Latest Post

Khittah Perjuangan
Himpunan Mahasiswa Islam
(Etos Perjuangan)
Dikutip dari : Hasil Kongres 26 HmI

Perubahan tatanan masyarakat yang berdasarkan nilai-nilai Islam bukanlah suatu janji Allah SWT yang diberikan begitu saja kepada ummat manusia tanpa ada proses pembentukan. Proses pembentukannya pun menuntut adanya keterlibatan manusia didalamnya. Tuntutan akan keterlibatan  manusia dalam proses pembentukan masyarakat dikarenakan manusia diciptakan Allah SWT sebagai khalifah dimuka bumi, sehingga ia memiliki peran mengatur dan penentu bentuk tatanan masyarakat yang diridhoi oleh Allah SWT. 

Manusia dalam menjalankan perannya sebagai khalifah tidak dengan berdiam diri dan melihat perubahan tatanan dan lingkungan masyarakatnya berjalan dengan sendirinya. Namun peran khalifah itu harus dijalankan manusia dengan berusaha dan berjuang sepenuhnya untuk pembentukan  tatanan masyarakat yang diridhoi oleh Allah SWT dan tentunya tatanan itu berjalan dengan dasar nilai-nilai Islam yang berlaku didalamnya.

Oleh sebab itu semangat untuk berjuang (etos perjuangan) menjadi penting untuk dimiliki oleh seorang insan yang diciptakan sebagai khalifah dimuka bumi. Etos perjuangan menjadi bekal dalam berusaha dan berjuang untuk perbaikan masyarakat di setiap waktu dan di setiap tempat. Manusia yang memiliki etos perjuangan yang cukup kuat akan selalu sadar untuk melihat realitas lingkungan sekitarnya dan melakukan perubahan serta perbaikan atas kondisi lingkungannya tersebut setiap saat. Melakukan perubahan dan perbaikan setiap saat tanpa henti seperti ini dikarenakan kondisi lingkungan masyarakat tidak pernah mencapai titik ideal yang diam dan statis.

Begitu juga dengan tatanan masyarakat yang diyakini didasarkan oleh nilai-nilai Islam tidak akan pernah mencapai titik kebenaran ideal  sepanjang zaman. Oleh sebab itu Islam yang tidak mengenal konsep kemapanan, akibatnya memunculkan tanggung-jawab tiap muslim untuk terus berjuang menegakkan kebenaran tanpa ada kata henti dan titik akhir. Seorang muslim akan melakukan perjuangan sejak ia lahir sampai ia dikuburkan mulai dari lingkungan dirinya sampai pada masyarakat keseluruhan.

Etos perjuangan yang harus dimiliki tiap muslim merupakan cerminan gerak iman seorang muslim tersebut. Iman tidak hanya diukur atas  berapa banyak shalat yang ia kerjakan, atau berapa banyak zakat yang ia keluarkan atau berapa lama puasa yang ia lakukan dan berapa banyak ibadah haji yang ia tunaikan Namun iman juga diukur dengan seberapa lama dan seberapa kuat manusia berjuang mewujudkan kebenaran dalam masyarakat demi kemaslahatan umat manusia. Keistiqomahan berjuang ini menjadi ukuran kemuliaan iman karena menunjukan tingkat keyakinan diri manusia atas kebenaran keilahian itu sendiri.

Pada intinya perjuangan dalam hidup seorang muslim merupakan suatu proses peningkatan kualitas akan iman yang membentuk jati diri muslim seutuhnya. Oleh sebab itu perjuangan pada seorang muslim harus merupakan sebuah pilihan sadar atas dasar keimanan, bukan sebuah tuntutan yang lahir dari luar dirinya. Dikatakan sebagai pilihan sadar jika ia telah memenuhi dua syarat yaitu “berkehendak dan terlibat”. Ini artinya seseorang tidak dapat mengaku berjuang atas dasar pilihan sadar dari dirinya sendiri jika dalam  memulai perjuangannya dilakukan atas dasar perintah atau paksaan orang lain (bukan kehendak diri). Seseorang juga tidak dapat mengaku berjuang atas dasar pilihan sadar dari dirinya sendiri jika selama perjuangan tersebut berjalan ia tidak secara langsung terlibat dalam aktifitas perjuangan itu.

Selain kesadaran akan pilihan, seorang muslim dikatakan berjuang jika ia juga sadar akan resiko dan prestasi yang akan ia peroleh. Sehingga tidak ada perjuangan yang berjalan secara buta tanpa melihat apa yang akan ditemui di medan juang. Dengan demikian seorang muslim yang berjuang tidak mengalami keterkejutan dan kegagapan yang muncul ditengah perjalanan perjuangannya. Seorang muslim harus melakukan taksiran-taksiran atas apa yang akan ia hadapi dalam rentang waktu perjuangannya. Ini akan menciptakan sikap diri yang tidak pernah terjerumus dalam kesedihan akan kegagalan dan tidak pernah terbuai dalam kegembiraan akan keberhasilan. Keterjebakan pada kesedihan pada saat gagal dan pada saat berhasil cuma akan membuat seseorang lupa diri. Lupa diri selalu membuat perjuangan berhenti pada satu titik kegagalan atau pada satu titik keberhasilan.

Sebagai suatu ukuran keimanan yang paling terpenting dalam etos perjuangan adalah bagaimana seorang muslim dapat mempertahankan imannya dengan tetap berjuang setiap saat (istiqomah). Keberhasilan suatu perjuangan bukanlah titik kemuliaan keimanan dari seorang muslim. Kegagalan juga bukan merupakan titik kehinaan dalam keimanan seorang muslim. Namun istiqomahlah yang menentukan apakah keimanan seorang muslim itu merupakan iman yang sebenar-benarnya atau iman yang sebatas pengakuan tanpa implementasi.

Oleh sebab itu perjuangan bagi seorang muslim yang diutamakan bukan bagaimana ia mencapai keberhasilan dan menghindari kegagalan, namun yang diutamakan adalah bagaimana ia dapat bertahan untuk terus berjuang. Keberhasilan dalam perjuangan hanya sebuah taksiran-taksiran perjuangan yang memperlihatkan bahwa sebuah perjuangan telah mencapai satu titik tertentu dan harus dilanjutkan pada titik berikutnya. Kegagalan dalam perjuangan merupakan peringatan atas kesalahan yang terjadi dalam perjuangan  sehingga dituntut adanya perbaikan dimasa mendatang.

Kemuliaan perjuangan yang paling tinggi akan terbentuk pada tingkat perjuangan dalam bentuk “jihad”. Jihad secara etimologis berarti sungguh-sungguh. Pada jihad seorang muslim akan memakai seluruh potensi yang ia miliki secara fisik maupun secara non fisik untuk menjalankan perjuangannya. Jihad dalam konsepsi Islam merupakan sebuah titik kesempurnaan dan kemuliaan iman seorang muslim dalam kehidupannya. Perjuangan jihad fi sabililah yang bertujuan akhir menegakkan cita-cita Islam ini dijalankan dengan misi penyadaran dan petunjuk sebagaimana esensi ajaran Islam itu sendiri.

Al Qur’an tidak memberikan ekuivalensi jihad dengan qital atau perang. Perintah Jihad-pin hadir sebelum perintah perang (qital) turun Ini berarti. Namun Jihad lebih menggambarkan kewajiban individu dalam berjuang secara sungguh-sungguh di garis Islam pada titik kemuliaannya dimana dia harus mengorbankan segala sesuatu yang ia miliki termasuk jiwa, raga dan lingkungannya. Keutuhan perjuangan itulah yang merupakan pesan yang disampaikan Alqur’an bagi umatnya.

Keutuhan bentuk perjuangan tersebut dituntut untuk tetap dijaga dengan sikap diri yang bernama “ikhlas”. Ikhlas mencerminkan suatu bentuk hubungan antara makhluk dan khaliknya. Oleh sebab itu ikhlas tidak dicerminkan oleh ucapan atau janji seorang manusia kepada manusia lainnya melainkan dicerminkan dari konsistensi perjuangan dan pengorbanan yang ia lakukan.

Konsistensi ini tidak tergantung pada imbalan yang ia terima dari sesama manusia. Bahkan berjihad dengan segala pengor-banannya lebih sering mendapat celaan oleh manusia lainnya daripada imbalan. Maka dari itu ikhlas menjadi penyempurna atas perjuangan menegakkan kebenaran. Inilah kunci bagi pejuang yang tidak akan lupa diri ketika menerima satu tahap keberhasilan juga tidak akan tenggelam ketika mengalami kegagalan.

Orang yang berjihad kita kenal sebagai mujahid. Tiap muslim dapat menjadi mujahid. Proses menjadi mujahid akan membuat seorang muslim tahuapa arti sebuah kehidupan secara utuh dan tahu bagaimana ia harus hidup dalam kehidupan tersebut 58. Ini merupakan titik kemulian seorang manusia yang tidakakan pernah terseret oleh arus zaman namun selalu membentuk dan melakukan perubahan zaman. Ada beberapa ciri khas yang dimiliki oleh seorang mujahid yaitu: saja’ah (berani), totalitas, adil, jujur, amanah, sabar, tawadhu (rendah hati), pema’af dan istiqomah.

Berdasarkan konsep yang diuraikan diatas, jihad mestinya meliputi pemahaman situasi internal dan eksternal, sehingga langkah dan kebijakan yang diambil tidak sekedar didasarkan pada peluang yang muncul dan menunggu kematangan situasi, melainkan lebih merupakan upaya progresif  untuk menciptakan peluang dan situasi yang dapat menjadi instrumen konstruktif bagi perjuangan Islam.

Dikutip dari : Khittah Perjuangan Kongres Ke 26 HMI
Download E-Book nya disini

KHITTAH PERJUANGAN
HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM
(TUJUAN)
Dikutip dari : Hasil Kongres 26 HmI

Tauhid sebagai hal paling esensial dalam ajaran Islam, merupakan titik berangkat utama dalam setiap kegiatan manusia; pikiran, perasaan dan tindakannya. Tauhid menjiwai gerakan manusia baik secara individu maupun sosial. Secara individu seseorang akan dibimbing untuk membawa/memproses dirinya mendekati  kesempurnaan Tuhan. Sedangkan secara sosial, harga diri masyarakat ada pada kemajuan masa depannya, terutama dalam konteks eskatologisnya. Ummah itu sendiri juga sama akar katanya dengan am, masa depan. Wawasan kemasadepanan pada hakikatnya telah terkandung dalam ajaran tauhid secara sosial. Oleh sebab itu, ia akan selalu menginspirasi tujuan, usaha, gerakan dan kemajuan.

Gambaran atas keyakinan, wawasan keilmuan, wawasan sosial, kepemimpinan, dan etos perjuangan serta pandangan atas hari kemudian merupakan visi dasar dari sosok manusia “hidup”. Bermula dari visi inilah kemudian manusia membentuk misi kehidupan dengan arah tujuan yang jelas dalam rumusan hidupnya. Penerimaan konsep keilahian dimana Allah adalah ilah manusia dan sekalian alam, berkonsekwensi dengan lahirnya tujuan yang sejalan dengan penerimaan  konsep keilahian tersebut.

Pada tataran ini Islam menyatakan bahwa syahadat adalah awal dari jalan hidup manusia. Berawal dari syahadat inilah terbentuk konsep tujuan yang menarik garis langkah manusia dengan rambu-rambunya. Syahadat memiliki dua unsur yaitu penerimaan Allah SWT sebagai Ilah dalam kehidupan manusia dan penerimaan Muhammad SAW sebagai tauladan kehidupan manusia. Dua unsur ini bertitik-tolak dari dalam diri manusia secara sendiri dan mandiri untuk berhubungan dengan Allah SWT dan berhubungan dengan manusia lainnya. Tujuan hubungan itu adalah pembentukan diri manusia itu sendiri.

Pada dasarnya, penerimaan dan pengakuan keberadaan Allah SWT adalah konsep “pembentukan diri” yang dimulai dari usaha untuk menemukan siapa manusia itu. Penerimaan manusia dalam posisi makhluk dan Allah SWT pada posisi sang khalik membawa konsekwensi bahwa manusia dipenuhi dengan standar-standar yang ditentukan Allah SWT. Pada konsep penciptaan manusia (seperti Adam AS tercipta), manusia harus menjalani berbagai proses untuk menemukan siapa dirinya. Proses mengenal benda, mencari dan menemukan teman hidup, dan pelepasan kehidupan syurga yang penuh dengan kecukupan ke kehidupan di dunia yang serba kurang. Proses inilah yang dinamakan “hidup”.

Hakikatnya hidup adalah usaha menuju kesempurnaan jawaban atas pertanyaan “siapa manusia itu?” Artinya, manusia yang berusaha mencari jawaban adalah manusia yang “hidup”. Penerimaan dan pengakuan sosok Muhammad SAW sebagai tauladan manusia adalah pilihan sadar atas bentuk usaha dalam menemukan diri manusia itu. Penerimaan dan pengakuan atas seorang manusia biasa, berdampak atas lahirnya kewajiban tiap manusia untuk mengakui keberadaan manusia lainnya dalam usaha penemuan dirinya.

Penerimaan dan pengakuan ini menunjukan akan adanya realitas atas ”keberadaan pertanyaan” pada diri manusia dan realitas ”keberadaan jawaban” pada  sang khalik dan manusia lainnya. Manusia hidup tentu saja akan mencari jawaban-jawaban yang hadir dalam dirinya. Dan hanya pada sisi Allah SWT jawaban itu dipenuhi secara menyeluruh. Namun demikian manusia tidak bisa menemukan jalan mencari jawaban pada sisi Allah SWT tanpa terlebih dahulu menemukan jawaban dari manusia lainnya dan alam sekitarnya.

Di luar konteks individu (jama’ah), konsep hidup lebih dikenal dengan ”perjuangan nilai”. Bagi jama’ah yang terdiri dari individu bersyahadat, bentuk usahanya tentu tidak lepas dari dua unsur penerimaan dan pengakuan diatas. Akibatnya jama’ah harus menjadi wahana bagi individu-individu yang hadir didalamnya untuk menjalankan proses hidupnya. Jama’ah harus memiliki tali yang mengaitkan satu individu dengan individu lainnya dalam perjuangan nilainya. Sebagai makhluk yang selalu mencari jawaban-jawaban, individu dalam jama’ah tentu harus dibantu dalam usahanya tersebut.

Oleh sebab itu pada satu dimensi jama’ah harus meningkatkan kemampuan individu yang hadir didalamnya dalam mencari jawaban-jawaban yang ia cari. Kapasitas inilah yang dapat menjadi satu tali pengait berharga antara satu individu dengan individu lainnya. Hal ini karena tak adanya jaminan bahwa jama’ah mampu memberi jawaban yang ”memuaskan” atas semua pertanyaan-pertanyaan yang lahir dalam diri individu-individunya. Namun individu-individu didalamnya dapat mencari semua jawaban ketika peningkatan kapasitas diri dalam menemukan jawaban itu terus meningkat.

Namun ketika jama’ah secara struktural mampu meningkatkan kapasitas individu dalam usaha menemukan jawaban maka akan lahir jawaban-jawaban yang ditemukan oleh sang individu dalam dua bentuk proses, yaitu ”pilihan dan kesadaran”. Dua bentuk proses ini sangat penting dalam kekuatan hidup manusia. Manusia yang mendapat jawaban atas proses ”memilih dan sadar” akan lebih tidak mudah goyah dalam menghadapi pertanyaan-pertanyaan berikutnya yang datang atau muncul pada dirinya. Kekuatan ini akan mengecilkan kemungkinan-kemungkinan keputus-asaan seorang manusia dalam hidupnya.

Kewajiban jama’ah dalam meningkatkan kapasitas individu-individu dalam menemukan jawaban-jawaban, tentu tidak bisa hanya terikat dalam lingkaran diri jama’ah itu saja. Karena jama’ah adalah bagian dari berbagai ummat manusia maka ia juga perlu menciptakan ruang-ruang interaksi pada lingkungan sekitarnya. Pada akhirnya dari ruang-ruang interaksi inilah kemudian lahir sebuah kewajiban untuk melakukan peningkatan kapasitas manusia di luar lingkaran jama’ah itu sendiri.

Semua hal diatas berlaku bagi jama’ah dilingkungan mahasiswa-mahasiswa Islam. Kaum intelektual yang hadir dalam proses pencerdasan dirinya sendiri dan menyelesaikan status kemahasiswaannya untuk mencerdasakan elemen masyarakat lainnya tidak lepas dari konsep penerimaan dan pengakuan dalam syahadat. Standar kapasitas mahasiswa adalah awal dari tujuan dari jama’ah dilingkungan mahasiswa.Seiring dengan usaha mencapai tujuan, jama’ah secara strukturalpun melakukan interaksi dengan elemen lain untuk membentuk standar kualitas lingkungannya. Pada akhirnya dapat terukir sebuah teks tujuan yang berbunyi “Terbinanya mahasiswa Islam menjadi insan ulil albab yang turut bertranggungjawab atas terwujudnya masyarakat yang diridhoi oleh Allah subhanahu wata’ala”.

Dikutip dari : Khittah Perjuangan Kongres Ke 26 HMI

Download E-Book nya disini

Khittah Perjuangan
Himpunan Mahasiswa Islam
(Kepemimpinan)
Dikutip dari : Kongres Ke 26 HMI

Bagi Islam hubungan antara individu dengan masyarakat serta pola-pola interaksinya bukanlah hubungan antara individu dan masyarakat yang saling bertentangan, saling menindas, bahkan eksploitatif.51 Islam memandang bahwa hubungan individu dan masyarakat adalah koheren, kohesif dan komplementatif. Islam menyatakan bahwa individu dan masyarakat telah terikat dalam sisitem nilai yang sama, memiliki otentasi dalam misi yang sama melalui pola kerja yang beragam. Sehingga dalam Islam sesama muslim adalah saudara. Kehadiran seorang muslim bagi seluruh manusia dan sekalian alam adalah rahmat, bukan bencana.

Sifat rahmatan lil alamin tersebut bukanlah sesuatu yang hadir tiba-tiba, namun harus melalui proses yang terus dalam kehidupan bermasyarakat. Sebagai makhluk komunal manusia dituntut untuk membuat kesepakatan-kesepakatan di antara sesamanya. Kesepakatan ini lahir agar interaksi sesama manusia dan interaksi dengan alam tidak bersifat merusak namun bersifat menjaga.

Manusia merupakan satu-satunya makhluk yang berani untuk memulai sikap saling menjaga, yang pada akhirnya menjadikannya sebagai makhluk yang memimpin makhluk lainnya di alam semesta ini. Makhluk lainnya menolak peran ini, karena peran ini menuntut sebuah konsekuensi. Konsekuensi di mana makhluk yang menjadi pemimpin (khalifah) harus bisa menjaga dirinya sendiri dari kehancuran dan membawa konsekuensi menjaga makhluk lainnya agar terhindar dari kepunahan. Kehancuran dan kepunahan dalam proses alam semesta merupakan sebuah kepastian yang tidak dapat ditolak dalam siklus alam semesta. 

Penobatan manusia menjadi khalifah dilengkapi dengan fungsi kepemilikannya akan ilmu yang diberikan Allah SWT, yang secara potensial dapat didayagunakan untuk mengatur dan mengelola alam semesta. Inilah yang menjadi pembeda hakiki antara manusia dengan makhluk lainnya, sehingga kekhalifahan menjadi hak dan sekaligus tangungjawab manusia. 

Istilah khalifah secara etimologis berarti wakil dan dalam pengertian risalah islam berarti wakil Allah dimuka bumi, yang berkewajiban memakmurkan bumi sesuai dengan kehendak dan ajaran-NYA. Disamping khalifah, istilah lain yang hampir sama adalah imamah. Imam secara etimologis berarti pemimpin dan dalam pengertian Islam berarti pemimpin ummah yang berkewajiban mengurus kepentingan dan berbagai aspek kehidupan umat Islam. Sistem kekhalifahan atau immah merupakan kekayaan historis yang pernah berlaku didunia Islam, sedangkan dalam penentuan formatnya di masa mendatang sangat ditentukan oleh kualitas Ijtihad dari setiap generasi dalam menghadapi permasalahan- permasalahan kondisional.

Pada konteks masyarakat, kepemimpinan (khalifah atau imam) merupakan sebuah kepercayaan satu individu atau lebih kepada individu lainnya. Dengan demikian perlakuan hidup yang diberikan seorang yang dipercaya diharapkan tidak merugikan individu yang memberi kepercayaan. Kondisi ini diesbut dengan ”kondisi berkeadilan” Oleh sebab itu kualitas kepemimpinan dalam masyarakat diukur dalam tingkat keadilan yang mampu diciptakan. Untuk mencapainya, manusia dalam bermasyarakat dapat menciptakan sistem kepemimpinan yang membawa keadilan. Selama sistem tersebut memberikan keadilan bagi manusia dan tidak mempercepat kehancuran bagi makhluk lainnya maka sistem itu dapat dipertahankan. Tetapi tak ada sistem kepemimpinan yang secara ideal mampu menciptakan keadilan yang ideal pula selain kerasulan yang diturunkan oleh Allah SWT. Maka sistem kepemimpinan dapat berubah sepanjang waktu sesuai dengan kesepakatan sesama manusia yang menjalankannya. 

Sistem kepemimpinan yang pasti berubah untuk perbaikan secara terus menerus mengakibatkan sesama manusia tidak boleh menghambat proses perbaikan tersebut. Proses perbaikan akan terhambat ketika ada sikap dominasi mutlak satu manusia terhadap manusia lainnya. Sikap ini tentu akan bermuara pada terciptanya kondisi kezaliman. Dalam menghadapi dominasi mutlak tersebut, Islam mengajarkan manusia untuk ber-amar ma’ruf nahi mungkar. Pada konsep ini umat Islam dituntut untuk selalu memberi peringatan kepada siapapun yang melakukan kedzaliman.57 Bagi kaum yang terdzalimi atau kaum mustadh’afin Islam mengajarkan untuk membela haknya dengan menegakkan sistem hukum yang menjamin tegaknya keadilan dan kebenaran.

Oleh sebab itu Islam memandang bahwa kepemimpinan bukanlah untuk diperebutkan tetapi merupakan alat bagi manusia untuk membangun tatatan masyarakat yang diridhai Allah SWT. Islam juga memandang bahwa tatanan masyarakat yang diridhoi oleh Allah SWT didasarkan pada prinsip kepemilikan yang terpusat pada sang khalik. Bahwasannya segala sesuatu di alam semesta ini dan limpahan kekayaan di dalamnya adalah milik Allah SWT. Konsekuensinya Islam menolak suatu pemilikan dan pengusaan harta oleh manusia secara mutlak. Harta menurut Islam adalah amanah dari Allah, yang dalam penggunaannya harus berdasarkan hukum yang ditetapkan Allah dan digunakan untuk beribadah kepada-Nya.

Akibatnya sistem kepemimpinan juga harus mampu menjamin adanya aturan atas pengakuan “hak milik” dengan pola distribusinya. Salah satu aturannya adalah adanya hak sang fakir miskin. Sistem kepemimpinan harus mampu menjamin pemenuhan hak bagi fakir-miskin dari harta orang-orang  kaya. Muaranya siste kepemimpinan mampu melahirkan interaksi ekonomi yang tidak mengarah kepada akumulasi kekayaan disatu pihak yang mengakibatkan penderitaan dipihak lainnya.

Pada konteks Individu, Alqur’an mengatur kualifikasi khalifah. Prinsip utama kualifikasinya adalah pada tingkat keimanan sang makhluk. Sebagaimana diserukan oleh Allah SWT kepada sekalian mu’min untuk taat kepada Allah SWT, dan rasul-NYA serta ulil amri diantara para mu’min tersebut. Berarti, secara tegas kepemimpinan orang-orang yang ingkar ditolak. Prinsip ini sekaligus mengikat bai’at yang seharusnya dilakukan setiap mu’min, untuk tidak memilih walinya dari orang-orang yang membuat agama (Islam) menjadi buah permainan dan ejekan, yakni dari kalangan ahli kitab dan orang-orang kafir. 

Kualifikasi berikutnya terletak pada tingkat kearifan seseorang, baik dalam urusan syari’ah, ilmu pengetahuan, politik dan aspek kehidupan lainnya. Karena itu seorang khalifah atau imam, haruslah memiliki kualitas ulil al bab, dan mewarisi sifat-sifat nabi, yakni berbudi pekerti yang agung. Keberadaan sistem kepemimpinan dalam masyarakat juga harus mampu melahirkan sosok pemimpin yang berkualifikasi tersebut diatas. Ketidakmampuan dalam melahirkan sosok pemimpin yang pantas akan berimbas pada kehancuran masyarakat itu sendiri. Mulai dari jiwanya sampai dengan peradabannya.

Tentu saja individu-individu yang mukmin yang dapat memenuhi kualifikasi itu. Karena ia akan mampu mempertanggungjawabkan perannya sebagai khalifah dalam konteks dirinya dan dalam konteks lingkungannya dihadapan Allah SWT. Meluasnya tanggungjawab kepemimpinan ini juga mengakibatkan bertambahnya tanggungjawab yang harus dipikul seorang umat yang beriman dihadapan Allah SWT. Ia tidak hanya akan ditanya bagaimana ia menghidupi dirinya namun juga ditanya bagaimana ia menghidupi umat yang dipimpinnya. Pertanggungjawaban ini mencerminkan bahwa pemimpin lebih memiliki kemungkinan lebih besar untuk terjerumus kedalam neraka jahanam kelak, sehingga menjaga pemimpin-pemimpin yang telah kita beri amanah menjadi kewajiban mutlak bagi tiap manusia.

Kepemimpinan Islam sebagai instrumen kelembagaan, dalam kenyatannya, mempunyai tugas yang sama dengan tugas-tugas setiap mu’min yakni amar ma’ruf nahi munkar. Dengan demikian, antara intitusi kekhalifahan dengan individu-individu mu’min adalah koheren dalam mengemban tugas-tugas keumatan. Oleh karena itu keberadaan kepemimpinan Islam, bagi umatnya merupakan interpedensi dan koeksistensi. Hal ini menjadi citra utama keberadaan jama’ah dan kekhalifahan Islam yang par excelent sempurna, yang termanifestasikan pada masa nabi muhammad SAW. Demikian juga seharusnya bagi umat Islam dewasa ini sebagai bukti ketaatan kepada Allah SWT dan Rasul- Nya.

Dikutip dari : Khittah Perjuangan Kongres Ke 26 HMI
Download E-Book nya disini

KHITTAH PERJUANGAN
HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM
(Wawasan Sosial)

Tiap-tiap sistem keyakinan atau derivasinya memiliki cara pandang tentang dimensi private dan publik manusia yang berbeda-beda. Ada yang meyakini bahwa aspek individu manusialah yang utama (primer). Anggapan ini menyebabkan munculnya keserakahan seorang atau sekelompok orang yang berujung pada eksploitasi atas orang lain. Di sisi lain, ada keyakinan yang menekankan keutamaan aspek sosial. Pandangan ini menyebabkan diabaikannya kepentingan pribadi (individu). Bahkan keyakinan ini menyebabkan kediktatoran sebagai cara paling mudah untuk menekan keinginan individual manusia. Kedua cara pandang ini merupakan filsafat sosial yang mengingkari sebagian unsur kemanusiaan atas unsur lainnya.

Islam menolak kedua anggapan tersebut di atas. Selain itu, Islam juga menolak bahwa manusia memasyarakat karena terpaksa oleh kenyataan bahwa manusia tak dapat hidup tanpa bantuan orang lain. Demikian juga Islam menolak anggapan bahwa manusia bermasyarakat untuk membangun kerja sama antara individu sehingga lebih produktif. Cara pandang tentang nilai kemasyarakatan yang dipaksakan oleh kelemahan manusia maupun pilihan manusia untuk bekerja sama agar lebih produktif akan menumbuhkan potensi kesombongan bagi manusia yang beroleh sejumlah kelebihan individual, baik dalam berupa kekayaan, kekuasaan, status sosial dan tingkat pendidikan.

Islam memandang bahwa kemasyarakatan merupakan ciri kemanusiaan yang tak dapat dipisahkan dari kepribadian manusia. Karakter dan jiwa kemasyarakatan bukan sesuatu yang baru tumbuh setelah manusia berinteraksi dengan orang lain, melainkan sudah ada sejak manusia diciptakan. Dengan demikian, Islam memandang bahwa seorang manusia memiliki hak-hak pribadi yang harus dihormati. Individu yang bersangkutan juga bertanggung jawab untuk memenuhi kepentingannya, baik yang bersifat material untuk kebahagiaan di dunia hingga yang menyangkut keselamatan dan kebahagiaannya di akhirat. Namun, pada saat yang sama manusia bertanggung jawab mewujudkan kepentingan bersama.

Masyarakat dalam pandangan Islam memiliki jiwa sebagaimana individu memiliki jiwa juga. Perbedaan jiwa kemasyarakatanlah yang membuat suatu perbadaan antara kaum yang satu dengan kaum yang lain. Jiwa kemasyarakatan yang lemah akan menyebabkan lemahnya sistem kehidupan dan hilangnya kehormatan warga masyarakat atau suatu kaum. Problematika ini dikenal dengan kematian sosial38 yang selalu diawali dengan munculnya penyakit-penyakit sosial. Tiap anggota masyarakat bertanggung jawab untuk menjaga kehormatan dan harga diri masyarakatnya sehingga terhindar dari kematian sosial.

Kematian sosial biasanya dimulai dan ditandai oleh sebuah sikap saling tidak peduli satu dengan yang lainnya yang kemudian menjadi suatu kewajaran dalam sistem masyarakat. Inilah awal kematian sosial. Sikap saling tidak peduli akan memperbanyak orang yang menindas diantara sesamanya. Pada awalnya penindasan cuma sebuah noktah ditengah lautan, namun ketidakpedulian membuatnya menjadi samudera kehidupan, ketidakpedulaian membuat penindasan menjadi sistem masyarakat. Tak ada lagi yang mampu mencegahnya kecuali kehancuran masyarakat itu sendiri. Allah SWT mengecam sikap-sikap yang melemahkan jiwa kemasyarakatan.
Sikap seperti ini dsetarakan dengan “kemurtadan”. Allah SWT akan menghapus kehormatan, bahkan eksistensi suatu masyarakat itu lalu menggantikannya dengan kaum yang baru. Kaum baru ini adalah kaum yang dicintai dan mencintai Allah SWT, bersikap lemah lembut terhadap orang beriman, bersikap tegas terhadap orang-orang kafir, berjihad dijalan Allah dan tidak takut terhadap celaan para pencela. Kaum baru ini memiliki jiwa yang kuat, memiliki inspirasi sosial untuk melahirkan karya peradaban. Kaum baru ini adalah kaum yang hidup atas dasar konsep tauhid yang hanya dapat dikembangkan oleh diri-diri yang bertaqwa. Inilah yang disebut dengan masyarakat yang “hidup”. Masyarakat ini tidak memiliki penyakit sosial yang bernama ketidakpedulian diantara sesamanya. Sikap saling menjaga akan mencegah penindasan meluas karya peradaban umat terus terlahirkan.
Konsepsi mengenai masyarakat diatas tak dapat lepas dari konsepsi tentang manusia. Kegagalan dalam memahami manusia akan menyebabkan kegagalan yang sama dalam memahami masyarakat, serta kekeliruan dalam memperlakukannya. Manusia merupakan puncak kesempurnaan penciptaan. Di antara seluruh makhluk, manusialah yang dianugerahi keutamaan untuk memiliki “unsur ilahiyah” yakni perwujudan ruh Tuhan, yang kelak akan menjadi modal baginya untuk berakhlak berdasarkan sifat-sifat Tuhan.

Manusia tidak dapat diukur hanya dari sisi materialnya seperti anggapan kaum materialis, demikian juga tidak hanya dari sisi non-materialnya seperti anggapan kaum batiniyah. Itu sebabnya, manusia disebut sebagai sebaik-baik ciptaan. Manusia memiliki kehendak bebas dan kemerdekaan memilih dalam rangka menentukan nasib masa depannya. Allah SWT mengaruniakan kesanggupan merancang sejarah masa depannya hingga hari akhir saat menghadapkan dirinya pada hari pembalasan. Pada fitrah sebaik-baiknya ciptaan ini bukan berarti manusia adalah makhluk super dan bukan pula penguasa yang berhak mengeksploitasi makhluk lainnya. Hal ini Karena konsep kemanusiaan bukanlah penegasian makhluk lain. Sehingga kematian satu makhluk merupakan kematian sebagian sisi manusia itu sendiri.

Pada sebaik-baiknya ciptaan tersebut pula, Allah SWT menciptakan manusia dan alamnya dengan karakter-karakter yang mandiri, dan tak satupun yang persis serupa adanya. Akibatnya dalam interaksi akan selalu ditemui keberagaman. Kenyataan keberagaman manusia, dari individu, suku, bangsa atau kaum merupakan kehendak bijak Allah SWT untuk mendidik manusia membangun interaksi sosial dalam kerangka ketaqwaan.

Sehingga keberagaman bukanlah penghambat pembentukan masyarakat, melainkan justru mendorong kehidupan bermasyarakat ke arah kesempurnaan. Sebab, adanya keberagaman itu tidak akan menghalangi manusia untuk tetap tegak berpegang pada prinsip hukum yang adil sekaligus benar pada interaksi masyarakatnya.

Selain itu, Islam memandang bahwa sesama manusia memiliki kedudukan hak dan kewajiban dihadapan Allah. Ini dikarenakan manusia menurut Islam, dicipta dari bahan yang sama dalam fitrah yang sama, yakni tauhid, dan memiliki tugas-tugas yang sama pula, yakni beribadah. Maka, Islam tidak memandang penting perbedaan status yang didasarkan pada etnis, geografis atau kelas sosial. Islam berpandangan bahwa harkat kemanusiaan yang tertinggi dapat dicapai oleh manusia karena ketaqwaannya, atau sejauh mana manusia memilih keyakinan
dan sistem nilai kehidupannya.

Pada konsep ini Islam mengenal konsep masyarakat yang disebut dengan ummah. Istilah ummah secara etimologis berarti ibu atau induk, tetapi secara sosiologis juga berarti sebagai sistem sosial, sistem nilai dan etika dalam masyarakat secara mondial. Oleh karena itu bila istilah ummah ditetapkan untuk umat Islam, maka secara teoritik, bukan saja menunjuk pada eksistensi masyarakat muslim dengan dasar keyakinan individual dan pola peribadatan yang sama, tetapi juga mencakup “sistem nilai” yang berlaku dalam sistem kemasyarakatan.

Sebagaimana arti etimologisnya; ”ibu”, Ummah memiliki salah satu peran ”mengasuh”. Mengasuh insan-insan yang hadir dan berinteraksi didalamnya. Keberadaan Ummah adalah keselamatan bagi insan-insan tersebut. Asuhan yang diberikan akan mewarnai dan membentuk hidup dan kehidupan insan-insan tersebut. Oleh sebab itu peran sebagai pengasuh inilah yang akan ikut menentukan bagaimana bentuk-bentuk manusia yang ada dalam lingkaran ummah tersebut. Oleh sebab itu pada konsep ummah sistem sosial yang berjalan adalah sistem yang saling menjaga keselamatan sesama manusia. Masyarakat yang tidak memiliki sistem saling menjaga, sistem yang tidak mampu mencegah kehancuran insan-insan didalamnya, bukanlah realitas konsep masyarakat yang dimaksud dalam ”Ummah”. Karena pada wilayah sosiologis bentuk asuhan yang terefleksi dari sistem sosial turut berperan dalam membentuk tingkat keimanan manusia dihadapan sang khaliknya.

Dikutip dari : Khittah Perjuangan Kongres Ke 26 HMI
Download E-Book nya disini

KHITTAH PERJUANGAN
HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM
PENDAHULUAN


Wawasan Ilmu

Manusia merupakan makhluk Allah yang memiliki sturuktur ciptaan paling sempurna dari pada makhluk–makhluk lainnya. Ia hadir di atas dunia (diciptakan oleh Allah) dengan tujuan tunggal, yakni beribadah kepada Allah SWT. Meskipun memiliki kesempurnaan struktur, tetapi awalnya manusia lahir dalam keadaan tidak memiliki pengetahuan tentang sesuatu apapun. Kemudian Allah memberi alat untuk memperoleh pengetahuan berupa fuad (hati dan akal), pendengaran dan penglihatan (panca indera). Maksudnya agar kita kembali pada tujuan  diciptakannya, yakni beribadah dan bersyukur kepada Allah SWT.


Allah telah mengaruniakan potensi pada diri manusia untuk memperoleh pengetahuan lewat kenyataan diri dan alam. Allah telah mengajarkan pengetahuan lewat kenyataan diri dan alam. Allah telah mengajarkan pengetahuan lewat kenyataan diri manusia sendiri dan kejadian alam yang kemudian dapat menjadi pengetahuan alam dan pengetahuan tentang manusia. Dalam dua pengetahuan ini berlakulah sunnatullah, baik fisik maupun non fisik yang sejak semula diciptakan sampai hari akhir tanpa perubahan sedikitpun.

Terdapat perbedaan metode dalam memahami kedua sunnatullah tersebut, dari segi instrumen dalam diri manusia dan sumber pijakan pengetahuan. Pada pengetahuan alam fisik, Al Qur’an menjelaskan secara garis besar tentang bagaimana teori dan hukum alam dapat dipahami. Alam fisik adalah objek pengetahuan yang sifat-sifatnya relatif tetap (kontinu dan konsisten). Akibatnya proses dan instrumen memperoleh pengetahuan ini cukup dengan pencerahan intelektual secara sungguh-sungguh apapun keyakinan danpandangan hidupnya, hasilnya akan sama sepanjang konsisten dengan sunnatullah. Keberhasilan memperoleh pengetahuan pada tingkat ini karena alam fisik memiliki tingkat objektivitas tertentu. Tugas manusia adalah untuk memikirkannya sampai menemukan hukum alam (sunnatullah) yang tepat dan benar. Misalnya, masalah turunnya air, peristiwa siang dan malam, matahari danbulan, laut yang mengeluarkan daging segar dan perhiasan untuk manusia dan sebagainya.

Tetapi dalam pemanfaatan atau penerapan hasil pengetahuan alam dalam bentuk teknologi ini tidak lagi bebas nilai, tidak hanya dengan pemikiran bebas (rasional), tetapi ditentukan oleh keyakinan, pandangan hidup, teori dan strategi perbaikan masyarakat pemakainya. Pemakaian teknologi yang berangkat dari pandangan ‘manusia sebagai pusat kehidupan” tentu berbeda dengan yang berpijak dari pandangan “Allah sebagai pusat kehidupan” baik dalam strategi, pendekatan kebijakan maupun dampaknya. Bagi yang berpandangan “Allah pusat kehidupan” akan memulai tahap penelitiannya dengan motif beribadah kepada Allah SWT.

Al Qur’an merupakan sumber nilai yang mampu berdialog dengan seluruh problem kehidupan manusia, sehingga banyak ayat Al Qur’an meminta perhatian manusia agar hati dan akalnya senantiasa dimanfaatkan dalam segala hal. Hal ini karena manusia memiliki fuad (hati dan akal) serta panca indra yang melahirkan keyakinan, perasaan, pandangan hidup, pikiran dan lingkungan pergaulan. Maka, manusia akan memperoleh kebenaran jika cara berfikirnya diletakkan di bawah iman dengan Al Qur’an sebagai informasi awal pengetahuan.

Salah satu sunnatullah yang berlaku dalam kehidupan masyarakat (menurut al-Qur’an) adalah bahwa masyarakat akan mengalami kejayaan (mencapai puncak peradaban) jika mayarakat tersebut mengikuti “dienul Islam” yang sejalan dengan fitrah manusia, memiliki kesadaran akan hakikat keberadaan dirinya akan dirinya dimata Allah, dan memperjuangkannya dengan kesungguhan.  Masyarakat akan hancur jika mengikuti hawa nafsu dengan menjadikan dirinya sebagai sumber nilai dan tujuan kehidupan. Karena hawa nafsu menyuruh manusia berbuat kejahatan. Oleh karena itu masyarakat yang hanya mengikuti hawa nafsu, keinginan tak terbatas untuk menjadikan manusia sebagai pusat orientasi kehidupan, termasuk ciri utama masyarakat yang dzalim.

Dalam perspektif sejarah, masyarakat yang dzalim pasti mengalami kehancuran. Proses kehancurannya ditandai dengan krisis keyakinan dan moral serta munculnya pemuka masyarakat, baik dalam kekuasaan, kekayaan maupun ilmu pengetahuan dan teknologi, yang memimpin dengan melampaui batas, dan baru kemudian lahir generasi pengganti sebagai pemimpin (khalifah) yang juga masih akan diuji bagaimana cara kerja mereka. 

Adapun jenis pengetahuan yang lain merupakan ikhtiar manusia dalam memahami Tuhannya. Hal itu tidak mungkin dicapai kecuali memahami sifat-sifat-Nya melalui al-Qur’an dan sunnah rasul. Jika semata- mata manusia mendasarkan rasio, niscaya tidak mungkin mencapai pengetahuan tentang Tuhan yang sebenarnya, bahkan tersesat jauh dari kebenaran.

Penerimaan manusia terhadap otoritas al Qur’an dan sunnah rasul sebagai referensi akan memberikan bekal bagi akal untuk proses pemerkayaan dan pembentukan pola berfikir yang Islami. Hal ini terjadi karena Al-Qur’an memiliki keragaman tema pembahasan terhadap berbagai masalah, alur logika, semangat dan metodologi yang komprehensif. Dalam kerangka referensi inilah, manusia mempunyai peluang untuk berhasil mengantisipasi problematika kehidupan, keilmuan serta memastikan bentuk epistemologinya secara komprehensif pula, berdasarkan prinsip-prinsip tauhid.

Satu pihak, ilmu merupakan rangkaian kegiatan progresif yang dilakukan dengan sistem dan metode tertentu melalui usaha akal budi dalam memahami Tuhan, manusia dan alam. Dilain pihak, tujuan ilmu adalah kebenaran, dimana sumber nilai kebenaran asasi dan hakiki adalah Al Qur’an dan As-sunnah. Maka pandangan tentang Tuhan, manusia dan alam harus bertitik tolak dari Dien al-Islam dalam prinsip-prinsip Tauhid. Ilmu hanya untuk mencapai kebahagian dunia akherat, sehingga semakin tinggi ilmu manusia, meninggi pula tingkat ketaqwaannya. Merekalah yang derajat dan kemuliaannya ditinggikan di sisi Allah.

Akibatnya struktur ilmu dalam pandangan Islam secara epistemik berbeda dengan ilmu atau (sains) yang dibangun berdasarkan ideologi non Islam. Pada perspektif Islam, ilmu dibangun atas dasar keyakinan tauhidi, kemudian diturunkan dan dikembangkan berbagai asumsi teori dasar, penalaran ilmiah, disiplin ilmu dan teknologi. Sedangkan khasanah kon-vensional, ilmu tidak dibangun berdasarkan keyakinan agamawi, bahkan terpisah sama sekali.

Perbedaan itu membawa implikasi besar. Pada khasanah konvensional, ilmu biasanya diferivikasi (di-tashih) hanya sebatas empirik dan logis saja. Akibatnya hal-hal yang tidak dapat diferivikasi secara empiris dan logis, dianggap di luar kategori ilmiah. Sedangkan dalam pandangan Islam untuk memferivikasi atau mentashih, tidak hanya bersifat empirik dan logis tetapi juga normatif, yakni berdasarkan al-Qur’an dan as sunnah. Akhirnya banyak hal-hal keilmuan yang tidak dapat diferivikasi secara empirik dan logis, dapat diferivikasi secara langsung berdasarkan al Qur’an dan as sunnah.

Islam menyatakan bahwa ilmu merupakan kesatuan pengetahuan tentang Tuhan, alam dan manusia, sehingga melahirkan spektrum yang sangat luas yaitu Tauhid, kealaman, dan sosial yang kemudian melahirkan cabang-cabang ilmu lainnya. Pada pandangan umum, ilmu terbagi menjadi ilmu agama, sosial dan alam. Kategori ini secara filosofis sekuler, karena agama adalah urusan akherat atau pribadi saja, tidak merangkum seluruh ke-nyataan sosial. Sedangkan ilmu sosial dan alam adalah urusan dunia yang terlepas dari kehi-dupan beragama. Padahal alam semesta ini sebuah kesatuan yang membentuk ilmu dalam satu kesatuan pula, dimana cabang-cabang ilmu harus dilihat sebagai hubungan yang saling bergantung.

Akhir kata kesemuanya mengacu pada kata kunci bahwa Allah sebagai sumber kebenaran, memerintahkan manusia mempelajari alam dengan segala petunjukNya. Namun untuk memahaminya, manusia harus belajar dengan akal budi. Manusia akan mencapai puncak perkembangan diri dan masyarakatnya melalui landasan iman yang kuat dan disertai dengan penguasaan ilmu pengetahuan dalam perspektif Al Qur’an dan As sunnah. Dengan demikian Kesesatan pencarian kebenaranpun akan berakhir.

Dikutip dari : Khittah Perjuangan Kongres Ke 26 HMI
Dikutip dari : Khittah Perjuangan Kongres Ke 26 HMI

Download E-Book nya disini

KHITTAH PERJUANGAN
HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM
PENDAHULUAN

Organisasi dapat dikenali dengan berbagai cara, antara lain; melalui atribut- atribut organisasi, jargon-jargon gerakan, out put organisasi berupa karya dan kader- kadernya. Mengidentifikasi HMI dengan hal-hal tersebut dipandang amat sederhana, karena terbukti bahwa kesemuanya tak mampu mewakili kedalaman cita pejuangan HMI, memberi inspirasi bagi keberlanjutan perjuangan, apalagi jika dikaitkan dengan upaya untuk mempertahankan daya juang kader sepanjang hayat.

Diperlukan satu konsep yang menggambarkan semangat ideologis kader HMI yang dapat menjawab kebutuhan tentang pentingnya daya tahan setiap kader dalam mengawal cita-cita perjuangannya. Hal ini diyakini lebih memiliki keunggulan dibandingkan sekadar atribut, simbol, jargon, ataupun klaim terhadap alumni dan kader yang “sukses” di bidang tertentu. Artinya, HMI belum dapat digambarkan dengan mengedepankan hal-hal tersebut.

Khittah Perjuangan HMI merupakan dokumen yang menggambarkan konsepsi ideologis sebagai upaya kader memberi penjelasan tentang cara pandang HMI mengenai semesta eksistensi yang wajib diakui, kebenaran yang wajib diperjuangkan, jalan hidup yang wajib dijunjung tinggi, cita-cita yang perlu diraih, dan nilai-nilai yang mengikat atau menjiwai kehidupannya secara individual maupun sosial.

Khittah Perjuangan merupakan paradigma gerakan atau manhaj yang merupakan penjelasan utuh tentang pilihan ideologis, yaitu prinsip-prinsip penting dan nilai-nilai yang dianut oleh HMI sebagai tafsir utuh antara azas, tujuan, usaha dan independensi HMI. Definisi ini merupakan kelanjutan dan pengembangan dari berbagai tafsir azas yang pernah lahir dalam sejarahnya. Tercatat bahwa sejak didirikanya di Yogyakarta pada tanggal 14 Rabiul Awal 1366 H atau 5 Pebruari 1947 M, HMI pernah memakai sejumlah tafsir azas seperti; tafsir azas HMI (1957), Kepribadian HMI atau Citra Diri (1963), Garis-garis Pokok Perjuangan (1967) dan Nilai-nilai Dasar Perjuangan (1969).

Dokumen-dokumen tersebut merupakan tafsir terpisah dari tafsir tujuan dan independensi. Sebagai paradigma gerakan, penafsiran terpisah antara azas, tujuan dan independensi mengandung kecacatan karena suatu paradigma gerakan yang kokoh harus merupakan kesatuan utuh antara landasan, tujuan dan metodologi mencapai tujuan.

Muatan Khittah Perjuangan, dengan demikian, merupakan penjabaran konsepsi filosofis azas, tujuan, usaha dan Independensi. Azas menjelaskan landasan keyakinan HMI tentang ketuhanan, kesemestaan, kemanusiaan dan kemasyarakatan, semangat perjuangan dan hari kemudiaan sebagai konsepsi cita-cita masa depan kehidupan manusia. Keyakinan tersebut merupakan akar dari segenap perbuatan manusia untuk menyempurna sebagai insan kamil atau cita ulil albab dalam tujuan HMI. Keyakinan dalam Islam tertuang dalam prinsip tauhid yang mengingkari segenap penghambaan, ketundukan dan keterikatan kepada hal-hal yang menyebabkan hilangnya kesempatan menyempurna menuju kedekatan tertinggi di hadapan Allah SWT. Keyakinan ini tidak dipahami secara dogmatis melainkan dibenarkan oleh kesadaran yang sejenih-jernihnya.

Tafsir tujuan HMI dalam Khittah Perjuangan merupakan penjabaran mengenai tujuan individual, sosial dan hakikat perkaderan sebagai upaya sistematis HMI menuju cita-cita tersebut. Individu ulil albab dan masyarakat Islam yang dicita-citakan akan melahirkan hubungan timbal balik. HMI tidak memisahkan wilayah privat dan publik sebagai dua entitas kehidupan yang berbeda. Hal ini karena Al-Qur’an memberitakan bahwa insan ulil albab merupakan sosok yang dapat membentuk dan menatakehidupan sosial yang adil, sebaliknya kehidupan sosial yang adil merupakan wahana pendidikan insaniyah yang utama untuk membentuk pribadi-pribadi utama.

Tafsir usaha dan independensi dimaksudkan untuk memberi penjelasan mengenai proses perjuangan yang diridhai untuk mencapai cita-cita. Independensi merupakan nilai yang menyemangati proses secara sadar tersebut. Independensi mengamanatkan perlunya kemandirian dan kemerdekaan menentukan sikap untuk memilih kebenaran dan memperjuangkannya.


Dikutip dari : Khittah Perjuangan Kongres Ke 26 HMI

Download E-Book nya disini

Keyakinan Muslim 
Dikutip dari : Khittah Perjuangan Kongres Ke 26 HMI

Keyakinan merupakan dasar dari setiap gerak dan aktivitas hidup manusia. Karena itu manusia secara fitri membutuhkan keyakinan hidup yang dapat menjadi pegangan dan sandaran bagi dirinya. Ini berarti manusia menyadari, bahwa dirinya adalah makhluk lemah yang membutuhkan pertolongan, bimbingan dan perlindungan dari sesuatu yang diyakini sebagai yang Maha. Perkara keyakinan tertuang dalam suatu sistem keyakinan atau ideologi. Tiap-tiap sistem keyakinan memiliki konsepsi tersendiri dalam mengantarkan pengikutnya pada pemahaman dan kepercayaan terhadap tuhan. Pertama, sistem keyakinan yang obyeknya didasarkan pada sesuatu yang nyata. Kebenaran diukur melalui indera dan pengalaman. Sistem ini disebut kebenaran ilmiah. Secara filosofis kebenaran ilmiah memiliki kelemahan karena tidak dapat menjelaskan sisi kehidupan yang berada di luar pengalaman inderawinya.

Salah satu di antaranya adalah mengenai Tuhan. Tuhan tak dapat diyakini keberadaannya lewat bantuan sistem keyakinan ilmiah. Selain obyeknya, metodenya juga rapuh karena setiap teori yang diklaim sebagai kebenaran baru sekaligus mengandung keraguan. Manusia tak dapat berpegang teguh pada prinsip yang di dalamnya mengandung kebenaran dan keraguan sekaligus, karena hal itu bukan keyakinan, melainkan persangkaan saja. Al-Qur’an menegaskan bahwa persangkaan tak dapat mengantarkan manusia pada kebenaran.

Kedua, sistem keyakinan yang didasarkan pada doktrin literal. Sistem ini dapat ditemukan dalam semua agama. Pada dasarnya, sistem keyakinan literal mengingkari arti pentingnya akal sebagai sarana verifikasi kebenaran. Baginya, kebenaran adalah sesuatu yang sudah jadi secara sempurna dan harus diterima tanpa perlu menyadarinya terlebih dahulu. Akibat sistem keyakinan literal, manusia potensial melarikan diri dari kenyataan dan tantangan zaman setelah telanjur mendikotomi antara doktrin ketundukan pada ayat suci dengan peran- peran peradaban manusia. Termasuk dalam kategori ini adalah keyakinan yang didasarkan pada kebiasaan budaya yang diwarisi dari nenek moyang yang tidak sesuai dengan petunjuk Tuhan.

Islam mengajarkan sistem keyakinan yang disebut Tauhid. Tauhid berbeda dengan dua sistem keyakinan di atas karena cara pandangnya terhadap eksistensi (wujud). Tauhid merupakan konsepsi sistem keyakinan yang mengajarkan bahwa Allah SWT adalah zat Yang Maha Esa, sebab dari segala sebab dalam rantai kausalitas. Ajaran Tauhid membenarkan bahwa manusia dibekali fitrah yaitu suatu potensi alamiah berupa akal sebagai bekal untuk memilih sikap yang paling tepat serta untuk mengenali dan memverifikasi kebenaran dan kesalahan (haq dan bathil) secara sadar. Manusia meyakini Tuhan dengan metode yang berbeda-beda.

Pada sistem keyakinan lainnya, “Yang Maha” atau yang dirumuskan sebagai Tuhan, hanya dijelaskan berdasarkan persepsi dan alam pikir manusia sendiri. Sedangkan dalam konsepsi Tauhid, selain pencarian akal manusia sendiri sebagai alat mendekati kebenaran mutlak, juga melalui wahyu di mana Tuhan menyatakan dan menjelaskan diri-Nya kepada manusia. Jadi, Tauhid memberi tuntunan berupa wahyu Allah melalui para nabi. Tauhid merupakan inti ajaran yang disampaikan pada seluruh manusia di setiap zaman. Ini berarti bahwa ajaran Tauhid adalah ajaran universal. 

Tauhid merupakan misi utama seluruh nabi dan rasul yang diutus Allah SWT. Mereka menyampaikan risalah tauhid sesuai dengan tingkat peradaban masyarakatnya. Syari’at Tuhan silih berganti disempurnakan setiap kali nabi dan rasul diutus untuk mempersiapkan datangnya nabi dan rasul penutup. Tauhid yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW sebagai nabi terakhir yang dijanjikan Allah, dinyatakan dalam dua kalimat syahadat, yaitu; Asyhadu an lâ ilâha illallâh, Wa asyhadu anna Muhammadan Rasûlullâh. Artinya, aku bersaksi bahwasanya tiada ilah selain Allah dan aku bersaksi bahwasanya Muhammad adalah rasul Allah. Setiap manusia telah menyatakan syahadat ini sebelum ia dilahirkan. Persaksian syahadat itu mengakibatkan manusia harus meniadakan sesembahan, tempat bergantung dari segala sesuatu yang dipertu-hankan. Ini juga berarti bahwa dimensi syahadat adalah pengakuan dan ketundukan. 

Pengakuan bahwa Allah adalah Tuhan pencipta langit dan bumi serta makhluk-makhluk yang ada dapat diakui oleh siapa saja yang menggunakan akalnya, demikian juga dengan doktrin yang diterima sebagai warisan budaya. Namun jika manusia diajak untuk tunduk dan berserah diri penuh kepada perintah Allah, sebagian manusia menolaknya. Pengakuan yang tak dibarengi dengan ketundukan pada hakikatnya adalah kecacatan Tauhid. 

Allah SWT menurunkan wahyu melalui Jibril sejak Adam as. sampai Muhammad SAW, dalam bentuk shuhuf, ataupun dalam bentuk kitab. Wahyu-wahyu sebelum diturunkannya Al Qur’an dibawa oleh para rasul sebagai petunjuk bagi kaum dan kurun tertentu, untuk menata sistem kehidupan di zamannya masing-masing, sedangkan Al Qur’an diturunkan sebagai petunjuk seluruh manusia dan berlaku sepanjang masa. Selain sebagai petunjuk, Al Qur’an juga sebagai kitab penjelas atas petunjuk dan pembeda (haq dan batil), serta pembenar dan penyempurna kitab-kitab sebelumnya, sehingga Al Qur’an mengandung ajaran yang sempurna dan terjaga keaslian dan kelestariannya sampai hari kiamat.

Kandungan Al Qur’an yang amat penting terletak pada misi dan seruan kepada manusia untuk beriman, beribadah serta beramar ma’ruf nahi mungkar. Al Qur’an juga dinyatakan sebagai kitab yang memberi petunjuk, pembeda, pengingat, pembawa berita gembira, pembawa syari’at yang lurus dan pedoman bagi manusia. Al Qur’an diklaim bahwa dirinya adalah kitab yang membawa misi pembebasan bagi manusia dari kegelapan menuju cahaya. Itulah sebabnya manusia diperintah Allah agar menerima Al Qur’an tanpa keraguan.

Kandungan Al Qur’an tidak hanya memuat ajaran tauhid dan peribadatan, tetapi Al Qur’an juga memberikan persepsi tentang masalah-masalah kosmologi, sejarah, fenomena sosial, membicarakan suatu entitas tertentu secara mondial, misalnya tentang langit dan bumi dengan detail atau rinci. Kelengkapan Al Qur’an ini diimbangi dengan seruan Allah pada manusia agar hati dan akalnya senantiasa dimanfaatkan dalam segala hal dan digunakan untuk memikirkan permasalahan intelektual. Al Qur’an menunjukan kelengkapan ajaran dan misi yang diperuntukan bagi manusia, sehingga Allah berkenan menurunkan sejarah kenabian dan kerasulan di dalamnya, berikut dengan konsekuensi penerimaan dan penolakannya.

Semua nabi menyampaikan ajaran tauhid tanpa pemaksaan, namun dengan penyampaian, pengajaran dan peringatan, serta memberikan janji tentang kesucian diri kepada manusia. Keyakinan akan bimbingan oleh para nabi disebut dengan doktri kenabian. Kenabian ini amat penting karena dalam kenyataan hidupnya, manusia ternyata tidak senantiasa mampu menjaga dan mengembangkan jati diri untuk kembali kepada fitrahnya secara mandiri, bahkan tidak jarang manusia tenggelam dalam noda dan dosa serta kekafiran.

Penyampai risalah yang memiliki otoritas sebagai uswatun hasanah, harus menyampaikan risalahnya kepada manusia secara langsung agar dapat dipraktekkan di kehidupan manusia. Perilaku kehidupan manusia yang diridhoi Allah SWT diajarkan oleh Islam dalam konsep kesaksian syahadah rasulnya. Maka kedudukan nabi, rasul dan Muhammad sebagai penutupnya tidak cuma penyampai risalah dan menjadi uswatun hasanah, akan tetapi juga sebagai acuan dan sumber syari’ah setelah wahyu. 

Pada realitas sosial, selain mengajarkan risalah, setiap rasul terutama Muhammad SAW juga memimpin dan mendidik umatnya, dan dalam keadaan tertentu juga menjadi panglima perang. Kehadiran dan peran ini memiliki kesamaan misi, yakni menyelamatkan dan membebaskan manusia dari kehancuran dan dari api neraka, serta mengajaknya pada kehidupan yang sejahtera dunia akhirat. Kompleksitas peran dan kedudukan nabi menunjukkan bahwa persoalan agama bukanlah sebatas rohani, spiritual, etika dan keakhiratan belaka, tetapi meliputi semua kehidupan manusia.

Salah satu misi adalah untuk mengembangkan “kejatidirian” manusia dengan benar, terletak pada pandangan dan penjelasan Al Qur’an tentang alam semesta. Menurut Al Qur’an, keberadaan alam semesta juga karena diciptakan.Proses penciptaan itu sendiri berjalan secara evolutif dalam enam masa. Alam diciptakan Allah SWT dalam keadaan seimbang dan tanpa cacat. Alam semesta secara pasif adalah muslim. Keberadaannya sebagai bukti kekuasaan dan keberadaan Allah SWT. Karena itu manusia jangan terperosok ke dalam penyembahan terhadap alam, dan melupakan Tuhan karena interaksinya yang keliru terhadap alam. 
Alam semesta ini diciptakan Allah SWT untuk manusia dan menjadi pelajaran baginya. Manusia berhak mengelola dan memanfaatkannya guna memenuhi kebutuhan dan untuk mencapai tujuan hidupnya. Tetapi sebaiknya, manusia dilarang meng-eksploitasi dan merusaknya sehingga segala akibatnya akan diderita oleh manusia. Agar manusia dapat memperoleh pelajaran, maka alam juga dilengkapi dengan ukuran atau qadar dan hukum-hukum tertentu yang disebut sunnatullah. Sunnatullah pada alam semesta bersifat tetap, dapat diamati dan dipelajari oleh manusia.

Oleh karena itu jika manusia secara serius mau memperhatikan alam dengan mengi-kuti petunjuk kitab suci dan nabinya serta mendayagunakan secara maksimal akal budinya maka ia akan dapat memperkirakan perjalanan alam dan selanjutnya menguasainya secara proporsional. Dari sinilah sejarah hidup manusia dan masa depannya diuji Apakah dengan diturunkannya risalah universal itu manusia dengan sadar mengikutinya yang berarti muslim atau menempuh jalan lain yang berarti kafir atau munafiq.

Setiap pilihan manusia membawa konsekuensi di dunia maupun di akherat. Konsekuensi di akherat akan menjadi tanggungan bagi dirinya sendiri. Suatu masa ketika setiap manusia harus mempertanggungjawabkan seluruh amal perbuatannya disebut hari kiamat atau hari pembalasan. Pada hari itu semua amal manusia akan dihisab atau dihitung dan ditimbang baik dan buruknya. Akhirnya, sebagai konsekuensi amal perbuatannya, apabila kebajikannya lebih banyak, akan menjadi ahli surga atau sebaliknya menjadi ahli neraka.

Sistem keyakinan merupakan konsepsi yang menjiwai cara pandang tentang pengetahuan (ma’rifah), cara pandang tentang manusia, cara pandang tentang kemasyarakatan, cara pandang tentang alam semesta, dan cara pandang tentang akhir kehidupan manusia. Bagian berikut dari bab ini nantinya akan menguraikan secara lebih lengkap mengenai cara pandang HMI tentang keilmuan hingga cara pandang tentang keakhiratan yang dijiwai oleh sebuah sistem yang diyakini bersama yaitu sistem keyakinan Tauhid.

Dikutip dari : Khittah Perjuangan Kongres Ke 26 HMI
Download E-Book nya disini

BPL HMI Cabang Pontianak

{facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google-plus#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget