubah menjadoi Partai Sarikat Islam Indonesia atau disingkat PSII. Platform Islam sosialis atau Islam populis yang digagas oleh tokoh SI, HOS Cokroaminoto, mengalami kontraksi ideologis Ketika faksi-faksi SI yang lebih sekuler dan radikal berusaha menarik SI ke dalam wacana Sosialisme-Marxisme. Hendrik Sneevliet, pimpinan pusat Partai Sosialis di Belanda, bahkan sempat mengintrusikan beberapa orangnya masuk ke tubuh SI untuk tujuan ini. Semaun dan Darsono adalah dua orang yang berhasil dipengaruhinya. Sebagai pimpinan SI cabang Semarang, mereka berhasil membawa SI Cabang Semarang keluar dari hierakhi struktur SI dan masuk ke haluan komunis. Hal inilah yang kemudian menjadika SI terbelah menjadi dua, yaitu: SI merah, yang berhaluan komunis, dan SI putih, yang tetap berhaluan Islam. 

SI merah kemudian dikenal dengan Sarekat Rakyar (SR) dan menjadi embrio lahirnya PKI (23 Mei 1923), sedangkan SI putih, meski secara formal adalah SI yang asli, namun dalam perkembangannya mengalami gejala konservatisasi ideologi dan bergerak ke arah lebih kanan. Akibatnya SI mengalami kemerosotan luar biasa (Purwanto 1999). Karena mengalami degradasi, SI putih kemudian berubah menjadi PSII (Paerai Serikat Islam Indonesia) dan pada era pasca kemerdekaan lalu melebur bersama organisasi Islam yang lain ke dalam Masyumi. 

Puncak dari massifikasi perjuangan keorganisasian Islam adalah lahirnya Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) pada tahun 1945. Masyumi sebagai sebuah partai politik, lahir dari hasil dari Muktamar I Ummat Islam Indonesia yang diselenggarakan pada tanggal 7 November 1945. Pada mulanya Masyumi bukanlah merupakan sebuah partai politik, akan tetapi merupakan wadah tunggal yang dibentuk oleh pemerintah Jepang bagi ummat Muslim untuk mengkooptasi kekuatan-kekuatan Islam. Waktu itu namanya adalah MIAI (Majlis Islam A’la Indonesia) yang dipimpin oleh K.H. Hasyim As’ari (pendiri NU). 

Masyumi bisa menjadi payung bagi seluruh ummat Islam karena terbentuk dari gabungan beberapa organisasi Islam yang berbeda-beda. Dalam Mu’tamar Ummat Islam I tersebut, dihasilkan beberapa keputusan :
1) Mendirikan satu partai Islam yang bernama MASYUMI
2) MASYUMI adalah satu-satunya partai politik Islam, dan tidak boleh mendirikan partai politik Islam lain kecuali Masyumi.
3) MASYUMI-lah yang akan memperjuangkan nasib ummat Islam di bidang politik

Di Masyumi bukan hanya tergabung organisasi-organisasi Islam modernis saja, melainkan juga organisasi Islam puritan seperti Persis, organisasi yang mewakili kalangan Islam tradisional (NU dan Perti), juga organisasi Islam populis seperti PSII. Bersamaan dengan itu, dikalangan generasi muda, sebenarnya juga lahir organisasi yang bukan bercorak politik maupun sosial, akan tetapi bercorak intelektual. Organisiasi tersebut adalah Jong Islaminten Bond, yang didirkan pada tahun 1925 oleh seorang anak muda bernama R. Samsurijal (seorang anggota SI, mantan Wali Kota Jakarta). Tujuan organisasi ini adalah menyeru kepada para anggota agar sungguh-sungguh mempelajari Islam, memperkokoh cinta-kasih demi keimanan Islam, dan agara dengan sabar menjaga hubungan bersahabat dengan mereka yang menganut keimanan dan keyakinan ideologi lain (Mintareja 1974 dalam Sitompul 1976). Dilihat dari karakternya, organisasi ini identik dengan HMI. Dan berdasarkan keterangan beberapa sumber, berdirinya HMI memang salah satunya atas inspirasi dari Jong Islaminten Bond ini (Tanja 1978).

c. Kondisi Kampus dan Yogyakarta
Sebutan Yogyakarta sebagai kota pelajar dikarenakan kota ini sangat kondusif untuk menjadi pusat pengembangan pendidikan. Pada saat berdirinya HMI, beberapa perguruan tinggi yang ada di Yogyakarta adalah :
1. Sekolah Tinggi Islam (STI), tempat di mana HMI didirikan pada tanggal 8 Juli 1945. Mulanya sekolah ini berkedudukan di Jakarta, akan tetapi seiring pindahnya Ibu Kota RI ke Yogyakarta pada tahun 1946 akibat agresi Belanda, menjadikan STI juga turut pindah Ke Yogyakarta. Pada tanggal 20 Mei 1948, sekolah ini berubah nama menjadi UII (Universitas Islam Indonesia).
2. Universitas Gadjah Mada yang berdiri pada tanggal 17 Februari 1946 dan waktu itu belum menjadi universitas negeri. UGM baru dinegerikan pada tanggal 19 Desember 1949.
3. Akademi Ilmu Kepolisian (Akpol).
4. Sekolah Tinggi Teknik

Kuatnya penyebaran ide-ide sosialisme dikalangan masyarakat menjadikan organisasi mahasiswa yang ada didominasi oleh pemikiran-pemikiran sosialis. Nuansa-nuansa keagamaan menjadi kering karena PMY (Perserikatan Mahasiswa Yogyakarta), sebagai satu-satunya wadah mahasiswa waktu itu, meletakan landasanya pada non-agama. Tentu saja, bagi Lafran Pane dan kawan-kawannya, hal ini tidak bisa dibiarkan terus menerus. Harus ada organisasi mahasiswa yang perduli terhadap persoalan-persoalan keagamaan anggotanya. Meskipun untuk pembinaan generasi mudanya, masyarakat Islam Indonesia sudah mempunyai GPII (Gabungan Pemuda Islam Indonesia), akan tetapi belum ada organisasi untuk membina ke-Islaman untuk kalanganmahasiswa. Maka, atas kondisi ini, Lafran Pane dan kawan-kawanya berinisitaif mendirikan organisasi kemahasiswaan yang berlabelkan Islam. Organisasi tersebut kemudian diberi nama Himpunan Mahasiswa Islam atau disingkat HMI. 

Meskipun pada waktu itu status ia sendiri adalah sebagai salah satu pengurus PMY, dengan mendirikan HMI, ia dibenci oleh kawan-kawanya di PMY dan bahkan kemudian dipecat dari anggota PMY. Ia dianggap sebagai pembangkang dan sosok yang akan mengancam keberadan PMY. 

Menurut Lafran Pane, motivasi utama didirikannya HMI adalah sebagai berikut : 
“… Sebagai alat mengajak mahasiswa-mahasiswa mempelajari, mendalami ajaran Islam agar mereka kelak sebagai calon sarjana, tokoh masyarakat maupun negarawan, terdapat keseimbangan tugas dunia-akhirat, akal-kalbu, serta iman-ilmu pengetahuan, yang sekarang ini keadaan kemahasiswaan di Indonesia diancam krisis keseimbangan yang sangat membahayakan, karena sistem pendidikan barat. Islam harus dikembangkan dan disebarluaskan di kalangan masyarakat mahasiswa di luar STI (Sekolah Tinggi Islam), apalagi PMY secara tegas menyatakan berdasarkan non-agama…” (Saleh, 1996).


II. HMI tahun 50-an : “Perkembangan dan Pendewassan”

a. Disorganiozed
Pasca Konferensi Meja Bundar (KMB) kedaulatan kembali ke tangan Pemerintah RI. Namun demikian bukan berarti semua persoalan selesai. Konflik-konflik internal antara berbagai kepentingan ideologi semakin memanas dan menghabiskan banyak energi dan korban jiwa. Tiga ideologi besar yang menjadi kompartemen utama bangsa Indonesia, yaitu : Islam, Nasionalisme dan Komunisme saling berebut kekuasaan untuk mendominasi pimpinan kabinet. Akibatnya situasi politik tidak pernah stabil dan sering terjadi gonta-ganti kabinet. Pemberontakan PKI di Madiun pada tahun 1948 adalah salah satu klimaks dari adanya pertarungan ideologi-ideologi tersebut. 

Bagi HMI sendiri, masa tahun awal 50-an, oleh Dahlan Ranuwiharjo, disebut sebagai masa disorganized (kekacauan organisasi). Diresmikanya Perguruan Gadjah Mada menjadi Universitas Gadjah Mada (UGM) menjadikan beberapa perguruan tinggi yang berada di wilayah Yogyakarta dan beberapa kota lainnya diintegrasikan ke dalam UGM. Beberap diantaranya ialah Perguruan Kedokteran yang semula berada di Klaten, Solo dan Malang diintegrasikan menjadi Fakultas Kedokteran UGM, termasuk juga Akademi Pertanian di Klaten, kemudian menjadi Fakultas Pertanian UGM.

Oleh penyatuan beberapa perguruan tinggi ini, sebagai konsekuensinya, HMI kehilangan beberapa cabang yang berada beberapa daerah tersebut. Kondisi kampuspun menjadi kurang kondusif untuk aktifitas pergerakan karena ada kecenderungan mahasiswa kembali menggeluti dunia akademis (back to campus). Dunia akademis yang sebelumnya mengalami kevakuman karena ditinggalkan mahasiswanya turun ke medan perang melawan agresi militer Belanda, kini kembali marak oleh mahasiswa yang kembali lagi ke kampus dan menjalankan kuliah seperti biasanya. Sementara di sisi lain, sehubungan dengan kembalinya ibu kota negara ke Jakarta, personel PB HMI juga banyak yang pindah ke Jakarta. Beberapa pengurus PB HMI juga ada yang meneruskan kariernya di bidang militer, seperti A. Tirto Sudiro dan Hartono. 

Keadaan ini sangat mempengaruhi kinerja kepengurusan yang waktu itu dipimpin oleh oleh SH. Mintaredja. Akhirnya Lafran Pene dan beberapa pengurus lain seperti Dahlan Ranuwiharjo berusaha mengantisipasi keadaan ini dengan mengambil alih kepengurusan HMI. Beruntunglah, dengan cara ini, HMI masih bisa terselamatkan. Meskipun PB dalam keadan lemah, ekspansi cabang-cabang masih bisa berlangsung, Beberapa ekspansi cabang yang dilakukan diantaranya adalah pembentukan HMI Cabang Jakarta, Cabang Bogor, Cabang Bandung dan Cabang Surabaya. Di tingkat nasional, kepengurusan PPMI (Perserikatan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia – semacam KNPI-nya zaman itu) masih selalu dipegang kepemimpinanya oleh HMI. 

Pindahnya Ibu Kota kembali ke Jakarta pada tanggal 17 Agustus 1950 menjadikan HMI juga harus segera memindah sekretariatnya ke ibu kota yang baru. Pada bulan Juni 1950, secara resmi sekretariat HMI pindah ke dari Yogyakarta ke Jakarta, waktu itu HMI diketuai oleh Lukman Hakim. Pada kepemimpinan Lukman hakim ini rupanya HMI masih juga belum bisa terlepas dari kondisi keterpurukanya. Kinerja organisasi lamban, manajemen organisasi tidak bagus, dan anggotanya banyak yang tidak terurusi. 

Dalam kongres HMI II di Yogyakarta (Desember 1950) diputuskan Dahlan Ranuwiharjo sebagai ketua Umum HMI yang ke-3. Dibawah kepemimpinannya HMI mulai melakukan pembenahan kembali dengan membuka cabang-cabang baru. HMI jug aktif melakukan penggalian kembali nilai-nilai ke-HMI-an dengan tetap aktif mengontrol negara dengan memberikan aktif memberikan kritik dan saran kepada Presiden Sukarno. Masa-masa periode kepengurusannya, Dahlan Ranuwiharjo adalah sebagian kecil tokoh HMI yang dikenal sangat dekat dengan Sukarno.

b. Munculnya Organisasi Underbouw-nya partai
Semakin kuatnya persaingan antar kekuatan-kekuatan arus politik untuk menguasai parlemen, mendorong mereka untuk melakukan perluasan pengaruh di tingkat bawah. Beberapa cara yang ditempuh diantaranya ialah dengan membentuk organisasi-organisasi baru untuk dijadikan sebagai underbouw-nya. Termasuk di tingkat dunia kemahasiswaan, pertai-partai besar seperti PNI dan PKI, pada tahun 1953-1954, membentuk organisasi-organisasi kemahasiswaan underbouw. Tersebutlah GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia) yang merupakan underbouw PNI dan CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia) yang menjadi underbouw PKI. Dengan lahirnya organisasi mahasiswa underbouw partai tersebut, maka program-program organisasi mahasiswa tidak lagi lahir dari hasil pemikiran kritis mahasiswa yang Independen, akan tetapi lebih merupakan penerjamahan dari program-program partai induknya. 

Sebagai organisasi mahasiswa yang independen, HMI mendapatkan tantangan yang sangat besar. HMI adalah organisasi independen yang tidak dimaksudkan untuk menjadi senjata politik Masyumi atau suatu gabungan dari organisasi sosial atau pendidikan muslim apapun (Tanja, 1978). Akan tetapi sikap independen HMI ini tidak tersosialisasikan dengan baik ke organisasi lain. Dengan ciri Islam-nya, HMI sering dituduh sebagai alat kepentingan partai Islam seperti Masyumi. Bahkan tahun 1964 HMI nyaris dibubarkan karena tuduhan ini. HMI akhirnya masuk dalam pusaran konflik antar organisasi mahasiswa. 

Persaingan dalam memperebutkan kader baru dan dominasi di kampus tak jarang menimbulkan bentrokan fisik antar para pendukungnya. CGMI seringkali meneror anggota HMI dan melarang mereka aktif. CGMI bahkan melakukan gerakan-gerakan provokasi di kampus untuk membubarkan HMI. Demikian juga GMNI, sedikit banyak, organisasi ini turut serta dalam usaha-usaha mengganyag HMI.


III. HMI Tahun 60-an: “Perjuangan dan Eksistensi”

Bagi PKI, HMI merupakan musuh utama yang harus dilenyapkan setelah Masyumi. Sebab golongan agama, dalam doktrin komunis, adalah kelompok kontra revolusi isisnya adalah kaum borjuis kecil yang pro kapitalis-imperialis. PKI menuduh Masyumi (dan juga HMI) sebagai antek-anteknya Amerika yang berusaha menanamkan pengaruhnya di dunia ketiga untuk memenangkan perang dingin (Aidit 2001). Jika ingin menguasai Indonesia, tak ada jalan lain, selain yang pertama kali harus dihancurkan adalah kekuatan-kekuatan kaum beragama. Kaum nasionalis, meskipun juga menjadi penentang komunisme tidak cukup mempunyai kekuatan siginikan, karena merupakan produk ideologi lokal. 

NASAKOM (Nasionalis, Agama dan Komunis) diharapkan oleh Sukarno dapat menjadi pemersatu ketiga kekuatan ideologi besar yang berkompetisi menanamkan pengaruhnya dalam struktur negara. Ide tersebut ternyata hanya menjadi slogan yang semakin melegitimasi kekuasaan Sukarno. Pada tahap berikutnya Nasakom menjadi alat bagi PKI untuk melakukan hegemoni politiknya tanpa mau mengakomodasi kekuatan-kekuatan lain. Sebenarnya ide ini cukup baik jika diikuti dengan itikad baik dan perimbangan kekuatan antara elemen-elemen penyusunya. Akan tetapi lemahnya kekuatan Nasionalis dan Islam secara kualitatif menjadi tidak seimbang dengan kekuatan dan ambisi komunis untuk mengusai kabinet.

Kekukuhan HMI dalam membela Islam dan keterlibatanya dalam aksi pembasmian pemberontak PKI di Madiun tahun 1948 bersama militer cukup menjadi stimulus dendam mendalam bagi PKI. Oleh karena itu permusuhan HMI dengan PKI/CGMI semakin menjadi setelah Nasakom diberlakukn oleh Presiden Sukarno. HMI adalah organisasi yang menentang Nasakom. Tuduhan-tuduhan bahwa HMI merupakan underbouw-nya Masyumi, HMI terlibat dalam pemberontakan-pemberontakan Islam bersama Masyumi, HMI anti Pancasila, HMI menjadi antek Amerika dan sebagainya menjadi dalih bagi PKI untuk mengganyang HMI. 

Terhitung sejak tahun 1964 aksi-aksi mengganyangan HMI dengan berbgai tuduhan diatas mulai dilakukan oleh PKI. Koran-koran, majalah, aksi massa, forum-forum ilmiah dan bahkan menggunakan institusi perguruan tiggi untuk melarang aktifitas HMI. Lebh dari 30 mass media dan 46 organisasi massa digunakan oleh PKI untuk melakukan usaha-usaha pembubaran HMI. Bentuk-bentuk aksi yang mengarah pada pengganyangan HMI. Beberapa aksi tersebut diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Pelarangan HMI di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Cabang Jember pada tanggal 12 Mei 1964 oleh sekretaris fakultas yang bernama Prof. Dr. Ernest Utrecht S.H.
2. Mengeluarkan HMI dari Dewan Mahasiswa/Senat Mahasiswa yang tertuang dalam instruksi Majlis Mahasiswa Indonesia (MMI) pada bulan Agustus 1964. Semenjak bulan itu, diberbagai perguruan tinggi seperti di Yogyakarta, Medan, Jakarta dan sebagainya, HMI dikeluarkan dari DEMA bahkn tidak diperkenankan untuk mengikuti pemilihan ketua.
3. HMI dikeluarkan dari keanggotanya di PPMI.
Keberhasilan CGMI mendominansi PPMI menjadikanya hanya sebagai alat kepanjangan CGMI. HMI dikeluarkan dari keanggotaan PPMI secara sepihak. Protes yang dilakukan PMII mengnai keputusan itupun ditolak karena PKI telah menjadikan PPMI sebagai alat kepentinganya.
4. Memfitnah HMI dengan berbagai pamflet yang isinya antara lain memprovokasi massa agar mendukung pembubaran HMI.
5. Petisi Pembubaran HMI dengan memanfaatkan momen-momen rapat akbar seperi peringatan 17 agustus 1945 untuk mengluarkan statemen-statemen yang berisi pembubarn HMI.
6. Penyingkiran anggota HMI dari jabatan-jabatan strategis di kampus. Di beberapa perguruan tinggi, dosen-dosen yang berasal dari HMI tidak pernah diberi kesempatan untuk menduduki jabatan-jabatan tinggi oleh pengurus fakultas yang telah di dominasi PKI.

Beruntunglah hampir semua ormas Islam yang ada waktu itu secara gigih melakukan pembelaan terhadap HMI. Sehingga Sukarno, yang semula hampir-hampir saja membuat surat keputusan pembubaran HMI, membatalkan rencananya dan HMI bisa bertahan sampai sekarang. Pada tahun 1952, Masyumi sebagai satu-satunya partai Islam mulai mengalami perpecahan. Perpecahan itu dimulai dengan keluarnya NU dari Masyumi. Kekecewan golongan NU atas komposisi kepemimpinan di Masyumi yang dirasa tidak adil menyebabkan NU keluar dan mendirikan partai sendiri. NU merupakan konstituen terbesar Masyumi, sehingga dengan keluarnya NU dari Masyumi sangat mempengaruhi nasib Masyumi selanjutnya. Beberapa waktu kemudian beberapa elemen lain seperti Perti dan PSII juga ikut keluar. Selanjutnya Masyumi praktis hanya diisi oleh Muhammadiyah dan Persis (keduanya cenderung modernis dan puritan). 

Pada masa kepemimpinan M. Natsir kebijakan-kebijakan Masyumi banyak di arahkan kepada gerakan-gerakan ke arah formalisasi Islam dalam struktur negara. Contoh kongkritnya ialah Ketika Masyumi memperjuangkan negara Islam dalam sidang konstituante 1955. Keadaan ini menjadikan program-program yang berorientasi pada sosial dan kultural banyak terabaikan. Beberapa organisasi pendukung yang berasal dari kaum tradisionalis akhirnya melakukan protes yang berujung pada perpecahan itu. Akan tetapi hal ini bisa dipahami, mengingat saat itu Masyumi berhadap secara frontal dengan gerakan-gerakan marxis-sosialis (PKI) yang cenderung anti agama. Masyumi dibubarkan oleh Presiden Sukarno pada tahun 1960.


HMI: KAMI Sebagai Pelopor Tumbangnya Orde Lama

Kondisi negara yang kian terpuruk dengan ditandai oleh tingginya inflasi, mendorong HMI kembali mengambil inisiatif melakukan aksi-aksi protes terhadap pemerintah. Hegemoni PKI dalam kabinet yang kian kuat juga mendorong HMI bersama elemen-elemen Islam lainya berusaha untuk melakukan kritik kepada Presiden Sukarno melalui gerakan massa. Ditingkat organisasi mahasiswa PKI juga sudah semakin menghegemoni. PPMI yang pada awalnya merupakan independen akhirnya dikuasai oleh CGMI (PKI), termasuk juga MMI dan Front Pemuda. Dengan demikian nyaris tak ada lagi organisasi mahasiswa yang bisa kritis terhadap kekuasaan. 

PKI ada tanggal 30 September 1965 melakukan penculikan terhadap para petinggi Angkatan Darat yang terkenal dengan sebutan G 30 S/PKI. Peristiwa berdarah ini menjadi momen awal bagi masifnya gerakan-gerakan anti PKI oleh militer dan mahasiswa. Atas inisiatif Mar’ie Muhammad (wakil ketua HMI), mahasiswa membentuk organisasi bersama bernama KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia). KAMI berdiri pada tanggal 25 Oktober 1965 di Jakarta, tepatnya di Rumah salah satu menteri kabinetnya Sukarno bernama Syarif Thayib. 

Aksi pertama KAMI adalah rapat umum yang diselenggarakan di Fakultas Kedoteran Umum UI, Salemba, dengan tuntutan pembubaran beberapa organisasi yang menjadi underbouw PKI seperti CGMI, PERHIMI, HIS dan Akademi PKI. Seiring kuatnya tuntutan terhadap pembubaran PKI, KAMI kemudian menjadi satu-satunya lembaga aksi yang mewadahi seluruh mahasiswa Indonesia dengan tanpa membedakan agama dan golongan. Aksi-aksi Kami bisa melibatkan massa yang sangat banyak dan spontan karena mendapat dukungan dari seluruh mahasiswa Indonesi. Selain itu, dukungan dari TNI Angkatan Darat juga turut memperkuat mental para anggota KAMI. 

Puncak aksi KAMI adalah Ketika mengumandangkan Tritura (tiga tuntutan rakyat) bersama elemen-elemen aksi lain seperti KAPI, KAGI, KASI dan sebagainya di halaman fakultas kedokteran UI, pada tanggal 10 januari 1966. Adapaun isi Tritura adalah :
- Bubarkan PKI
- Retooling kabinet
- Turunkan harga

Sukarno menanggapi aksi-aski tersebut dengan menyatakan sebagai aksi yang kontra revolusioner. Ia malah membentuk kabinet baru yang beranggotakan beberapa orang yang disinyalir sebagai simpatisan PKI. Hal ini semakin menimbulkan kemarahan mahasiswa dan rakyat. KAMI meneruskan aksi-aksi dengan melibatkan lebih banyak massa. Pada tanggal 24 Januari 1966, saat pelantikan Kabinet Dwikora, KAMI melakukan aksinya lagi keluar kampus dengan melakukan pemboikotan jalan yang akan dilalui para calon menteri untuk pelantikan. Dalam aksi itulah terjadi bentrok antara mahasiswa dengan pasuka Cakrabirawa. Dua pahlawan Ampera yaitu Arif Rahman Hakim dan Zubaidah tewas tertembus peluru. Sehari setelah penguburan jenazah Pahlawan Ampera tersebut, Sukarno mengumukan pembubaran KAMI. 

Dengan pembubaran ini bukan berarti perjuangan berhenti, KAPPI yang dikomandani oleh M. Husni Thamrin mengambil alih posisi KAMI sebagai organisator massa. Sementara beberapa pimpinan KAMI seperti Cosmas Batubara (PMKRI), Zamroni (PMII) dan David Napitupulu diculik oleh orang tak dikenal, beberapa anggota KAMI yang lain tetapi berjuang dengan membentuk laskar-laskar Ampera di tiap daerah. Laskar-laskar inilah yang mengorganisir massa sehingga gaung Tritura sampai ke daerah-daerah. Aksipun berkembang sampai wilayah-wilayah propinsi. Bahkan aksi-aksi di Yogyakarta, Makasar dan lainya lebih heroik dan memakan lebih banyak korban jiwa. 

Keluarnya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) menandai lahirnya Orde Baru pimpinan Suharto. Ia diangkat menjadi pejabat presiden pada tahun 1967 oleh MPRS dan akhirnya dikukuhkan sebagai presiden definitif pada tahun 1969. Pasca kejatuhannya, Sukarno hidup sakit-sakitan isolasi oleh rezim Orde Baru sampai akhirnya wafat tahun 1972.


IV. HMI Tahun 70-an : “Intelektualitas dan Ambivalensi”

Banyak orang mengatakan bahwa tahun 70-an bisa dikatakan merupakan masa-masa bulan madu antar militer dan mahasiswa. Akhir tahun 60-an, militer bekerja sama dengan gerakan mahasiswa telah berhasil menumbangkam Orde Lama dan menggantinya dengan Orde Baru. Dalam hal ini yang dimaksud militer tentunya adalah Angkatan Darat, sedangkan dari gerakan mahasiswa HMI merupakan unsur dominan yang mempelopori gerakan lahirnya Orde Baru. Suharto yang berasal dari militer naik menjadi Presiden menggantikan Sukarno. Sebagai balas budi terhadap gerakan mahasiswa, Suharto memberikan jabatan-jabatan menterinya ke beberapa alumni HMI. Maka tak heran jika pada masa rezim Orde Baru yang dipimpin oleh Suharto, banyak sekali alumni yang menduduki jabatan-jabatan penting kenegaraan. Sebutlah nama-nama seperti Akbar Tandjung, A. Tirtosudiro, Abdul Gofur, dan sebagainya.

Sebenarnya gerakan mahasiswa tidak sadar kalau ternyata dalam gerakan penumbangan Orde Lama, militer mengambil keuntungan situasi untuk mengambil alih kekuasaan. Pasca tumbangnya Orde Lama, negara dipimpin oleh seorang militer dengan gaya kepemimpinan yang milteris pula. Kalaupun ada beberapa posisi penting diberikan kepada mantan aktivis gerakan mahasiswa, mereka hanya dijadikan subordinat saja dari sebuah kebijakan besar yang didikte oleh militer. Ibarat mobil mogok, tahun 60-an mahasiswa diminta bantuanya untuk mendorong mobil yang mogok tersebut agar hidup kembali. Akan tetapi setelah mobil bisa berjalan, mahasiswa ditinggalkan dan militerlah yang mengendarai mobil tersebut. 

Orde Baru dibangun atas dasar ideologi “developmentalisme” (pembangunanisme), di mana kemajuan suatu bangsa diukur dengan hanya secara material dan matematis. Pertumbuhan ekonomi menjadi parameter keberhasilan pembangunan suatu bangsa tanpa melihat kemerataan ekonominya. Ujung-ujungnya, pengistimewaan terhadap satu kelompok ekonomi tertentu menafikan dan bahkan mengorbankan ekonomi kerakyatan. Untuk mendukungnya kekuasaanya, Suharto memelihara para taipan menjadi konglomerat dan hutang luar negeri dijadikan pijakan utama pembangunan ekonomi. Di bidang politik, Golkar – yang waktu itu tidak mau disebut sebagai partai politik - sebagai partai pendukung utama Suharto, difungsikan sebagai alat pengontrol kehidupan warga negera sekaligus sebagai alat legitimasi kekuasaan yang pada tiap pemilu bertindak sebagai mesin pendulang suara. Sementara partai politik yang jumlahnya cukup banyak, dimandulkan fungsinya dengan cara difusikan menjadi hanya dua partai, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Sementara Pancasila yang sebenarnya lahir dari pergulatan panjang atas pluralitas bangsa, ditafsirkan secara sempit oleh Suharto hanya dengan dengan menggunakan P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). 

Di sisi lain, milter dengan dwifungsi TNI-nya dijadikan sebagai anjing-anjing penjaga proyek-proyek konglomerasi penguasa. Mereka siap menerkam siapa saja yang berani berpendapat berbeda dengan pemerintah. Tak heran jika gedung-gedung, pabrik-pabrik dan tempat-tempat hiburan dibangun dengan cara menggadikan warisan generasi mendatang, yaitu dengan mengeksploitasi sumber daya alam secara massif. Sementara rakyat hanya menjadi penonton proses-proses tersebut, jika tidak menjadi korban dari sebuah proses yang dinamakan pembangunan. Parahnya lagi, mereka lantas dipakasa untuk menyebut Suharto sebagai “Bapak Pembangunan”. 

Pada era Orde Baru, HMI merupakan organisasi yang cukup disegani dengan kemampuan kader-kadernya yang sudah terbukti bisa menumbangkan Orde Lama. Purnanya beberapa fungsionaris HMI angkatan ’66 sebagai pengurus di dunia pergerakan, menuntut adanya regenerasi. Generasi baru ini adalah energi-enregi baru yang telah mewarisi kebesaran sejarah HMI. Kondisi bangsa yang stabil dan nyaris tanpa pergolakan, menjadikan generasi baru ini lebih menekankan kerja-kerja organisasinya pada pengembangan aspek intelektual. Sebagaimana saat berdirinya, karakter khas dari HMI adalah intelektualitas dan independensi. Trade mark bahwa HMI (angkatan ’66) adalah generasi yang berhahsil menumbangkan Orde Lama, maka tidak heran jika dikampus-kampus HMI sangat populer mengalami peningkatan jumlah anggota secara signifikan.


Era intelektual ini dipelopori oleh kepemimpinan Nurkholis Madjid yang pernah menjabat sebagai ketua HMI selama dua periode (1966/1969-1969/1971). Ia adalah mahasiswa IAIN Syarif Hdayatullah Jakarta yang lahir dari keluarga nahdliyyin di Jombang. Perpaduan antara kecakapanya dalam penguasaan teks-teks agama dengan dialektika di lingkungan Islam modernis menjadikan ia sosok intelektual peripurna, yang oleh Greg Barton (1999) disebut sebagai neo-modernis. Ide sekularisasi dan statemen kotroversialnya “Islam yes, partai Islam no” sempat menjadi polemik panjang di media massa karena mendapatkan bantahan yang cukup keras dari kalangan pemikir Islam lainnya, yang juga kebanyakan dari HMI. 

Dibawah kepemimpinannya, materi-materi perkaderan mulai disusun secara lebih sistematis dengan diciptakanya NDP (Nilai Dasar Perjuangan) sebgai pedoman perkaderan di HMI. Pada masanya, juga mulai dirintis majalah HMI sebagai sarana untuk pengembangan dan pertukaran pemikiran. Di tingkat internasional, eksistensi HMI semakin mapan dengan aktifnya kembali di World Asembly Youth (WAY). HMI juga membidani lahirnya International Islamic Federation of Student Organizations (IIFSO) atau Federasi Mahasiswa Islam Internasional. Untuk keperluan eksistensi di tingkat internasional ini, Nurkholis mengunjungi AS, Kanada, Inggris, jerman, dan Timur Tengah dengan atas nama sebagai Ketua Umum PB HMI. 

Tokoh lain yang pernah menduduki jabatan ketua umum pada masa tahun-tahun 70-an adalah Akbar Tanjung. Ia adalah mahasiswa kedokteran UI yang menandatangani kesepakatan Cipayung. Kelompok Cipayung, yang merupakan forum irisan antar elemen gerakan mahasiswa seperti HMI, PMKRI, GMNI, PMII, dan GMKI cukup mempunyai peran dalam memberikan ide-ide tentang pluralism. Beberapa tokoh yang kritis mensinyalir kelompok Cipayung merupakan bentuk kooptasi dari penguasa terhadap gerakan mahasiswa. 

Perisriwa Malari (5 januari 1974) di Bandung menandai mulai bangkitnya kembali gerakan kritis mahasiswa. Aksi protes mahasiswa terhadap maraknya modal Jepang yang masuk ke Indonesia disikapi penguasa dengan represif oleh militer. Merespons kasus ini, HMI belum menunjukan kontribusinya yang siginifikan untuk membela kepantingan mahasiswa. Demikian juga dalam kasus-kasus lain, HMI lebih banyak mengurusi perebutan kursi-kursi di DEMA (Dewan Mahasiswa) sebagai berbagai lembaga intra kampus, dibandingkan aksi langsung di masyarakat. Secara individu memang banyak anggota HMI yang terlibat dalam bebagai aksi mahasiswa. Akan tetapi, HMI secara organisasi tidak banyak terlibat dalam pembentukan arah sejarah mahasiswa sat itu (Tuhuleley 1990). Untuk menyikapi isu-siu nasional seringkali HMI bersikap ambivalen. Kadang ia berlaku kritis terhdap penguasa, seperti penolakanya pada konsep NKK/BKK sebagai pengganti DEMA, akan tetapi pada sisi lain HMI tetap saja bercokol di lembaga intra kampus (yang dianggapnya telah terkooptasi) dan selalu berjuang merebutkan kursi ketua.

Tahun-tahun 70-an akhir, merupakan era kebangkitan gerakan modern Islam kedua di Indonesia. Keberhasilan Ayatullah Khumaeni (1979)) memimpin revolusi Iran menjadi inspirasi tersendiri bagi tokoh-tokoh Islam untuk melakukan melakukn perlawanan. Gerakan-gerakan Islamisasi ditiap institusi mulai marak lagi, dan kelompok-kelompok gerakan di timur tengah seperti Ikhwanul Muslimin, Jama’ah Tabligh, dan sebagainya mulai meluaskan pengaruhnya di ndonesia. Gerakan-gerakan ini membidik kaum terdidik (kampus) sebagai obyek dakwahnya. Makanya tak heran jika awal tahun 80-an merupakan era masjid kampus, dimana pengajian-pengajian sangat marak dan kampus. Berbondong-bondong mahasiswa ikut dalam halaqoh-halaqoh dan ustadz-ustadz “karbitan” muncul dari kalangan akademis yang tercerahkan. 

Di internal HMI-pun tidak terlepas dari kecenderungan semacam ini. Kritikan-kritikan bahwa HMI kurang Islami memicu beberapa pengurus HMI melakukan gerakn ‘hijaunisasi’ kembali. Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam (LDMI) sangat berperan dalam hal ini. LDMI membentuk kelompok kajian NDI (Nilai-nilai Dasar Islam) yang kemudian setelah lepas dari HMI bernama FOSI (Forum Silaturrahmi Islam). Diantara tokoh-tokohnya adalah Eggy Sudjana, M.S. Ka’ban, dan lain-lain. Penggunaan metode brain washing dalam training-trainingnya menjadikan klompok kajian ini sangat efektif dalam membentuk kader-kader militan di HMI. 

Adanya hijaunisasi ini pada akhirnya mengkutub pada perdebatan ideologis di HMI. Perdebatan panjang mengenai Islam dan Pancasila memakan energi para pemikir HMI yang tidak sedikit. Lama-lama wacana ini berkembang sampai tingkat bawah dan mulai mendapatkan pengikutnya masing-masing. Kelompok “Islamis” mengidealisasikan bahwa Islam harus mewujud dalam sebuah sistem yang mengatur kehidupan warga negara karena sebagai sebuah tatanan hidup, Islam sudah paripurna. Meskipun tidak semuanya berpendapat demikian, kader-kader yang prihatin dengan sekularisasi yang dialami HMI juga masuk dalam blok ini. Sudah tentu kelompok inilah yang gigih melakukan “hijaunisasi” kembali di HMI. Beberapa eksponen HMI yang mendukung cenderung pada kelompok ini diantaranya adalah Abdullah Hehamahua, Ismail Hasan Metarium, Deliar Noer dan sebagainya. 

Sebagian kader yang melakukan elaborasi pemikiran ke-Islaman lebih ekletis dan dialektis berpendapat bahwa negara merupakan bentuk dari sebuah keinginan untuk hidup bersama yang terikat dalam konsensus, dalam hal ini Pancasila. Sehingga, terlepas dari penyelewengan-penyelewengan yang dilakuka oleh rezim, Pancasila merupakan produk yang paripurna bagi bangsa Indonesia dalam kerangka kehidupan kebangsaan. Pemikiran demikian banyak dipelopori oleh orang-orang yang tergabung dalam limitted graup-nya Ahmad Wahib, Dawam Raharjo, dan Djohan Efendi di Yogyakarta serta tokoh-tokoh lain di Jakarta seperti Nurkholis Madjid, Dahlan Ranuwiharjo, dan sebagainya. Dalam lokakarya tafsir asas atas tafsir asas organisasi dalam lokakarya tafsir asas di mataram dan Yogyakarta dua polarisasi pemikiran ini sempat mengalami perdebatan panjang.

Polarisasi bukan hanya terjadi dalam pemikiran saja, akan tetapi perbedaan pendapat mengenai sikap politik HMI terhadap negara ternyata juga lebih seru dan bahkan menumbuhkan bibit perpecahan. Beberapa kader mengkritik bahwa HMI telah kehilangan daya kritisnya karena terlalu akomodatif terhadap pemerintah. Kelompok ini menginginkan HMI harus tetap independen dan berdiri diluar negara. Orde Baru sudah banyak melakukan penyelewengan-penyelewengan terhadap kekuasaan yang mereka pegang. Rencana penerapan UU ke-ormasan yang akan memaksa semua organisasi menerapkan Asas Tungal Pancasila adalah edisi baru dari cara Suharto melakukan kontrol terhadap warga negara. Kelompok ini secara taktis berafiliasi dengan kelompok Islamis. ‘Pengalaman historis revolusi Iran menunjukan bahwa ternyata Islam juga bisa menjadi kekuatan revolusi’. 

Pada sisi lain sebagian anggota HMI memilih jalan kompromistis sebagaimana yang biasa dilakukan HMI sebelumnya. Kesediaanya bekerja sama dengan pemerintah dan karena kedekatanya dengan beberapa alumni yang sudah duduk dalam birokrasi menjadikannya kurang peka terhadap penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan pemerintah. Masuk menjadi anggota HMI bukan berati harus berjuang dan hidup susah, akan tetapi bisa saja sebagai salah satu jalan karir masa depan. Menjadi anggota HMI, setidaknya menurut persepsi beberapa orang, berati menjadi calon pejabat dalam birokrasi negara. Pendapat-pendapat demikian sah-sah saja dan tidak salah. Posisi HMI yang sudah sedemikian mapan secara riil memberikan peluang untuk itu. Akan tetapi jika pendapat demikan hanya akan menjadikan HMI tidak independen dan oportunis. Beberapa anggota yang berpendapat demikian ternyata lebih sepakat jika HMI mengikuti keinginan pemerintah memakai Asas Tunggal Pancasila. 


V. HMI Tahun 80-an : “HMI (MPO) Menolak Tunduk” 

Tahun 80-an dikenal sebagai masa pertumbuhan bagi gerakan-gerakan Islamisasi kampus. Bibit-bibit semangat “kembali ke-Islam” yang disemai pada akhir tahun 70-an kuncup-kuncupnya mulai tumbuh. Kelompok-kelompok pengajian kampus (halaqoh) semakin ngetrend dan bulan Ramadhan menjadi selalu ramai. Meskipun sebenarnya terdiri dari berbagai aliran, akan tetapi mereka mempunyai kesamaan isu, yaitu kebangkitan Islam. Harapan akan kebangkitan Islam di Asia Tenggara ternyata cukup memberikan visi dan ruh yang menghidupkan semangat para da’i kampus untuk terus mengobarkan semangat Islam. 

Bagi Orde Baru, hal ini merupakan pertanda buruk, karena akan menjadi ancaman bagi keberlangsungan kekuasaanya. Beberapa kasus di negara lain radikalisme kaum beragama bisa menciptakan revolusi yang bisa menumbangkan kekuasaan. Ancaman terbesar bagi Orde Baru setelah hancurnya komunisme adalah kelompok beragama ini. Penolakan Suharto atas keinginan Muhammad Roem menghidupkan kembali Masyumi merupakan bukti ketakutanya pada kekuatan kaum beragama.
Bentuk antisipasi yang dilakukan Orde Baru untuk mengontrol kehidupan kebangsanya ialah dengan rencana dikeluarkanya Undang-undang Keormasan No. 8 tahun 1985. Dalam rancangan UU ini disebutkan adanya kewajiban bagi tiap organisasi massa untuk memakai Pancasila sebagai asasnya. Hal ini jelas bertentangan dengan semangat kebhinnekaan yang menjadi ruh Pancasila itu sendiri. Penyeragaman asas dalam tiap AD/ART adalah bentuk kontrol yang sangat kuat dari negara terhadap warga negaranya yang berati pula hilangnya kebebasan warga negara untuk berbeda. Oleh karena itu muncul banyak kritik dalam pemunculan paket UU ini (baca bukunya Deliar Noor berjudul “Islam, Pancasila dan Asas Tunggal”). 

Meskipun demikian, kuatnya hegemoni kekuasan Orde Baru, menjadikan organisasi-organisasi massa yang ada seperti Muhammadiyah, NU, GMNI, PMKRI, GMKI, PMII, IMM dan sebagainya tidak bisa berbuat banyak. Berbondong-bondong organisasi-organisasi tersebut mengubah AD/ART-nya menjadi berasaskan Pancasila. Bebera alasan yang dikemukan oleh organisasi yang mengubah asasnya tersebut rata-rata ialah untuk mencari keamanan. Dari sini dapat kita rasakan betapa kuat dan ditakutinya kekuasaan Orde Baru saat itu. 

Dukungan militer dalam mengamankan kekuasaan negara yang sangat kuat seringkali menimbulkan tindakan-tindakan represif dan anarkis oleh negara terhadap warga negara. Sehingga kepatuhan warga negara terhdap pemerintah bukan karena disebabkan oleh semangat dan komitmen kebangsaan akan tetapi lebih dikeranakan oleh adanya ketakutan-ketakutan terhadap aparat. 

HMI sebagi organisasi mahasiswa terbesar dan berpengaruh saat itu jelas akan menjadi sasaran selanjutnya bagi proyek “Pancasilaisasi” ini. Anggota HMI yang banyak dan tersebar diseluruh pelosok nusantara merupakan aset bangsa yang tidak bisa diabaikan. Pemerintah berkeinginan menjadikan HMI sebagai pelopor yang akan mendukung pelaksanaan UU tersebut. Sewaktu pengumuman akan diterapkanya UU keormasan tersebut, HMI belum menyatakan kesediaanya untuk mengikuti keinginan pemerintah. 

Maka disusunlah strategi oleh pemerintah untuk membujuk beberapa fungsionaris HMI agar bersedia memakakan Asas Tunggal. Dikirimlah beberapa alumni HMI yang sudah duduk dalam kabinet untuk mendekati HMI. Jawaban pengurus HMI ialah agar semuanya diserahkan pada hasil kongres yang akan diselenggarakan di Medan tahun 1983. Dalam kongres tersebut pemerintah mengutus Abdul Gafur (menteri Pemuda dan Olah raga, yang juga alumni HMI) untuk membujuk peserta agar bersedia mengubah asas. Abdul Gafur bahkan mengancam akan melarang kongres tersebut, jika HMI menolak merubah asas. 

Pada akhir Mei 1983 diadakanlah kongres HMI XV di Medan. Kongres ini dinamakan kongres perjuangan, karena diselnggarakan dalam tekanan yang kuat dari pemerintah untuk merubah asas. Dalam majalah Tempo edisi 4 Juni 1983 dilukiskan suasana kongres sebagai berikut : “….Ketika sampai pada Anggaran Dasar pasal 4, bahwa asas HMI tetap Islam teriak Allahu Akbar gemuruh menyambutnya…..”. HMI secara tegas menolak menggunakan Asas Tunggal Pancasila dalam AD/ART-nya dan masih setia mempertahankan asas Islam.

Dalam kongres itu terpilih Hary Azhar Azis sebagai ketua umum HMI, yang akan bertugas mengemban amanat ini. Kegagalan Abdul Gafur untuk membujuk adik-adiknya ini tidak membuat pemerintah menghentikan usaha-usahanya. Pemerintah terus berusaha untuk membujuk HMI dengan melakukan pendekatan-pendekatan persuasif kepada pengurus HMI hasil kiongres. Usaha-usaha tersebut berhasil Ketika pada saat sidang Majelis Pekerja Kongres (MPK) II dan rapat pleno PB HMI tanggal 1-7 April, diCiloto-Puncak-Bogor, PB HMI bersedia mengubah asas Islam dengan asas Pancasila. Keputusan ini diumumkan di media massa seminggu kemudian dengan menggunakan rumah Bp. Larfan Pane sebagai tempatnya. 

Reaksi keraspun mengalir dari cabang-cabang di daerah. Cabang Yogyakarta sebagai cabang embrionya HMI, melakukan protes keras terhadap keputusan tersebut. Cabang Yogyakarta mengeluarkan pernyataan sikap dengan judul : “Sikap jama’ah HMI Yogyakarta terhadap perilaku dan siaran pers PB HMI”. Dalam pernyataan sikap tersebut secara tegas Yogyakarta menolak keputusan PB dan menganggapnya inkonstitusional. Seharusnya keputusan perubahan AD/ART adalah wewenang kongres HMI, bukan pengurus besar (PB). Cara pengambilan keputusanyapun dianggap cacat karena tidak memenuhi kuorum. Dalam sidang MPK tersebut 19 orang melakukan walk out. 

PB HMI malah menanggapi sikap cabang Yogyakarta ini dengan kurang arif. PB HMI tidak bersedia melantik M. Chaeron A.R. yang secara aklamasi terpilih sebagai Ketua Umum HMI Cabang Yogyakarta. Akhirnya pelantikan dilakukan oleh HMI Badko Jawa Bagian Tengah yang juga bersikap menolak terhadap keputusan PB HMI. Penolakan ini tertuang dalam sidang pleno HMI Badko Jawa bagian tengah pada tanggal 29-30 Oktober 1985 di Yogyakarta. Atas sikap ini PB HMI kemudian mamecat ketua Badko (Yati Rachmiati) dari pengurusannya. 

Protes terhadap keputusan PB HMI ini bukan hanya berlangsung di Yogyakarta. Cabang Jakarta, di mana Harry Azhar Azis, secara adminstratif terdaftar sebagai anggota HMI, membuat keputusan dengan memecat Harry Azhar Azis dari keanggotaan HMI. Secara konstitusional pemecatan ini sah, karena (dalam aturan administrasi HMI) meskipun keduduknya sebagai Ketua Umum PB HMI, akan tetapi kartu anggota dikeluarkan oleh pengurus cabang. Pemecatan ini menimbulkan kemarahan PB HMI, atas nama Ketua Umum PB HMI ia kemudian membekukan HMI cabang Jakarta dari struktur keorganisasian HMI. Sebagai gantinya PB HMI membentuk cabang-cabang transitif yang pengurusnya dipilih oleh PB HMI. 

Menjelang diselenggarakannya kongres XVI di Padang, Summatera barat, HMI Adapun kongres XVI pasti akan dijadikan forum untuk melegitimasi perubahan asas tersebut oleh PB HMI. Dengan demikian takkan ada lagi alasan bagi cabang-cabang untuk menolak perubahan asas dalam AD-ART HMI. Demi mengantisipasi hal ini, maka cabang-cabang yang menolak keputusan PB tersebut membentuk forum yang bernama Majlis Penyelamat Organisasi (MPO). Pada mulanya forum tesebut dibentuk untuk berdialog dengan PB HMI dan MPK (Majelsi Pekerja Kongres) mengenai perubahan asas dalam kongres yang derencanakan. Akan tetapi karena tanggapan PB HMI terkesan meremehkan, maka akhirnya MPO melakukan demonstrasi di kantor PB HMI (Jl. Diponegoro 16, Jakarta). Dalam demonstrasi tersebut PB HMI malah menanggapinya dengan mengundang kekuatan militer untuk menghalau MPO. Beberapa anggota MPO malah ditangkap oleh aparat dengan tuduhan subversif. Keadaan ini berlangsung sampai diselenggarakanya kongres HMI XVI di Padang yang berlangsung pada tanggal 24-31 Meret 1986.

Dengan diwarnai kekacauan karena adanya dua kubu yang saling bertentangan, maka kongres XVI di Medan menjadi tonggak sejarah bagi pecahnya HMI menjadi dua bagian, HMI Dipo dan HMI MPO. Kehadiran MPO, yang telah berhasil mengorganisir 9 cabang-cabang terbesar di HMI, ditolak oleh panitia kongres. Kongres hanya diikuti oleh cabang-cabang yang tidak terlibat dalam MPO dan cabang transitif. Kehadiran cabang transitif ini mendapat tantangan keras dari peserta kongres sehinga menimbulkan kekacauan fisik dalam ruangan sidang. Adapun 9 cabang yang mendukung MPO adalah: HMI Cabang Jakarta, HMI Cabang Bandung, HMI Cabang Yogyakarta, HMI Cabang Ujung Pandang, HMI Cabang Pekalongan, HMI Cabang Metro, HMI Cabang Tanjung Karang, HMI Cabang Pinrang dan HMI Cabang Purwokerto. 

Kongres berlangsung sampai selesai dengan menetapkan Pancasila sebagai asas HMI. Sementara MPO, yang sebenarnya mempunyai lebih banyak pendukung, pulang dari Padang dengan menyungging kekecewaan mendalam. Dipandegani oleh HMI cabang Yogyakarta, barisan ini kemudian juga melakukan kongres di Yogyakarta dan memakai nama kongres HMI XVI juga. 

Tentunya kongres ini merupakan kongres ilegal dan sangat diharamkan oleh pemerintah saat itu. Pemerintah menganggap kongres ini sebagai bentuk pembangkangan terhadap negara dan anti Pancasila. Meskipun demikian kongres tetap di selenggarakan dengan membuat pengumuman bahwa “kongres akan diselenggarakan di Kaliurang-Yogyakarta”. Aparatpun mengancam akan membubarkan kongres ini dan menangkap para pesertanya. Menjelang pintu gerbang Kaliurang mobil pengangkut peserta dibelokan ke Gunung Kidul. Kongres berhasil diselenggarakan selama tiga hari di sebuah desa di Gunung Kidul ini. Aparat terkecoh karena mereka melakukan pengejaran ke Kaluirang akan tetapi ternyata buronya di tempat lain. Saat mereka tahu bahwa kongres ternyata di adakan di Gunung Kidul maka mereka mengejar. Akan tetapi setelah sampai, kongres sudah selesai dan “HMI Perjuangan” sudah berdiri. HMI ini kemudian disebut HMI MPO atau HMI Islam atau HMI 1947. Disebut HMI Islam karena HMI ini yang tetap mempertahankan Islam sebagai asasnya, dan disebut HMI 1947 karena HMI ini mengangap dirinya sebagai ‘yang benar-benar mewarisi HMI pada tahun aal berdirinya pada 1947, yaitu HMI yang independen. 

HMI hasil kongres XVI di Padang merupakan HMI yang diakui secara sah oleh pemerintah. HMI ini sekretaraitnya di Jl. Diponegoro 16, sehingga sering disebut HMI Dipo. Atau bisa juga disebut HMI Pancasila karena asasnya Pancasila, atau di mass media biasa disebut dengan menggunakan huruf “HMI” saja. Pasca reformasi, dalam kongresnya yang ke-22 di Aceh, pada tahun 1999, HMI ini merubah kembali asas ke Islam. Sehingga sekarang dari segi asas, sudah tidak ada bedanya antara HMI Dipo dengan dengan HMI MPO. Namun demikian, proses penjang lebih dari 20 tahun menjadi dua institusi yang sendiri-sendiri menjadikan struktur, perkaderan, tradisi dan sikap politik kaduanya berbeda. Tradisi kooperatifnya dengan Golkar dan kedekatanya dengan kebanyakan alumni (KAHMI) menjadikan HMI Dipo lebih mapan secara finansial dan rapi dalam keorganisasian. Sementara HMI-MPO identik dengan tradisi proletarian, komunitas eksklusif, dan tidak mapan dalam organisasi.

HMI MPO terlahir sebagai sosok anak haram dalam gua garba Orde Baru. Ditengah situasi kehidupan kebangsan dihegemoni militer, dalam suasana kebungkaman warga negara serta diliputi ketakutan untuk berbeda, HMI MPO hadir sebagai “pendekar muda” yang berani berteriak lantang menentang kekuasaan. HMI MPO-lah organisasi Islam pertama yang menuntut Suharto harus turun. HMI MPO harus berjuang dibawah tanah demi mempertahankan idealisme dan eksistensinya yang semakin lama-semakin ditinggalkan cabang-cabang pendukungnya. Aparat selalu mengawasi training-traning yang dilakukan oleh HMI dengan mengirimkan intelnya. Penyelenggaraan LK I tak jarang gagal karena tiba-tiba digrebek aparat dan pesertanya diintrogasi. Pada tahun 1987, di Yogyakarta terjadi penggrebekan terhadap sekretariat HMI cabang Yogyakarta, di Jl. Dagen 16. Pengurus yang waktu itu sedang berada di lokasi lari tungang-langgang mencari perlindungan bersamaan dikokangnya senjata oleh tentara. 

Sebenarnya penggrebekan tersebut dilakukan karena cabang HMI Dipo Yogyakarta yang baru didirikan berkeinginan untuk menempati sekretartat di jalan Dagen. Karena terusir dari markasnya, para aktifis HMI MPO memindahkan base camp-nya di sebuah rumah di Gang Sambu (dekat kampus Universitas Negeri Yogyakarta). Tidk lama HMI-MPO bermarkas di Gang Sambu, atas jasa simpatisan aktivis Islam, markas HMI-MPO Cabang Yogyakarta pindah di Karangkajen. Sampai sekarang HMI-MPO Cabang Yogyakarta identik dengan Karangkajen, karena kontrakan sekretariatnya selalu di sekitar wilayah Karangkajen 

Pada awal perjalananya, HMI MPO dikenal dengan sosok organisasi mahasiswa yang radikal dan sangat kanan (untuk tidak disebut fundamentalis). Penekanan pada nilai-nilai ke-Islaman dan kejuangan menjadi materi utama dalam training-trainingnya. Khittah perjuangan diciptakan sebagai pedoman dalam perkaderan untuk mengganti NIK (Nilai-nilai Identitas Kader) yang sudah dirasa tidak menggigit lagi. Sementara banyak anggota-anggotanya adalah mahasiswa-mahasiswa yang aktif di pengajian (halaqoh), yang saat itu memang sedang menjamur. 

Demi mengurangi konflik dengan Negara, HMI MPO harus memilih jalan-jalan yang tidak banyak mengekspos diri dan jauh dari jangkauan khalayak. HMI lebih banyak bergerak dibelakang layar sambil sesekali muncul dengan menggunakan kamuflase. Kajian-kajian epitemologis menjadi trade mark-nya, yang mana kemudian menjadi identitas HMI MPO pada awal tahun 90-an. Kajian-kajian epistemologis ini ditempuh karena tidak banyak membutuhkan biaya, aman dari tuduhan-tuduhan subversif, dan merupakan jalan alternatif dalam tradisi intelektual di Indonesia.


Alasan HMI Penolakan Asas Tunggal

Alasan penolakan terhadap Pancasila sebagai asas tunggal dikemukakan oleh Abdullah Hehamahua (Mantan Ketua PB HMI) dalam suratnya tertanggal 16 Mei 1985 kepada PB HMI. Ada empat alasan yang melatar belakanginya yaitu :
1. Alasan Ideologis
Islam sebagai agama paripurna, selain memiliki sistem aqidah yang kokoh dan bersih, sekaligus memiliki sistem-sistem muamalah, sebagian terdiri dari garis-garis besar saja-baik sistem politik, ekonomi, sosial, budaya, hukum, militer maupun sistem keluarga. Dengan demikian sistem-sistem yang ada dalam masyarakat tidak boleh bertentangan dengan kaidah-kaidah umum yang ada dalam Islam.

2. Latar Belakang Historis
Bahwa perjuangan memerdekakan Indonesia dari tangan penjajah kebanyakan dilakukan oleh tokoh-tokoh Islam. Justru semangat teriakan Allahu Akbar-lah yang mampu membakar perlawanan-perlawanan di segala penjuru Indenesia. Boleh dikata Islam-lah yang melakukan perlawanan dalam mengusir penjajah. Oleh karena itu harus ada bagian dari bangsa ini yang selalu melakukan pembelaan terhadap ummat Islam. 

Munculnya Pancasila sebagai dasar negara merupakan kompromi tertinggi dari ummat Islam demi kepentingan bangsanya. Pemimpin Islam pada awal pembentukan negara menerima Pancasila, karena:
- Pidato Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1948 yang menghasilkan nama Pancasila merupakan kompilasi dari pidato-pidato tokoh Islam sebelumnya.
- Sila-sila dalam Pancasila merupakan penjabara dari Al-Qur’an mengenai sistem kenegaraan, jadi bukan hanya sekedar warisan leluhur bangsa Indonensia.
- Pancasila hanyalah sebagai konsensus nasional, katakanlah sekedar kompromi nasional tentang atribut ketatanegaraan sehingga tidak memiliki kewenangan untuk mencampuri urusan intern kelompok sosial-politik yang ada, apalagi sampai ke tingkat keluarga dan pribadi, sebagaimana yang dilakukan pada penerapan UU ormas tersebut.
- Diterimanya Pancasila sebagai dasar Negara, karena Pancasila yang diinginkan adalah sebagaimana yang termaktub dalam Piagam Jakarta.

3. Latar Belakang 
Konstitusional Dekrit presiden 5 Juli 1959 disahkan oleh MPRS pada tahun 1969 dan kemudian dikukuhkan lagi pada sidang MPR tahun 1972. Sebagaimana yang dikatakan oleh Sukarno bahwa sila pertama dalam Piagam Jakarta Yang berbunyi : …” Kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”, menjiwai pembukaan UUD ’45 yang kemudian manifes dalam pasal 29 menunjukan bahwa secara konstitusional negara membiarkan dan melindungi pelaksanaan syariat Islam termasuk penggunaan asas Islam dalam sebuah organisasi Islam. Hal ini berarti menjadikan Pancasila sebagi asas tunggal bertentangan dengan Pancasila itu sendiri. 

4. Alasan Latar Belakang Operasional Proses peneriman asas tungal yang dilakukan oleh PB HMI jelas melalui keputusan yang dilakukan oleh beberapa gelintir orang saja. Adanya tindakan-tindakan intimidasi, teror dan juga pembelian dengan uang menjadikan proses penggunaan asas tunggal oleh HMI tersebut telah menyalahi aturan.

Kita ketahui bahwa proses penerimaan itu tidak masuk akal dan cacat dalam hal mekanisme pemunculanya. Sebab sidang MPK (Majelis Pekerja Kongres) PB HMI dan pleno PB HMI kedudukanya lebih rendah dari pada kongres HMI. Kongres HMI XV di Medan yang merekomendasikan untuk mempertahankan asas Islam telah dikhianati oleh PB HMI sendiri, dengan mengubahnya di tengah jalan tanpa melalui mekanisme yang sah. Adapun kemudian asas itu disahkan dalam kongres XVI di Padang, akan tetapi mekanisme penyelenggaraan kongres Padang tersebut juga mengalami kecacatan. Mayoritas cabang yang hadir waktu itu masih menghendaki HMI memepertahankan Islam sebagai asas. Akan tetapi apa boleh buat, tekanan dari penguasa dan diskrimatifnya peserta kongres menjadikan keputusanya lain. 

VI. HMI Tahun 90-an: “Reformasi Menumbangkan Suharto” 
Tahun 90-an bisa dikatakan merupakan tahun kemesraan antara kekuatan Islam dengan Orde Baru. Berdirinya ICMI oleh sebagian besar kalangan dianggap sebagai angin segar atas akomodasi Suharto terhadap Islam yang selama ini lebih banyak disingkirkanya. Kegiatan dakwah Islam dalam kantor-kantor birokrasi pemerintah mulai marak. Berbondong-bongong pada tiap kantor pemerintah didirikan pengajian-pengajian dan majelis ta’lim. Perusahaan yang mendirikan pabrik di suatu lokasi diwajibkan mendirikan musholla untuk karyawanya. Masjid dibangun dimana-mana dengan bantuan Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, milik Suharto. 

Akan tetapi keadaan ini bukan berarti Orde Baru telah berubah menjadi baik. Akomodasi penguasa terhadap kelompok Islam hanyalah salah satu cara untuk menutupi borok-borok penguasa dan memperoleh dukungan dari mayoritas penduduk. Kelompok-kelompok Islam yang independen dan kritis masih menjadi momok bagi penguasa. Demikian juga bagi HMI MPO, kebebasan merupakan hal yang paling mahal dan HMI MPO tetap sebagai organisasi bawah tanah harus memakai taktik kucing-kucingan dengan aparat untuk berthan. 

Perjuangan HMI MPO untuk mempertahankan eksistensinya dilakukan dengan cara membentuk lembaga-lembaga kantong yang akan menjadi wadah-wadah bagi suara HMI MPO. Hal ini dilakukan karena tidak mungkin HMI MPO melakukan kritik secara langsung. Dibentuklah beberapa lembaga kantong aksi seperti: LMMY (Liga Mahasiswa Muslim Yogyakarta), FKMIJ (Forum Komunikasi Mahasiswa Islam Jakarta), SEMMIKA dan sebagainya. Jika kita perhatikan strategi ini mirip dengan apa yang dilakukan HMI pada tahun 60-an dengan membentuk KAMI sebagai mantelnya. Lembaga-lembaga ini melakukan mobilisasi massa dengan melakukan parlemen jalanan (demonstrasi) yang tak jarang bentrok dengan aparat.

Selain itu HMI MPO berusaha menguasai lembaga-lembaga intra kampus sebagai wadah perkaderan dan perjuangan. Lemahnya sumber daya finansial tidak menghentikan kreatifitas kader-kader HMI untuk berkativitas. Salah satunya ialah dengan memanfaatkan lembaga intra kampus. Lembaga intra kampus merupakan sarana perkaderan yang cukup efektif untuk membentuk jiwa-jiwa kepemimpian kader. Selain itu netralitas lembaga intra kampus menjadikan lembaga ini mudah untuk melakukan mobilisasi massa. Hal ini sangan mendukung dalam aksi-aksi HMI. Contoh kongkrit dari pemanfaatan lembaga intra kampus ini adalah pada saat memontum turunnya Suharto pada tanggal 20 Mei 1998. 

Suharto yang sudah berkuasa selama 30 tahun harus tumbang ditangan aksi-aksi massa yang dilakukan oleh mahasiswa. Krisis ekonomi yang melanda Asia tahun 1997 ternyata berimbas pada terkuaknya semua borok yang dimiliki oleh rezim Orde Baru. Megahnya pembangunan yang selama ini sangat diagung-agungkan ternyata keropos, karena di bangun atas pondasi hutang luar negeri yang sangat besar. Ketika fluktuasi nilai tukar rupiha terhadap dollar tidak bisa ditolerir lagi, tiba-tiba jumlah hutang melambung tinggi dan Indonesia harus menangis. Yang terhormat Suharto, terpaksa harus merunduk di depan lipatan tangan Hubert Neiss (wakil IMF-International Monetary Fund), waktu menandatangani kesepakatan hutang baru terhadap IMF. Para kapital-imperialis Amerika tertawa karena telah berhasil membuat Indonesia makin tergantung. Indonesia belum merdeka, Bung ! 

Mahasiswa bergerak, aksi demonstrasi menuntut diturunkannya Suharto menjalar mulai dari kmpus-kampus besar sampai ke kampus-kampus kecil. Tak jarang korban berjatuhan di mana-mana. Kasus terbunuhnya beberapa mahasiswa Trisakti 12 Mei 1998, tertembaknya Moses Gatot Kaca di Yogyakarta, dan tindakan-tindakan anarkis aparat terhadap mahasiswa semakin membuka kesadaran masyarkat luas untuk turut dala aksi-aksi yang dilakukan mahasiswa. Arus tak terbendung lagi Ketika pada tanggal 20 Mei 1998, lebih dari satu juta massa melakukan aksi di silang monas dengan tuntutan “Suharto harus turun”. Demikian juga di alun-alun utara Yogyakarta, setengah juta massa berjubel sampai jalan Malioboro dengan tuntutan yang sama. Suharto mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei 1998 jam 09.15 WIB. Aksi juga dilakukan di Makasar, purwokerto, Bandung, Malang dan kota-kota lain. 

Harus diakui bahwa fenomena munculnya aksi-aksi massa menjelang reformasi banyak dipeplopori oleh kader-kader HMI MPO. Beberapa kader yang kebetulan menjadi fungsionaris lembaga intra kampus turut mengusung isu-isu penurunan Suharto ke dalam kerja-kerja lembaganya. Aksi setengah juta massa di Yogyakarta di pelopori oleh Keluarga Mahasiswa (KM UGM), dimana yang menjadi think-tank-nya adalah kader-kader HMI MPO. Sebelum aksi itu, KM UGM mengadakan polling yang menghasilkan rekomendasi bahwa lebih dari 80% responden menolak kepemimpinan Suharto. Hasil polling ini mempengaruhi opini nasional, terutama di kalangan para aktifis pergerakan.

Di Jakarta juga demikian, meskipun banyak ditentang oleh elemen-elemen Islam lainya, HMI MPO bersama FKMIJ-nya tercatat sebagai salah satu elemen mahasiswa yang sejak awal melakukan aksi untuk menolak Suharto. Bahkan setelah Suharto turun dan diganti oleh Habibie, HMI MPO tetap melakukan aksi-aksi penolakannya di gedung DPR/MPR bersama elemen-elemen kiri. HMI-MPO adalah satu-satunya elemen Islam yang menolak BJ Habibie naik menjadi presiden. HMI MPO sempat dicap “bukan Islam” (atau biasa disebut dengan istila “bukan orang kita”) oleh kelompok-kelompok aksi pembela Habibie, yang kebanyakan berasal dari kelompok-kelompok Islam. Oleh kelompok-kelompok politik Islam Habibie dianggap mewakili kepentingan Islam karena ia pelopor ICMI dan dekat dengan kalangan Islam. 

Begitulah ketagasan sikap independen HMI yang tidak mau tuntuk kepada siapapun, kecuali kepada kebenaran dan keadilan. HMI selalu siap bekerja sama dengan siapapun asalkan untuk meneriakan kebenaran dan keadilan. HMI Akan selalu kritis dengan siapapun tanpa pandang bulu, termasuk dengan saudaranya sendiri. Sikap HMI yang tidak mau didikte alumni (KAHMI), berlaku jujur pada siapapun, selalu berdiri diluar negara merupakan bukti indepndensi HMI MPO. 

Berbicara mengenai sejarah HMI, pada dasarnya juga membicarakan sejarah bangsa Indonesia. HMI merupakan bagian yang tak terpisahkan dari dinamika bangsa yang sangat kita cintai ini. Usia HMI yang sebanding dengan umur NKRI ini bukanlah usia yang singkat. Dalam usianya yang lebih dari setengah abad, HMI telah menempuh asam-garamnya sejarah dan akan selalu setia mengukir sejarah itu lagi dimasa depan. Tentu dengan kisah-kisah perjuangan atas kebenaran dan keadilan yang lebih heroik. Siapa lagi kalau bukan generasi penerusnya !. 

Pecahnya HMI menjadi HMI MPO dan HMI DIPO adalah bagian dari dinamika sejarah yang tidak harus disesali. Manusia hanya bisa melakukan penilaian sehingga dapat mengambil pelajaran darinya. Bagi kader-kader baru, yang dibutuhkan bukanlah romantisme sejarah masa lalu, akan tetapi warisan semangat perjuangan dan indepenndensi untuk berbuat yang terbaik bagi kemanusiaan. Wamaa arsalnaaka illa rahmatan lil aalamin !. 
Label:

Posting Komentar

[blogger]

BPL HMI Cabang Pontianak

{facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google-plus#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget