Khittah Perjuangan HmI (Tafsir Usaha) Hasil Kongres 26 Hmi

KHITTAH PERJUANGAN
HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM
 (USAHA)
Dikutip dari : Hasil Kongres 26 HmI

Tujuan adalah sebuah pegangan, sebagaimana umat Islam memiliki syahadatyang berfungsi sebagai dasar dan tujuan atas proses hijrah kediriannya. Hijrah inilah yang dimaknai sebagai bentuk ikhtiar dalam mencapai tujuan kedirian manusia sebagai makhluk dari sang khalik. Simbolisasi hijrah dalam khasanah Islam adalah perginya umat Islam dari Makkah menuju Madinah. Pergi dari lingkungan yang tidak menjamin kehidupan keimanan umat Islam menuju lingkungan yang mampu menjaga kehidupan keimanan umat Islam saat itu. Tak seorangpun dari sesama umat muslim saat itu yang dapat memberi jaminan atas keberhasilan perjuangan tersebut. Baik saat keberangkatan maupun saat perjalanan, mereka dapat saja gagal karena usaha kaum Mekkah yang mencegah prosesi ini.

Namun keyakinan atas perlindungan Allah SWT atas dasar petunjuk Muhammad SAW memberikan kekuatan bagi umat Islam untuk menapaki gurun yang panas membakar tanah, terusir dari kaumnya, meninggalkan rumah yang telah dibangun dengan keringatnya sendiri, meninggalkan keluarga yang telah hadir sejak mereka lahir, meninggalkan lingkungan yang telah menghidupi mereka sejak hadir dimuka bumi menuju sebuah lingkungan yang baru. Lingkungan yang segalanya harus dimulai dari awal seperti saat mereka baru dilahirkan oleh sang ibu. Keyakinan ini bukan keyakinan kosong karena dalam Al qur’an berulangkali Allah SWT berfirman bahwa umat yang berhijrah adalah umat yang dilindungi oleh Allah SWT atas kehidupan meraka didunia dan diakhirat sebagai wujud taqwa mereka kepada Allah SWT. Hal ini karena prosesi Hijrah merupakan pembuktian atas syahadat yang telah diikrarkan oleh masing-masing umat muslim. Atas dasar inilah Allah berfirman behwa umat yang berhijrah adalah umat yang sebenar-benarnya beriman.

Proses Hijrah akhirnya memberi pesan bahwa Syahadat sebagai bukti keislaman harus diikuti dengan aktifitas diri yang nyata untuk menjadi orang beriman. Perubahan sikap diri dari tingkatan kaum muslim menjadi kaum mukmin dan akhirnya muttaqin harus terlihat dari sikap keseharian. Meninggalkan sesuatuyang tidak diperkenankan oleh Allah menuju jalan yang ditunjuk oleh Allah SWT adalah inti dari Hijrah tersebut.

Secara aktif menjalani jalan yang ditunjuk oleh Allah SWT untuk menjadi seorang yang beriman dan bertaqwa dapat terlihat dalam dua sikap diri yaitu sikap Amar Ma’ruf dan Sikap Nahi Munkar. Mulai dari diri sendiri sebagaima mulainya diri bersyahadat dan kemudian dilanjuti dengan lingkungan sekitar diri tersebut sebagaimana kewajban umat Islam untuk berdakwah. Keyakinan yang kuat dan Istiqomah adalah tuntutan dalam menjalani sikap dengan pola Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar.

1. Amar Ma’ruf
Amar ma’ruf yang bermakna menyampaikan kebenaran adalah sebuah sikap untuk menunjukan bahwa saya telah bersyahadat dan kamu sekalian harus mengetahui bahwa syahadat adalah titik keberangkatan atas sebuah keimanan, maka bersyahadatlah. Penyampaian konsep ke-Ilahi-an dan Ke-Rasul-an dalam syahadat adalah sikap yang harus dihadirkan dalam segala bentuk gerak tubuh umat Islam setiap saat. Konsep ke-Ilhai-an dan ke-Rasul-an adalah sebuah kabar gembira sekaligus peringatan bagi umat manusia. Pesan yang lahir dari konsep ini kemudian harus disampaikan kepada yang lain sebagai jalan yang diridhoi oleh Allah SWT. Kabar gembira dan peringatan ini tentunya dapat dilihat langsung dari firman-firman- NYA yaitu Alqu’an.

Keyakinan atas Al Quran sebagai firman Allah SWT dan menyampaikannya kepada umat manusia lainnya, adalah sebuah wujud atas syahadat pertama (konsep ke-Ilahi-an) yang diikrarkan oleh tiap umat Islam. Artinya ikrar tanpa penyampaian adalah sebuah syahadat yang tak ber-ADA dalam diri umat Islam. Namun tentu saja Al Qur’an tidak didapat manusia begitu saja dengan sendirinya, sehingga pengakuan Muhammad SAW sebagai pembawa firman Allah SWT adalah kemutlakan yang tak dapat ditentang.

Pada akhirnya umat Islam adalah umat Muhammad SAW yang mengakui keberadaannnya dan mengikuti pola kehidupannya dan terus melanjutkan penyampaian kabar gembira dan peringatan sebagaimana Muhammad SAW lakukan. Sehingga umat Islam adalah umat Muhammad SAW yang mengikuti pola kehidupan Muhammad SAW dan terus melanjutkan penyampaian kabar gembira dan peringatan sebagaimana Muhammad lakukan. Oleh sebab itu semua bentuk jalan yang diridhoi oleh Allah SWT, merujuk kepada Muhammad SAW sang tauladan.

Tauladan, hal ini harus mampu dilahirkan umat Islam saat penyampaian kabar gembira dan peringatan. Tauladan merupakan kekaffahan seorang insan dalam ber-Islam. Penyampai yang tak memiliki ketauladanan adalah seorang pembohong belaka. Adalah kenyataan bahwa tak ada yang bisa membenarkan Muhammad SAW sebagai seorang pembohong dimata umatnya maupun dimata musuh-musuhnya. Hal ini karena Muhammad SAW memiliki ketauladanan yang diakui oleh semua pihak. Pun keberadaan ketauladanan Muhammad SAW tetap ada yang tidak mengikutinya apalagi seorang pengikut Muhammad SAW yang menyampaikan kabar gembira dan peringatan tanpa ketauladanan dalam dirinya, tentu saja hanya seorang pembohong besar bagi manusia lainnya.

2. Nahi Munkar
Sisi lain yang harus terlengkapi dalam sebuah ”hijrah” adalah keberadaan sikap ”Nahi Munkar”. Nahi Munkar yang secara harfiah berarti mencegah kemungkaran, merupakan sikap aktif insan beriman untuk menghindari diri dan lingkungannya dari orientasi-orinetasi hidup dan perilaku yang tidak diridhoi oleh Allah SWT. Oleh sebab itu setiap muslim yang beriman tidak cukup hanya dengan sikap amar-ma’ruf, namun juga harus melengkapinya dengan sikap Nahi Munkar. Hal ini dapat ditempuh dalam berbagai jalan, antara lain menghilangkan penyakit hati, tidak mencegah diri dan orang lain terhadap suatu kebaikan yang akan dibuat, dan aktif dalam mendamaikan setiap perselisihan yang muncul serta menjaga dan meneruskan nilai-nilai kenabian dan kerasulan yang dibawa oleh nabi besar kita Muhammad SAW.

Islam selalu menyatakan bahwa penyakit hati merupakan sumber kemungkaran yang terjadi disepanjang sejarah kehidupan manusia didunia ini. Iri, dengki, ria takabur dan sebagainya merupakan penyakit hati yang selalu memunculkan kemungkaran pada diri sendiri dan pada lingkungannya. Rasul selalu mengajarkan kita untuk selalu berintrospeksi diri disaat kita beribadah. Terutama pada saat menunaikan ibadah malam sebagai sebuah terapi untuk menyembuhkan penyakit hati. Terapi ini harus dijaga dengan sikap untuk selalu ikhlas dan menghormati atas apa yang dihadapi dikeseharian kehidupan. Kedua sikap ini lahir dari prinsip bahwa tidak ada yang lebih berhak atas seorang insan terhadap insan lainnya selain Allah SWT.

Sikap ini dengan sendirinya akan berimbas pada sikap kaum mukmin yang tidak membuat kerusakan dimuka bumi. Hal ini karena sikap saling menjaga telah tumbuh dalam diri umat yang beriman tersebut. Sebagaimana Allah tidak menciptakan manusia sebagai makhluk perusak di muka bumi sebagaimana yang ditakutkan oleh malaikat. Jadilah umat islam adalah rahmat seru sekalian alam. Tentu saja hal ini hanya berlaku bagi orang yang benar-benar beriman, di manapun ia berada ia selalu membawa kebaikan dan selalu tidak mencegah sesuatu kebaikan tercipta di lingkungannya. Bahkan umat muslim dikatakan beriman jika ia tidak membiarkan sebuah perselisihan berlanjut terus tanpa ada usaha untuk mendamaikannya. Perselisihan adalah api yang semakin besar semakin tak dapat dikendalikan.

Itulah sebaik-baiknya ikhtiar dari umat pengikut Rasulullah SAW diakhir zaman. Umat-umat beriman inilah yang selalu menjaga nilai kenabian dan kerasulan tetap hadir di muka bumi dengan membawa kedamaian dan keadilan bagi alam semesta. Ikhtiar ini tidak hanya sekedar ucapan namun juga lahir dari setiap noktah perilaku kehidupan kaum mukmin dan telah menjadi Ikhtiar menuju ridho Ilahi. Pembentukan Individu.

Hijrah sebagai ikhtiar harus dimulai dari diri sendiri. Membentuk diri dalam standar-standar kaum ”muttaqin” adalah keniscayaan ikhtiar kaum mukmin. Al Qur’an menyebutkan beberapa standar yang dapat dibentuk pada tiap insan, diantaranya muabid, mujahid, mujtahid hingga akhirnya menjadi mujadid. Standar-standar tersebut bagian dari standar insan yang membawa rahmat bagi alam.
• Mu’abbid : menjadi insan yang tekun beribadah, mulai dari ibadah yang terkait pada dirinya maupun terkait pada lingkungannya.
• Mujahid : memliki semangat juang yang tinggi sehingga ia memiliki pemahaman dan kemampuan berjihad dalam garis agama.
• Mujtahid : memiliki kemampuan berijtihad sehingga segala tindakannya didasarkan pada pilihan sadar dari dalam dirinya.
• Mujadid : memiliki kemampuan dalam melakukan pembaharuan dilingkungan sekitarnya.

Pencapaian standar tersebut bukanlah hal yang mustahil untuk dibentuk. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa tiap insan sebagai makhluk ditakdirkan memiliki potensi kemampuan untuk menghadapi dunia kehidupan. Potensi inilah yang harus dilihat dan dikembangkan pada tiap diri manusia. Potensi merupakan ruh kehidupan yang bergelora. Semakin dikembang-olahkan semakin hidup menyala ruh kehidupan dan semakin dekat dengan keberhasilan pencapaian standar kaum muttaqin.

Adalah kedzaliman pabila ada usaha yang mematikan potensi-potensi dasar kehidupan manusia, karena sama dengan melakukan penindasan hidup dan kehidupan. Tidak ada potensi yang baik atau tidak baik. Namun yang ada hanya arah pengembangan potensi berada diluar jalan yang diridhoi Allah SWT atau di jalan yang diridhoi oleh Allah SWT sebagaimana jalannya umat-umat yang bertaqwa.

Potensi diri pada tiap insan dapat teridentifikasi saat tiap insan berinisiatif untuk berinteraksi secara aktif dengan lingkungannya. Lingkungan ini memiliki daya penarik atas potensi yang tersembunyi dalam jasad dan pikiran manusia. Maka inisiatif dan keaktifan manusia untuk berinteraksi dalam lingkungannya menjadi keharusan dalam mencapai keberhasilan pembentukan standar kualitas insan bertaqwa. Maka kesadaran untuk masuk dalam sebuah lingkungan dan kemampuan memilih sebuah lingkungan akan menentukan bagaimana potensi diri berproses dan memberi bentuk kualitas diri. Pemilihan lingkugan akademis yang dominan akan memicu potensi akademis manusia untuk berproses membentuk kualitas diri yang lebih akademis pula. Lingkungan berfungsi sebagai faktor eksternal manusia yang ikut memberi sumbangsih dalam memilih rupa kedirian yang terbentuk.

4. Pembentukan Masyarakat.
Tak ada satu insanpun yang bisa menjamin bahwa pembentukan kualitas diri oleh dirinya secara sendiri dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan. Kenyataan ini melahirkan sebuah kebutuhan elemen eksternal untuk membantu menjaga proses pembentukan diri umat beriman. Tentu saja elemen eksternal ini adalah insan lainya beserta dengan interaksinya. Interaksi pada akhirnya akan membentuk sebuah komunitas yang lebh dikenal dengan masyarakat. Dengan demikian pembentukan diri otomatis merupakan pembentukan masyarakat pula. Dengan kata lain, proses diri akan melahirkan proses komunitas dalam lingkungan diri tersebut.

Secara lebih luas interaksi diri dengan insan lainnya yang kemudian menjadi bagian dari proses pembentukan masyarakat, tentu saja sama dengan pembentukan sistem kemasyarakatan. Sistem inilah yang menjadi salah satu penjaga diri untuk memberi jaminan lebih atas proses diri yang dijalankan kaum mukmin dan muttaqin. Jalan umat-umat yang beriman dan bertaqwa, bukan jalan yang memiliki sistem kemasyarakatan yang menindas sesama manusia namun memiliki sistem yang saling menjaga keselamatan satu dengan yang lainnya.

Kaum mukmin bukan kaum yang melaknat sesama manusia namun merupakan kaum yang menjadi rahmat bagi seluruh manusia. Oleh sebab itu kaum mukmin memiliki kewajiban berinteraksi pada komunitasnya dengan memberi jaminan keselamatan pada sesamanya. Interaksi yang buruk dalam komunitas tentu akan membentuk masyarakat yang tidak bisa saling menjaga keselamatan satu dengan lainnya. Pada akhirnya akan membawa seluruh kaum tersebut kedalam jurang kehancuran bagi kaum itu sendiri.

Kewajiban yang melekat pada kaum mukmin dalam membentuk masyarakat dan sistem kemasyarakatan bukan hanya untuk menyelamatkan kaum itu sendiri namun juga untuk menyelamatkan diri-diri umat beriman itu sendiri. Tak ada kaum mukmin yang selamat dalam komunitas yang hancur. Karena kaum mukmin itu sendiri tidak mampu menyelamatkan komunitas tersebut. Kehancuran atas sebuah kaum adalah sebuah penyangkalan manusia atas takdir penciptaan dirinya sendiri yaitu takdir sebagai khalifah bagi unianya. Takdir yang menyatakan bahwa manusia adalah pemelihara atas keberadaan dunianya.

Pada akhirnya terbentuknya sistem yang dapat menjaga satu insan dengan insan lainnya menjadi indikator ikhtiar umat beriman dalam proses hijrah dirinya. Kegagalan pembentukan sistem kemasyarakatan ini akan membawa kegagalan ikhtiar dalam berhijrah yang tentu saja menjadi sebuahkegagalan dalam mengamalkan ikrar syahadat yang telah ia lakukan.

Download E-Book nya disini
Label:

Posting Komentar

[blogger]

BPL HMI Cabang Pontianak

{facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google-plus#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget