Latest Post


(IDEOLOGI, POLITIK, ORGANISASI STRATEGI TAKTIK)
ASPEK IDEOLOGI DARI ISLAM

A. PENDAHULUAN
Adanya “larangan” dari kongres Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) di Ujung Pandang tahun 1979 kepada Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) untuk melakukan kegiatan politik tidaklah menutup pintu aktivitas KAHMI bahkan mendorong untuk melakukan “Intelectual exercise” yang di masa depan dapat mempunyai “political significance”, khususnya dalam rangka mencapai kebangkitan kembali umat di dalam abad XV H ini dan abad mendatang.

Penyajian tulisan ini diilhami oleh beberapa petunjuk Al-Quran, Hadist dan ucapan orang pandai, yang kutipan-kutipannya dibawah ini diambil dari buku Penghayatan Ilmu Agama, buah pemikiran Imam Al Ghazali dan disusun oleh Syekh Mohamad Jamaludin Alqasimi Addimasyqi, diterjemahkan oleh Moh.; Abdai Rathomy (1975). Kutipan-kutipan yang mengilhami penyajian tulisan dalam buku ini dapat dilihat dibawah ini.
1. Al-Qur’an
a. Surat Attaubah ayat 122 (S.9:122) yang artinya tidaklah tepat jika semua orang mukmin pergi. Sebaiknya ada sebagian yang memperdalam pengetahuan agama yang kemudian akan mengingatkan kaumnya setelah kembali agar mereka dapat menjaga diri.
b. Surat Faathir ayat 28 (S.35:28), yang artinya yang takut kepada Allah ialah hamba-hamba-Nya yang berilmu pengetahuan.
c. Surat Ali Imran ayat 187 (S.3:187), yang artinya dan ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang diberi kitab suci yaitu : haruslah kamu menerang-nerangkan itu kepada seluruh manusia dan janganlah kamu menyimpan – nyimpan isinya.

2. Hadits Nabi
a. Barang siap yang dikehendaki oleh Allah, ia akan dipahamkan dalam hal agama dan diilhami petunjuk (Bukhari-Muslim).
b. Jika suatu hari lewat tanpa bertambahnya ilmuku yang mendekatkanku kesisi Allah, tidaklah ada berkah untukku dalam terbitnya matahari pada hari itu, (Thabrani, Abu Na’im dan Ibnu Abdilbar).
c. Hendaklah engkau berangkat dan mempelajari suatu bab dari ilmu, hal ini lebih baik dari sembahyang seratus rakaat), (Ibnu Abdilbar).
d. Pengajar dan yang belajar bersekutu di dalam mendapatkan pahala, dan tidak ada kebaikannya bagi selain kedua orang tersebut (Ibnu Abdilbar).
3. Fatah Almaushili, Apabila hati enggan akan hikmah dan Ilmu selama tiga hari akan matilah hati itu.

B. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN
1. Sejak bulan-bulan pertama setelah Proklamasi khususnya dalam tahun-tahun 50-an, partai-partai Islam di Indonesia menganut apa yang sering didengung-dengungkan sebagai “Ideologi Islam” tanpa memberikan perincian yang lengkap dan komprehensif apa isinya mengenai semua segi kehidupan Negara dan masyarakat, sehingga sampai sekarangpun perumusan ideologi itu belum pernah diberikan. Dapatlah dikatakan bahwa selama 35 tahun, umat Islam Indoensia hanyut dalam slogan yang dalam Al-Qur’an terdapat pada surat 34 ayat 15 dan dalam verbalisme : “Berlakunya hukum dan ajaran Islam di dalam kehidupan orang-perseorangan masyarakat dan Negara”. Terhadap gerakan mendirikan NII dari Almarhum Kartosuwiryo, partai-partai Islam tidak menyikapinya dari sudut ajaran Islam sendiri, melainkan sekedar menyatakan bahwa berbeda dengan kartosuwiryo, partai-partai Islam menempuh jalan yang legal parlementer.

Partai NU-lah yang ada pada tahun 1953 menyatakan sikap agamis terhadap gerakan kartosuwiryo yaitu dengan mengatakan Sukarno sebagai “ “Pemegang pemerintahan darurat berkekuasaan penuh”, dengan demikian memberi “Legitimasi agamis” kepada pemerintah RI untuk menumpas gerakan Kartosuwiryo sebagai telah melakukan “Bughoh” (pemberontakan) (Kyai Masykur Tempo 2 Mei 1981). Kata Bughoh tercantum dalam Al-Quran surat Hl-Hujrat (Surat 49 ayat 9). Setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, partai-partai Islam telah melepaskan aspirasi “Negara Islam” namun persoalan ini kadang-kadang muncul di dalam era politik di Indonesia, sampai-sampai di kalangan umat Islam di Indonesia, ada yang merasakan seakan-akan persoalan ini akan dijadikan semacam “hutang abadi” yang setiap waktu dapat ditagih kepada generasi penerus umat yang notabene tidak tahu menahu apalagi bertanggung jawab atas persoalan tersebut.

Dibalik itu, dari kalangan umat Islam sendiri atau tepatnya dari kalangan kepemimpinan (politik) umat Islam di Indonesia tidak tampak adanya usaha atau bimbingan untuk membuat umat Islam Indonesia Immnun (kebal) terhadap aspirasi “Negara Islam” itu, meskipun disadari bahwa aspirasi ini tidak boleh tidak akan membentur kepada tembok beton dasar Negara Pancasila, terlepas dari persoalan Pancasila nya sendiri.

Belakangan ini dengan munculnya gerakan Warman dan imran terlepas pula dari soal bonafiditasnya gerakan kedua orang ini, namun yang terang adalah bahwa ada kalangan generasi muda Islam yang terpikat dan terbawa oleh gerakan itu. Kemungkinan selalu ada akan munculnya gerakan serupa, bagaimana mencegahnya, hal ini terutama tugas kepemimpinan (politik) umat Islam Indonesia dan di dalam hal ini kaum intelektual muslim harus pula memberikan sahamnya.

2. Perkembangannya di luar Indonesia menunjukan bahwa Negara-negara yang (mayoritas) rakyatnya beragama Islam dan sebagian besar memperoleh kemerdekaan setelah usainya perang dunia II, Negara-negara tersebut tidak atau belum mengatur kehidupannya menurut ajaran-ajaran Islam, walaupun Negara-negara tersebut secara tidak tepat sering disebut sebagai “Negara Islam”. Di dalam tempo 30 tahun, kita menyaksikan tumbangnya kerajaan-kerajaan “Islam” (Islam antara tanda kutip) dimulai dengan kerajaan mesir pada tahun 1952, disusul dengan kerajaan irak pada tahun 1958, Yaman Utara pada tahun 1962, Libya pada tahun 1969, Afganisthan pada tahun 1973, dan Iran pada tahun 1979.

Di dalam tempo 10 tahun terakhir, kita menyaksikan republik-republik “Islam” bergelimpangan jatuh, yaitu Yaman Selatan pada tahun 1969. Sudan pada tahun 1969, Irak pada tahun 1969, Syria pada tahun 1970, Pakistan pada tahun 1971 (dengan munculnya Republik Bangladesh) dan Afganistan pada tahun 1978 (dengan digulingkannya Presiden Daud oleh tokoh Marxis Taraki). Pakistan adalah Negara pertama di dunia yang secara formal dapat disebut Negara/Republik Islam karena konstitusinya yang disahkan pada tahun 1956 disebut “The Constitution of The Islamic Republic of Pakistan” dimana tercantum diantaranya : “that Pakistan Would be a democratic state based on Islamic Principles of social justice”. Artinya, bahwa Pakistan akan menjadi sebuah Negara demokrasi berdasarkan prinsip-prinsip Islam yang berkeadilan sosial.

Where in the principles of democracy, freedom, equality, tolerance and social justice as enunciated by Islam, should be fully observed” ; Artinya, dimana dalam prinsip-prinsip demokrasi kebebasan persamaan, toleransi dan keadilan sosial sebagaimana dianjurkan oleh islam harus dilaksanakan sepenuhnya.

Where in the muslims of Pakistan should be enable individually and collectively to order their lives in accordance holy Qur’an and Sunnah. Artinya, dimana masyarakat muslim di Pakistan harus mampu menata kehidupan mereka baik secara individual maupun bersama-sama sesuai dengan ajaran dan ketentuan islam sebagaimana diatur dalam Al-Qur’an dan Sunnah.

Tetapi di dalam perkembangannya sejak didirikan, republic Islam di Pakistan itu dalam praktek politiknya telah hanyut di dalam demokrasi liberal ala demokrasi Barat dan di dalam ekonominya tenggelam di dalam oligarchaal kapitalisme, dimana penguasaan ekonomi Pakistan berada ditangan 21 keluarga muslim (Pakistan Barat), yang semuanya itu mengakibatkan disintegrasi Republik Islam Pakistan.
Republik “Islam” Pakistan ala Jenderal Ziau’Ihaq masih merupakan tanda Tanya besar, karena ungkapan Islam baru pada pelaksanaan hukum cambuk bagi yang kedapatan mabuk di tempat umum, sedangkan sistim politik Negara “Islam” (Islamnya antara tanda kutip) ini adalah dictator militer yang tidak dapat “Justified” dari sudut ajaran Islam.
3. Kaum Muslimin Iran telah berhasil dalam sikap radikal Revolusioner menghentikan persekongkolan kapitalisme dan neo-feodalisme dengan telah terusirnya begundal-begundal kapitalis-Amerika dan ditumbangkannya rezim otoriter Feodal Syah. Revolusi rakyat iran (yang berhasil itu) pada hekakatnya adalah revolusi anti ne-kolonialisme, dengan demikian revolusi Iran itu merupakan bagian dari perlawanan rakyat dari Negara-negara berkembang terhadap neo-kolonialisme yang dipimpin oleh Amerika Serikat.

Rupanya Ayatullah Khomeini telah mengalihkan revolusi anti neo-kolonialisme itu menjadi revolusi kaum syi’ah, setidak-tidaknya Khomeini telah memberi warna syi’ah yang tebal kental kepada revolusi anti neo-kolonialisme dari rakyhat Iran pada tahun 1979 itu.

Dengan telah berubahnya karakter revolusi rakyat Iran dari Revolusi anti neo-kolonialisme menjadi revolusi syi’ah itu, timbullah kekuatiran akan munculnya kaum Mullah, meskipun dalam introduction dari konstitusi RII (Republik Islam Iran) dalam bab “Method of government in-Islam, tercantum : “From the viewpoint of Islam, government is not the product of any class distinction or the supremacy of one particular group or class in society...”. Artinya, (cara pemerintah Islam). Dari sudut pandang Islam, pemerintah bukanlah produk dari perbedaan klas atau keunggulan satu kelompok atau kelas tertentu dalam masyarakat.
Apakah dengan suksesnya Revolusi Syiah di Iran itu, sasaran yang hendak dicapai oleh satu revolusi anti neo-kolonialisme lalu menjadi terbengkalai? Saya rasa tidak karena revolusi syiah tentulah membawakan aspirasi islam yaitu menentang setiap bentuk kolonialisme terutama di bidang ekonomi dan kebudayaan yang dewasa ini melanda Negara-negara berkembang.
4. Di dalam pertarungan sengit yang sekarang masih berkecamuk antara dua ideologi dunia yang besar yaitu antara liberalisme/kapitalisme/demokrasi dan variasi-variasinya pada pihak yang satu dan marxisme/sosialisme/ komunisme dan variasi-variasinya pada pihak lain, orang menuju pula kepada alamat Islam dan bertanya sejauh mana Islam dapat menyajikan Ideologi yang lebih baik dari kedua ideologi tersebut. Tantangan kepada Islam ini tentulah tidak dapat dijawab hanya dengan keterangan bahwa Islam adalah sempurna melebihi isme-isme dan ideologi lain. Betapapun yakinnya seorang muslim terhadap kesempurnaan Islam dan seorang muslim memang harus berkeyakinan demikian, namun jawaban serupa itu tidaklah membuat orang muslim, apalagi yang bukan muslim lalu memperoleh pegangan yang konkrit tentang bagaimana Islam mengatur kehidupan Negara dan masyarakat walau hanya dalam garis-garis besarnya saja. Ini berarti bahwa Islam ditantang untuk menyajikan suatu konsep ideologi yang meliputi semua segi kehidupan Negara dan masyarakat, khususnya yang menyangkut cirri-ciri khas suatu ideologi yang membedakan dengan ideologi lain yaitu tentang bagaimana hubungan warga Negara dan penguasa c.q. hak/kewajiban warga Negara vis-a-vvis hak/kewajiban penguasa, jadi mengenai apa yang lazim dikenal tentang hak-hak asasi atau hak-hak politik; serta hak/kewajiban warga Negara vis a vis penguasa dalam bidang ekonomi, jadi mengenai hak berusaha berikut hak pemilikan atas sumber ekonomi (tanah, kekayaan bumi dan alat- alat produksi) berikut pembatasan-pembatasannya.
5. Umat Islam diseluruh dunia berhasrat menjadikan abad XV Hijriah sebagai abad kebangkitan Islam tetapi baik dari organisasi-organisasi Islam Internasional maupun National c.q. DPP Partai Persatuan Pembangunan dan MUI Pusat tidak atau belum ada rencana bagaimana akan mencapai kebangkitan kembali itu. Dengan kegiatan-kegiatan tradisional dan rutin saja, walaupun kegiatan tradisional ini sudah ditambah dengan penyelenggaraan MTQ setiap dua tahun, kebangkitan itu tidaklah akan tercapai. Proponen approach kekuasaan akan mengedepankan tentang perlunya lebih dahulu kekuasaan berada di tangan kembali tanpa menerangkan bagaimana akan memperoleh kekausaan itu. Kekuasaan politik di Negara-negara yang rakyatnya (mayoritas) beragama islam berada di tangan orang-orang Islam tetapi sebagian, khususnya yang di Timur-Tengah dalam kondisi sekedar mempertahankan status quo dengan mengadakan reform kecil-kecilan, setidak-tidaknya tidak menyeluruh secara fundamental. Di Indonesia partai-partai Islam pernah beberapa kali memegang kekuasaan politik tetapi lepas tanpa bekas. Apakah dari fakta-fakta ini tidak dapat ditarik kesimpulan bahwa kepemimpinan umat Islam, khususnya di Indonesia belum mempunyai suatu konsep Ideologi untuk mengatur kehidupan Negara di dalam segala seginya, sedangkan umat lainnya yaitu pihak Barat (kapitalis) dan Pihak Timur (komunis) masing-masing sudah mempunyai secara “being in and ready for use”. Dapatkah kebangkitan kembali Islam dicapai tanpa adanya konsep ideologi yang bersumberkan kepada ajaran-ajaran Islam.

Latar belakang permasalahan – permasalahan tersebut diataslah yang mendorong tulisan ini men- coba menelaah aspek ideologi dari islam.

C. PERMASALAHAN
1. Adakah Islam itu suatu ideologi? Jika demikian apakah islam itu lalu berdiri sama tingginya, sejajar dengan ideologi-ideologi di dunia? Bukankah Islam itu Dienullah, agama wahyu Illahi, sedangkan ideologi-ideologi itu adalah hasil pemikiran manusia ?
2. Apakah Islam itu bukanlah ideologi? Lalu apa peranan Islam dalam pertarungan dan per-cautaran ideologi-ideologi di dunia dewasa ini dan dimasa yang akan datang? Apakah hanya sekedar menentang sesuatu ideologi yang anti Tuhan?
3. Ideologi berfungsi untuk mengatur kehidupan bernegara dan bermasyarakat; jika islam bukanlah Ideologi atau tidak mengandung ajaran-ajaran idelogi, lalu bagaimana Islam akan mengurus kehidupan bernegara, dan bermasyarakat, karena Islam selain mengurus ibadah juga mengurus kehidupan Negara dan Masyarakat?
4. Benarkah pendapat seorang orientalis bahwa di kalangan kaum muslimin terdapat kelompok yang mengidealisir “Islam sebagai satu-satunya alternative terhadap segala macam isme dan ideologi” (Abdurrahman Wahid, Majalah Tempo, 20 Juni 1981).
5. Menurut hakekat ajaran Islam, bukannya menurut pendapat orientalis, bagaimana sebenarnya hubungan antara Islam dan ideologi, bagaimana sikap Islam terhadap ideologi dan bagaimana kedudukan ideologi terhadap Islam.
6. Bagaimana kondisi ideologis dari Negara-negara yang rakyatnya beragama Islam dewasa ini ?

D. PENGERTIAN DAN FUNGSI IDEOLOGI
1. Ideologi adalah : “Seperangkat ajaran-ajaran atau gagasan berdasarkan suatu pandangan hidup untuk mengatur kehidupan Negara/masyarakat di dalam segi-seginya serta yang disusun di dalam sebuah sistim berikut aturan-aturan operasionalnya”.
a. Penyusunan seperangkat gagasan/ajaran menjadi sebuah sistim adalah hasil pemikiran manusia, sedangkan ajaran-ajarannya sendiri dapat berasal dari Allah bagi yang berdasarkan pandangan hidup Islam, dan berasal dari pemikiran manusia jika pandangan hidupnya berasal dari pemikiran manusia. Dengan demikian, ideologi itu adalah hasil pemikiran manusia.
b. Ideologi hanya untuk kehidupan di dunia.
c. Ideologi adalah untuk Negara tertentu (karena belum adanya Negara dunia).
d. Ideologi dapat berubah menurut tempat dan waktu.
2. Fungsi Ideologi adalah untuk mengatur kehidupan Negara di dalam segala segi-seginya. Yang mengatur sebuah segi saja dari kehidupan Negara misalnya mengenai sistim politiknya disebut sub ideologi. Di dalam Negara yang terdiri dari berbagai golongan rakyat yang masing-masing berideologi sendiri, jika saling bertentangan dinamakan counter Ideologi, jika tidak bertentangan dinamakan co-idelogi (misalnya Islam terhadap Pancasila).

E. ISLAM DAN IDEOLOGI
a. Islam adalah wahyu Ilahi, bukan hasil pemikiran manusia.
b. Islam mengatur kehidupan dunia dan akhirat.
c. Islam adalah universal, ajaran-ajarannya berlaku kapan saja, dimana saja dan bagi rakyat/bangsa mana saja.

Dengan demikian, maka Islam bukan ideologi tetapi lebih tinggi dari ideologi.

F. SYARI’AH DAN FIQH
Bagaimana kedudukan Fiqh terhadap Syari’ah, hal ini disinggung oleh Sayid Qutb di dalam bukunya “ Masyarkat Islam” terjemahan H.A. Mu’thi Nurdin, SH, terbitan Yayasan At-Taufiq, PT. AL-Maarif Bandung, Cetakan Kedua, 1978, Sayib Qutb diantaranya, menerangkan Syariah adalah ciptaan Allah bersumber Al-Qur’an dan Sunnah sedangkan Figh adalah ciptaan mansia yang terbuat dari upaya memahami, manafsirkan dan menerangkan Syari’ah di dalam suasana tertentu “....hasil-hasil yang disimpulkan (oleh Figh) tidak akan naik martabanya menjadi “bagian yang suci” dalam Syari’ah (hal:38).

Mengenai figh ibadah dan figh muamalat, Qutb berkata bahwa fiqh ibadah adalah tetap dan stabil karena menyangkut peribadan yang tidak akan terpengaruhi oleh perubahan zaman. Sedang fiqh muamalah banyak berubah dan berkembang, karena lebih banyak terpengaruhi oleh perubahan keperluan manusia...(hal:39).

Kemudian menurut Qutb (1978:44) kebijaksanaan pemerintah sudah mengalami penyimpangan dari prinsip Islam sejak berakhirnya zaman Khulafar Rosyidin dan adanya kericuhan kekuasaan di jaman Mu’awiyah. Akibatnya ialah membesarnya fiqh ibadah dan menciutnya fiqh muamalah.

Mengapa ulama-ulama pada masa raja-raja muslim dulu tidak menulis tentang soal-soal politik (yang termasuk muamalah), menurut Prof. Dr. A. Shalaby dalam bukunya Negara dan Pemerintahan dalam Islam yang diterjemahkan oleh Muchtar Jahya (1957:17) ialah karena “Membahas tentang pemerintahan Islam sebetulnya berarti membatasi kekuasaan khlifah-khalifah itu, dan memperkecil pengaruh mereka, serta menggariskan syarat-syarat yang tentu saja menjadikan kebanyakan diantarah khalifah-khalifah itu akan kehilangan kekuasaannya dan tidak dapat mewariskan kerajaannya itu kepada puteranya. Karena kuatirnya para ulama akan pembalasan yang kejam dari raja-raja itu diabaikanlah oleh mereka membahas dan mengatur muamalah yang amat penting ini.

Islam mengandung seperangkat ajaran-ajaran atau nilai-nilai yang jika disusun didalam suatu sistim serta diproyeksikan kedalam suatu Negara akan merupakan ideologi bagi Negara itu. Ideologi demikian disebut ideologi yang berdasarkan ajaran-ajaran Islam, atau yang bersumberkan Islam atau yang diwarnai oleh Islam.

G. KEHARUSAN UMAT ISLAM BERIDEOLOGI
1. Dalam Al-Qur’an
a. Surat Al An’aamm ayat 165 (S.6:165) yang artinya Dan Dialah yang menjadikan kamu manusia penguasa di bumi.
b. Surat An-Nur ayat 55 (S.24:55) yang artinya Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan beramal sholeh diantara kamu, mereka akan menjadi penguasa di bumi sebagaimana orang- orang sebelum mereka.
c. Surat Al Maaidah (S.5) ayat 44, 45, 47 yang artinya, barang siapa tidak terhukum mengatur dunia dengan apa yang telah diturunkan oleh Allah, mereka adalah kafir/dholim/fasiq.

2. Hadist Nabi
Kutinggalkan kepadamu dua perkara yang jika kalian berpegang kepada keduanya tidak akan menyesal selama-lamanya (Kitab Allah dan Sunnah Rasul). Keharusan berideologi adalah konsekuensi dari pengangkatan manusia menjadi khalifah di muka bumi, karena ideologi berfungsi untuk mengatur bumi/dunia yang terdiri dari Negara-negara dan masyarakat- masyarakat. Dan kedudukan khalifah itu dijanjikan oleh Allah kepada manusia yang beriman dan beramal soleh, jadi kepada kaum muslimin. Dan ideologi itu mestilah bersumber kepada Al-Qur’an danHadist.

H. USAHA MEMAHAMI ASPEK IDEOLOGI DARI ISLAM
1. Menurut yang lazim diajarkan, Islam adalah terdiri dari Aqidah, Syari’ah dan Ahklaq. Sedangkan Syari’at terbagi atas Ibadah dan Muamalah. Muamalah sebenarnya masih dapat dibagi atas muamalah dalam hati sempit yaitu yang terbatas kepada hubungan antara orang perseorangan dan muamalah yang menyangkut pengaturan kehidupan kenegaraan/kemasyarakatan atau ideologi.
Dengan demikian isi dari Islam dapat dibagi atas:
a. Aqidah
b. Ibadah
c. Akhlak
d. Muamalah
e. Ideologi
2. Islam mempunyai satu kaidah yaitu : “...yang mengenai soal ibadah, yakni mengenai hubungan manusia dengan Tuhan semua terlarang, kecuali yang diperintahkan dan mengenai hidup keduniaan : semua boleh, kecuali yang terlarang. Menurut istilah Yurisprudensi Islam, kaidah ini dinamakan Al baraatul ashliyah. (dikutip dari Pidato Muhammad Natsir di Sidang Konstituante dimuat dalam buku “Tentang Dasar Negara RI dalam konstituante “Jilid I halaman 130).
Bagi keperluan usaha memahami aspek ideologi dari Islam, yang harus diketahui ialah mana-mana yang terlarang, karena tidak terlarang adalah boleh. Hanya saja menemukan “mana-mana yang terlarang” itu tidaklah mudah, karena Al-Qur’an mengandung ketentuan (Nash) yang baru dapat dipahami setelah diberikan interpretasi ataupun setelah dikaitkan dengan Nash lain.
3. Jadi dalam rangka usaha menemukan aspek ideologi dari Islam, perlu lebih dahulu diusahakan untuk menemukan methodology memahami isi Al-Qur’an sebagai berikut:
Ayat-ayat Al-Qur’an terdiri dari
a. .Ayat Muhkam
b. Ayat mutasyabih yang tidak dapat ditakwilkan (diinterpretir)
c. .Ayat mutasyabin yang dapat ditakwilkan (Ali Imran, ayat 7, Terjemahan Departemen Agama RI). Menurut Sayib Qutb (1978:41) perincian dan penerapan syari’ah yang dibutuhkan masyarakat untuk menampung keperluan-keperluan yang temporer dan selalu berubah itu tidak keluar dari empat kemungkinan:
1) Syari’ah telah menetapkanya dengan nash (teks) yang tegas (uitdrukkelijk) suatu hukum tertentu. Dalam hal ini, hukum itu mesti diterapkan menurut hurufnya betul, tanpa perubahan atau penyimpangan sedikitpun (Qutb, 1978:41).
2) Syari’at tampil dalam bentuk satu nash atau lebih yang menurut materi dan susunan katanya dapat ditakwilkan. Dalam hal ini kesempatakan untuk ijtihad terbuka luas untuk tarjih (menguatkan) atau taufiq (mencocokkan) berbagai nash yang berbeda-beda. Kalau nashnya hanya satu, maka penerapannya dapat disesuaikan dengan keadaan, seraya mengambil petunjuk praktek penerapan yang dilakukan pada permulaan Islam, jika ada, dengan memanfaatkan buah pikiran ahli hukum dalam perkara-perkara itu. Namun demikian, kita tidak perlu mengikuti praktek dan pendapat mereka itu secara dogmatis. Sebab pendapat mereka pada hakekatnya hanyalah berupa tanggapan yang sepadan dengan tuntutan dan keperluan dimasa mereka. (Ibid hal : 42).
3) Adakalanya Syari’ah membawakan suatu prinsip umum yang menyinggung suatu masalah yang terkandung dalam prinsip umum itu. Hukumnya tidak disebutkan dalam bentuk nash yang tegas.

Jika demikian duduknya, maka hukumnya termasuk kedalam ijtihadiyah, yakni menggunakan rasio ketiak menerapkan prinsip umum tadi menghadapi masalah yang konkrit (Ibid hal : 43).
4) Bisa juga kita temukan masalah yang tidak disinggung oleh Syari’ah. Dalam hal ini keputusan hukumnya semata-mata bergantung kepada hasil ijtihad dengan syarat tidak bertabrakan dengan salah satu prinsip agama Islam atau salah satu hukum pokok dari Syari’ah (Ibid hal : 43).
a) Ayat-ayat Al-Qur’an yang mengandung nash (ketentuan=regel) pada umumnya tetap berlaku sepanjang masa, tetapi ada nash yang sudah merupakan fakta sejarah yang tidak muncul lagi (misalnya tentang budak dan tentang cara memperoleh harta rampasan perang, yang terakhir tercantum di dalam Al Khasr ayat 7).
b) Nash dapat diangkat dari ayatnya tanpa terikat kepada sebab turunya ayat itu, tetapi (tentunya) tanpa meninggalkan jiwa dari nash itu.
c) Ada nash yang maknanya dapat dipahami secara tepat hanya jika dihubungkan dengan nash dalam ayat lain.
d) Mengaitkan/melengkapi nash-nash Al-Qur’an dengan hadist-hadist yang relevan.
e) Melakukan ijtihad dengan mempergunakan kaidah-kaidah usul fiqh dan rasio asalkan tidak bertentangan dengan ketentuan Al-Qur’an dan sunnah Rasul.

Di dalam bagian depan (Islam dan Ideologi) disinggung bahwa Islam mengandung ajaran-ajaran atau nilai-nilai yang jika disusun dalam satu sistim dapat merupakan suatu ideologi. Ajaran atau nilai itu disebut oleh Sayid Qutb prinsip global, kaidah umum atau pokok dasar; oleh Shalaby disebut patokan umum; oleh Rosyidi disebut prinsip umum oleh Abdurrahman Azzam disebut “general prociple” yang semuanya ini mempunyai arti sama.

Sayid Qutb, (Ibid hal : 37) : “DIa (syariat) tampil dalam bentuk prinsip-prinsip yang global adalah kaidah-kaidah umum sehingga dibawah naungannya dapat memancar puluhan bentuk masyarakat yang hidup dan aktif bergerak dalam lingkungannya yang luas, tetapi tetap berpegang kepada pokok dasarnya.

Shalaby, adapun urusan duniawi, Tuhan telah menggariskan pokok-pokok yang penting. Manusia berkewajiban memperluas memperkembangkannya, agar sesuai dengan kehidupan meraka dalam segenap tempat dan masa, dalam batas-batas patokan umum yang telah dipancarkan oleh Tuhan, sesuai dengan sabda Rasul; Anma alam bisyam nadh lilam. (Negara dan Pemerintahan Dalam Islam, hal : 18).

Prof. Dr.H.M. Rasyidi, “Oleh karena yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadist kebanyakan mengenai ibadah pribadi, sedangkan yang mengenai kemasyarakatan dan ketatanegaraan pada umumnya hanya terdapat garis-garis besar serta prinsip-prinsip umum”.

Abdurrahman Azzam, “Upon perusal of the holy bock and Islamic traditions (Sunnah) and upon examination of Islamic history during the era of the orthodox calipsh, we find that Islam is definite and conclusive on ail genenal principles suitbles for all times places and people. When these principles are implemented, therefore, one can witness the flexibility of the Shariah and its dispotition to independent reasoning”. (The Eternal Messange of Muhammad, hal 105), artinya Setelah merujuk pada kitab suci dan tradisi kitab suci dan tradisi Islam (Sunnah) dan setelah dilakukan pengkajian terhadap sejarah-sejarah Islam selama zaman kalifah ortodok, seluruhnya selalu cocok untuk semua tempat dan manusia. Apabila prinsip-prinsip ini dilaksanakan, orang akan mampu menyaksikan kefleksibelan ajaran tersebut (syariah) dan pengaturannya dengan penalaran yang netral (independent) (Pesan Nabi Muhammad yang abadi).

Bandingkan pendapat para penulis diatas dengan pendapat Nurcholis Madjid, “Kecuali nilai-nilai dasar yaitu rasa taqwa yang terbit dari iman kepada Allah dan ibadah kepada-Nya, (di dalam Islam) tidak ada nilai-nilai yang tetap”. (Pembaharuan Pemikiran Islam, Penerbit Islamic Research Centre, Jakarta, Hal.10).

Bandingkan pula dengan pendapat Abdurrahman Wahid tentang adanya sekelompok Muslim “yang mengidealisir Islam sebagai alternative satu-satunya terhadap segala macam isme dari ideologi “(Tempo, 20 Juni 1981). Jadi Menurut Abdurrahman Wahid, Islam itu pada hakekatnya tidak mengandung ajaran ideologi dan pendapat bahwa Islam adalah mengandung ideologi hanyalah di idealisir saja, jadi hanya di angan-angan saja. Menurut Abdurrahman Wahid, “Isalam difungsikan terutama dalam pergaulan sosio-kultural”.

Karakteristik suatu ideologi yang membedakannya dengan ideologi lain ialah terutama terletak pada system politik dan sistim ekonomi, sedangkan segi-segi lainnya (budaya, pendidikan, militer dll) adalah refleksi atau penunjang dari kedua system itu.
Karena itu di dalam buku ini hanya akan dikemukakan beberapa prinsip umum dalam Al-Qur’an dan Hadist mengenai sistim politik dan sistim ekonomi saja.

I. PRINSIP-PRINSIP UMUM SISTEM POLITIK MENURUT ISLAM
1. Sistem politik dalam Islam adalah berdasarkan prinsip-prinsip umum yang terdapat di dalam Al Qur’an dan Hadist. Orang boleh saja memperbandingkan sistim politik dalam Islam dengan yang terdapat di luar Islam, tetapi orang tidak dapat menilai apa-apa yang terdapat di dalam system politik dalam Islam lain. Misalnya saja mengenai lembaga “kedaulatan rakyat” hamper semua manusia gandrung (rindu dendam) kepada kedaulatan rakyat, sampai-sampai dikalangan kaum intelektual muslim ada yang berpendirian bahwa di antara isme-isme di dunia, demokrasilah yang paling dekat dengan islam. Seorang intelektual muslim yang dalam berfikir bernafaskan Islam, yaitu bertitik tolak dari dan melakukan pemikiran menurut garis ajaran-ajaran Islam tentulah tidak akan menilai jauh-dekatnya isme lain dari / dengan islam, karena jarak dekat atau jauh sukar diukur, sebab sistim politik menurut islam mempunyai dasar dan sistimnya sendiri yang secara fundamental berbeda dengan yang ada di dalam sistim-sistim lain.Jika kepada seorang intelektual yang bernafaskan barat ditegaskan bahwa sistim politik dalam Islam tidaklah didasarkan kepada “kedaulatan rakyat” melainkan kepada bahwa “kedaulatan Tuhan”, ia akan skeptis, apalagi jika diingat bahwa “kedaulatan Tuhan” itu yang pernah menjadi dasar sistim politik dari abad pertengahan sudah dicampkkan oleh Negara-negara Barat sejak Revolusi Perancis. Tetapi yang dicampakkan di Barat itu adalah “Kedaulatan Tuhan” yang dipraktekkan oleh gereja dalam kombinasinya dengan feodalisme-nya abad pertengahan; Kombinasi demikian tidak pernah dikenal dan tidak ada di dalam Islam.
2. Menurut Abul A’ala Mandudi dalam bukunya pokok-pokok pandangan hidup muslim terjemahan Osman Raliby (1979:50), sistim politik Islam berdasarkan atas tiga prinsip, yaitu Tauhid (Ke-Maha Esa-an Tuhan), Risalah (Ke-Rasulan Muhammad), dan Khilafah.

Khalifah artinya wakil, khilafah artinya perwakilan. Menurut Maududi (Ibid hal : 52), sebagai wakil dari Allah harus dipenuhi empat syarat:
a. Pemilik dari bumi seluruhnya adalah tetap Tuhan dan bukan Wakil-Nya yang bertugas mengelola.
b. Pengelola itu akan mengelola milik Allah (bumi) sesuai dengan instruksi-instruksi-Nya.
c. Pengelola bumi akan melaksanakan ke-kuasaannya dalam batas-batas yang Allah telah tetapkan baginya.
d. Dalam mengelola itu ia akan melaksanakan kehendak Allah bukan kehendak sendiri.

Kemudian ditegaskan Maududi (Ibid hal : 53) bahwa tidak ada perorangan manusia atau kelas satu dinasti dapat menjadi khalifah, dan bahwa kekuasaan khalifah itu dianugerahkan kepada seluruh golongan rakyat, kepada masyarat sebagai satu keseluruhan, yang memang bersedia memenuhi syarat-syarat perwakilan itu setelah menyetujui prinsip-prinsip Taukhid dan Risalah.

Implikasi dari khilafah ialah bahwa setiap apa yang didalam Al-Qur’an disebut sebagai milik Allah atau sebagai kekuasaan Allah maka yang mewakili-Nya adalah manusia sebagai satu keseluruhan.

Selanjutnya Maududi berkata, “setiap orang menikmati hak-hak dan kekuasaan-kekuasaan dari perwakilan ketuhanan itu dan dalam hal ini semua perorangan adalah sama. Badan-bdan untuk melaksanakan soal-soal Negara dibentuk sesuai dengan kehendak-kehendak dari orang-orang itu.

Pendapat mereka adalah menentukan (decisive) dalam pembentukan pemerintah yang harus dijalankan sesuai dengan kehendak mereka. Barang siapa memperoleh kepercayaan mereka ia akan menjalankan tugas dan kewajiban-kewajiban dari Khilafah atas nama mereka; Jika ia kehilangan kepercayaan itu, ia harus berhenti dan tuntuk terhadap kemauan mereka. Dalam hal ini sistim politik Islam adalah suatu bentuk demokrasi yang sempurna.

Mengenai perbedaan antara demokrasi Barat dan demokrasi Islam, Maududi (Ibid Hal : 54) mengatakan, dalam demokrasi Barat, rakyat yang berdaulat, dalam demokrasi Islam kedaulatan berada pada Tuhan dan rakyat adalah Khalifah atau wakil-Nya. Dalam demokrasi Barat rakyat membuat undang-undang sendiri sedang dalam demokrasi Islam rakyat haru mentaati undang- undang Syariat yang diberikan lewat Rasul-Nya Nabi Muhammad SAW.
Mengenai Khilafah Shalaby (1957:11) berkata, Khilafah itu mulai dari pagi-pagi telah kehilangan corak keagamaannya, yaitu sejak berdirinya kerajaan Umawiyah. Islam tidak mengenal sistim mewarisi kekuasaan (sistim berputera mahkota). Sejak sistim mewarisi kekuasaan itu dipakai pada kerajaan Umawiyah, jadilah jabatan Khalifah yang diwarisi itu suatu jabatan yang asing dari sistim Islam.

Di dalam pelajaran “sejarah Islam”, kerajaan serupa itu biasanya dimasukkan kedalam ke-Khalifahan (di dalam Islam) yang sebenarnya tidaklah tepat, sebab Islam tidak mengenal sistim politik monarchal, sehingga kerajaan serupa itu tepatnya disebut pseudo Islam, karena menurut Shalaby kerajaan serupa itu adalah asing dari Islam, atau dengan kata lain telah menyimpang dari syariat dan tidaklah mencerminkan masyarakat Islam. Bagaimana dapat diharapkan dari masyarakat pscudo-Islam seperti tiu akan keluar Fiqh-fiqh yang melaksanakan dan menegakkan syariat. Yang terang daripadanya tidak akan muncul fiqh yang lengkap menyangkut pengaturan kehidupan kenegaraan/kemasyarakatan. Memang sebagaimana yang dikatakan oleh Sayid Qutb :”.....bukan masyarakat Islam yang menciptakan Syariat, tetapi syariatlah yang menciptakan masyarakat Islam”.
3. Menurut Maududi, tujuan dari Negara menurut syariat adalah menegakkan, memelihara, memperkembangkan ma’rufat (vietues) yang dikehendaki oleh Allah dan mencegah serta membasmi mungkarat (vices). Syariat membagi ma’rufat kedalam tiga kategori : Fardhu (wajid), Sunat (mandub) dan Mubah; sedangkan mungkarat dibagi atas haram dan makruh. “.....yang mubah itu, yakni yang diperbolehkan, yang permissible, adalah sangat luas, sehingga terkecuali buat hal-hal yang memang secara khusus dilarang oleh syariat, segala sesuatu dibawah matahari adalah mubah buat setiap muslim (Maududi, Ibid hal : 32).

Monarkhi adalah bertentangan dengan prinsip persamaan antara hamba Allah, bertentangan dengan prinsip musyawarah (untuk memilih kepala Negara) dan bertentangan dengan prinsip menyerahkan Pimpinan kepada yang lebih cakap. Karena itu monarkhi bukanlah mubah, melainkan bertentangan dengan syariah.

Bagaimana dengan aspirasi “Negara Islam”?. Di dalam syariat tidak ada nash (ketentuan) yang memerinthakan berdirinya “Negara Islam” walau juga tidak ada larangan untuk itu. Bagi umat Islam di suatu Negara yang memang mampu dan sanggup mendirikannya, hukumnya adalah sekedar mubah; sedangkan bagi umat islam yang tidak mampu dan tidak sanggup, tapi bersikeras hendak mendirikannya hanyalah akan menimbulkan mahorot dan karenanya malahan terlarang berdasarkan kaidah; artinya Mencegah madhorot harus didahulukan daripada mencapai manfaat.

Bagi umat Islam di Indonesia yang didalam Negara non sekuler Pancasila berkesempatan sepenuhnya menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran Islam, aspirasi “Negara Islam” adalah amat tidak relevan, juga melanggar Kesepakatan Bangsa 22 Juni 1945 yang didalam doktrin Islam dikenal sebagai “Negara Kesepakatan”.
4. Adapun mengenai Hak-Hak Asasi Manusia, di bawah ini tertera beberapa ayat Al-Qur’an dan Hadist yang saya kutip dari buku “Hak-hak Asasi dalam Islam”, hasil seminar Riyadh, 22 Maret 1972 terjemahan A. rakhman Zainuddin MA, 1979, hal 39-41.
a. Dalam Al-Qur’an
1. Surat Al-Israa ayat 70 (S.17:70); yang artinya sesungguhnya telah kami muliakan anak Adam.
2. Surat Al Khujurat ayat 13 (S.49:13); artinya kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku- suku agar kamu saling mengenal. Yang paling mulia di antara kamu adalah yang paling bertagwa.
3. Surat Al Mumtahanah ayat 8 (S.60:8) artinya, terhadap orang-orang yang tidak memerangi kamu dalam masalah agama dan tidak pula mengusir kamu dari kampong halamanmu, Tuhan tidak melarang kami berbuat baik dan berlaku adil kepada mereka, karena Allah mengasihi orang yang berbuat adil.
4. Surat Al Baqarah ayat 256 (S.2:256) artinya, Tidak boleh ada paksaan dalam hal agama.
5. Surat Yunus ayat 99 (S.10:99) yang artinya adalah engkau akan membenci manusia sampai dia menjadi mukmin.
6. Surat An Nuur ayat 27 (S.74:27) yang artinya janganlah masuk kerumah orang lain tanpa izin.
7. Surat Al Maa’rij ayat 24 (S.70 :24) artinya orang-orang yang didalam harta benda terdapat hak- hak tertentu; bagi orang yang meminta dan tidak punya.
8. Surat Al Maidah ayat 8 (S.5:8) artinya, hai orang-orang yang beriman jadilah orang-orang yang berdiri tegak karena Allah sebagai saksi atas keadilan. Janganlah karena kamu benci kepada suatu golongan lalu engkau tidak bersikap adil; bersikaplah adil, karena ini lebih dekat kepada taqwa. Takutlah kepada Allah Sesungguhnya Allah itu Maha Tahu dengan apa yang kamu lakukan.

b. Hadist Nabi
1. Artinya; orang Arab tidak mempunyai kelebihan atas orang non Arab. Tidak pula orang putih atas orang hitam kecuali dengan taqwa.
2. Artinya; kaum wanita adalah saudara kandung kaum lelaki.
3. Artinya; harta dan darah saudaramu haram bagimu.
4. Artinya; menuntut ilmu adalah wajib bagi seorang muslim dan muslimat.
5. Artinya; semua mahluk ini adalah anggota keluarga Allah. Makhluk yang paling dicintai Allah adalah mahluk yang paling berguna bagi anggota keluarganya.

X. PRINSIP-PRINSIP UMUM SISTIM EKONOMI MENURUT ISLAM
1. Suatu sistim ekonomi (dari ideologi manapun) mengatur hubungan antara warga Negara dan penguasa / Negara dalam bidang ekonomi; c.q. hak milik warga Negara, hak pemilikan warga Negara atas sumber sumber ekonomi (tanah, kekayaan alam, alat-alat produksi) visa visa penguasaan/pemilikan sumber-sumber ekonomi oleh Negara, serta hak berusaha warga Negara vis a vis wewenang Negara dengan perusahaan Negara. Kapitalisme dan marxisme/sosialisme mempunyai pengaturannya masing – masing mengenai persoalan-persoalan tersebut di atas, Islam bagaimana?
2. Menurut Islam, tugas Negara diantaranya adalah membasmi mungkarat dan di dalam sistim ekonomi termasuk mungkarat adalah stiap bentuk penghisapan (exploitation), kedholiman dan ketidakadilan (Maududi, Ibid : 55). Hal ini dikonkritkan oleh Muhammad Qutb (Islama the Musinderstood Religion) “ 1964 : 132) dalam sikapnya terhadap kapitalisme : “They (orientalists) argue that as Islam permiited individual awnership it must likewise permit capitalism. In answer to this accousation it might suffice to point out that capitalism can not prosper or grow without usury and monopoly both of which were prohibilited by Islam about one thousand years before the existence of capitalism. Artinya ; kaum orientalis berpendapat bahwa karena islam mengijinkan kepemilikan secara individu, dengan demikian Islam pasti mengijinkan kapitalisme. Sebagai jawaban terhadap tuduhan ini, barang kali cukup dijelaskan bahwa kapitalisme tidak akan mampu berhasil baik atau berkembang tanpa adanya riba dan monopoli, kedua-duanya dilarang oleh Islam kira-kira 1000 tahun sebelum munculnya kapitalisme. Terhadap labah yang diperoleh sikapitalis berkat kerja si buruh, Muhammad Qutb (ibid hal: 135) berkata; The Islamic principle which was laid this respect entitles the workman to more the profit with their employers. The employer provides the capital and the workman does the work; the two efforts are equal and accordiangly they are entitled to an equal share in the profit. Artinya; ajaran-ajaran Islam yang menyangkut hal ini memberi hak kepada buruh untuk berbagi keuntungan dengan majikannya. Majikan menyediakan modal dan buruh yang berkerja. Kedua usaha tersebut adalah sama dan oleh karena itu mereka berhak mendapat keuntungan yang sama.Secara implicit, Muhammad Qutb menerima pendapat Karl Marxa tentang adanya surplus-value, hak buruh yang dirampas oleh si – kapitalis.
3. Mengenai riba yang dilarang oleh Islam (AL-Baqarah:275 dan Al-Imran 130), Syafruddin Prawira Negara di dalam sebuah ceramahnya “Hakekat ekonomi Islam” memberi interpretasi dengan bunga pinjaman uang yang biasa disebut di dalam dunia bank sebagai interest. Menurut Syafrudin, riba adalah segala bentuk keuntungan yang diperoleh dengan:
a. Exploitation de I’humoric par I’homme(Penindasan dan pemerasan oleh manusia atas manusia), dan
b. Abuse de la nature par I’homme(penyalah-gunaan alam oleh manusia). Jadi, riba adalah segala bentuk kedholiman dalam bidang ekonomi, diantaranya adalah excessive profit, excessive interest, pengerukan hasil hutan yang merusak lingkungan alam dan lain-lain.
4. Interpretasi ala Syafruddin diatas adalah sesuai dengan jiwa syariat, karena dengan melarang setiap bentuk kedholiman c.q. dalam bidang ekonomi, msyarakat atau kepentingan umum akan terlindungi. Dan tugas syariat diantaranya ialah melindungi kepentingan umum. Akhmad Zaki Yamani (Ibid Hal:44) menerangkan bahwa, Jika diluar bidang peribadatan dikatakan sesuatu hak adalah sebagai Hak Allah, yang dimaksud adalah hak jamaah atau hak umum.

Hubungan ini dengan ajaran khilafah yaitu bahwa yang menjadi wakil (khalifah) Allah dimuka bumi, bukanlah orang perseorang, bukan dinasti, melainkan masyarakat muslim secara keseluruhan (vide bab X, sub 2). Jadi terhadap hak milik ada pembatasan yaitu panjang tidak timbulkan kerugian kepada orang lain, hingga keluar Hadist Nabi; artinya tidak boleh merugikan dan dirugikan (Ahmad dan Ibnu Majah).

Dari prisip diatas, Yamani (Ibid hal : 48 – 49) sampai teori kesewenangan-wenangan dalam penggunaan hak isinya adalah sebagai berikut:
Penggunaan Hak (milik) hanya dibolehkan untuk mewujudkan maksud yang dituju sesuai dengan adanya hak itu.

Penggunaan hak dapat dianggap tidak menurut Syara bila menimbulkan kerugian yang luar biasa. Penggunaan tidak dibenarkan kecuali untuk mendapat sesuatu faedah dan bukan merugikan orang lain.
Kemudian Yamani (Ibid hal : 51) mengemukakan bahwa pemilik hak dianggap telah berlaku sewenang-wenang atau melakukan hal-hal sebagai berikut:
Jika tindakannya ditujukan untuk merugikan orang lain.
JIka tindakannya itu tidak membawa faedah kepadanya tapi malah merugikan orang lain.
Jika tindakannya itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat umum seperti halnya monopoli.
Menurut Yamani, teori tersebut telah dimuat dalam kitab Undang Undang Hukum Perdata Turki Usmani.

Dalam prinsip khilafah terletak prinsip kolektivitas dalam dam, karena yang menjadi khilafah adalah umat hamba Allah secara keseluruhan. Jadi jika di dalam Al-Qur’an disebut bahwa sesuatu milik Allah, maka implikasinya adalah bahwa milik Allah itu diserahkan pengelolaannya kepada umat hamba-hamba Allah secara keseluruhan. Dalam Al-Qur’an Surat Thaaha ayat 6 (S.20:6) artinya; Kepunyaan-Nya-lah semua yang ada di angkasa, yang ada dibumi, dan diantara keduanya serta yang ada di bawah tanah.

Mengenai ayat tersebut Yamani mengatakan bahwa kata-kata “apa” dalam ayat Al-Qur’an tadi memberikan pengertian bahwa semua yang ada di bumi seluruhnya” di ciptakan untuk manusia semuanya. Tidak ada seorang pun yang diistimewakan untuk melebihi yang lain. Ayat tersebut dikonretisir oleh sebuah hadists Nabi yang artinya; Manusia memiliki bersama tiga benda, yaitu air, rumput dan api dalam suatu riwayat ditambah “dan garam”.

Mustafa Husni Assiba’I, menunjuk kepada hadist tersebut sebagai dasar untuk nasionalisasi dengan menambahkan; Sudah tentulah bahwa hadist diatas yang hanya menyebutkan tiga macam benda itu, bukan sekali-kali dimaksudkan membatasi (hanya menyebutkan tiga macam benda itu saja yang boleh di nasionalisasikan), tetapi dapa dimasukkan didalamnya segala sesuatu yang menjadi kebutuhan bersama bagi manusia umumnya (Sosialisme Islam, Terjemahan M. Abdal Ratomy, Penerbit CV. Diponegoro, Bandung Cetakan I, 1969 hal 215).

Pada hemat saya, yang dimaksudkan di dalam hadist tersebut tentulah bukan sekedar air, rumput, dan api melainkan sumbernya. Dari ayat dan hadist tersebut terlihat adanya paralellisme dengan pasal 33 UUD 45.
6. 1400 tahun yang lalu dimana masyarakat Arab masih dalam tahap ekonomi yang dapat dikatakan baru berupa subsistence-economy atau standwitschaft, belum ada perdagangan inter-kontinental, industripun belum ada masalah hubungan perburuhan, namun Al-Qur’an dan Hadist telah menggariskan beberap prinsip umum yang tampak sekali relevansinya untuk masa kini juga untuk masa depan.
Bertolak dari prinsip:
(Al Baqarah : 279), dan Hadist:
Hubungan perburuhan adalah untuk memelihara keseimbangan (keadilan) antara buruh dan pemilik modal. Beberapa prinsip umum dalam bidang ini terkandung didalam sejumlah ayat Al- Qur’an dan Hadist di bawah ini yang dikutip dari buku “Sosialisme Islam”, Assiba’I 1969:207-214) sebagai berikut:
a. Al-Qur’an
1. Surat Ahqoof ayat 19 (S.46:19) yang artinya; Bagi setiap orang apa yang dikerjakan mempunyai nilai, imbalannya hendaknya dipenuhi dan jangan ada yang teraniaya.
2. Surat Ali Imran ayat 195 (S.3.195) yang artinya; Sesungguhnya Aku tidak mengabaikan amal dari kamu masing-masing baik lelaki maupun perempuan.
3. Surat Al A’raf ayat 85 (S.7:85) yang artinya; Dan janganlah kamu mengurangi barang- barang orang.
4. Surat Al Qashash ayat (S.28:5) yang artinya; Dan kami akan memberi pertolongan kepada orang-orang yang tertindas di muka bumi.
b. Hadis-hadist Nabi
1. Artinya; setiap orang dari kamu adalah penggembala dan setiap penggembala bertanggung jawab atas gembalanya (Bukhari-Muslim).
2. Artinya; Buruh adalah pengembala atas harga majikannya dan harus bertanggung jawab atas gembalaannya itu (Bukhari – Muslim).
3. Artinya; bayarlah tiga orang yang akan menjadi lawanku di akhirat,....seorang di antara mereka itu adalah orang yang memperkerjakan buruh tetapi tidak memenuhi upahnya.
4. Artinya; bayarlah upah si-buruh sebelum keringatnya kering.
5. Artinya; Kepada Buruh yang tidak mempunyai tempat tinggal berilah tempat tinggal, yang belum kawin kawinkanlah, yang belum mempunyai kendaraan sediakanlah kendaraan. (Imam Ahmad dan Abu Dawud).

Demikian banyaknya ayat-ayat Al-Qur’an dan hadist-hadits yang menyinggung soal kemiskinan, sehingga timbil pertanyaan apakah di dalam Islam, kemiskinan itu merupakan lembaga tersendiri, artinya yang tidak dapat dihapuskan dank arena itu harus di Bantu?.

Melihat prinsip-prinsip umum sistim politik dan sistim ekonomi di dalam Islam yang sebagiannya telah disinggung di muka, sebenarnya dapat ditarik kesimpulan bahwa di dalam Islam tidak mungkin terjadi kekayaan structural.

Kekayaan structural adalah kekayaan yang dimungkinkan oleh struktur kekuasaan. Feodalisme, monarki, kapitalisme, fasisme, oligarki dan kombinasi-kombinasi lain antara struktur kekuasaan dan stuktur ekonomi, masing-masing membawa kekayaan stukturalnya sendiri. Karena Islam menolak setiap sistim politik/ideologi tersebut, Islam karenanya juga menolak kekayaan stuktural dalam setiap manifestasinya.

Kekayaan stuktural menghasilkan kemikinan stuktural. Karena Islam menolak setiap bentuk kekayaan stuktural, Islam juga tidak mengenal kemiskinan structural. Karena itu kemiskinan yang dimaksud di dalam Al Qur’an dan Hadis bukanlah kemiskinan stuktural dank arena itu juga bukan merupakan lembaga.

Kemiskinan yang dimaksud di dalam ayat-ayat Al Quran dan hadist adalah kemiskinan karena musibah, kecelakaan, kemasalah, kebodohan dan lain-lain yang semuanya dapat dikategorikan ke dalam kemiskinan dhoruri.

Kemiskinan structural harus dan dapat diberantas, tetapi yang tidak dapat dihapus, setidak-tidaknya yang selalu saja dapat terjadi adalah kemiskinan dhoruri.

XI. KESIMPULAN
1. Islam bukanlah ideologi, tetapi mengandung prinsip-prinsip umum yang universal tentang bagaimana mengatur kehidupan kenegaraan dan kemasyarakatan.

2. Dari prinsip-prinsip umum tersebut dapatlah diyakini bahwa Islam adalah menolak feodalisme, monarki, kapitalisme, fasisme, diktatur, totaliterisme, otoriterisme, oligarki dan setiap bentuk kombinasi antara kekuasaan politik dan kekuasaan ekonomi. Sudah barang tentu Islam menolak atheisme dan sekulerisme dan setiap sistim politik yang didasarkan kepada kedua-duaisme tersebut.
Prinsip-prinsip umum tersebut yang terdapat di dalam Al-Qur’an dan Hadist jika disusun di dalam satu sistim dapat merupakan sebuah ideologi yang aplikabel dalam suatu Negara.
Prinsip-prinsip umum tersebut jika diproyeksikan ke alam Indonesia akan menunjukkan adanya paralellisme dengan prinsip-prinsip Pancasila, Pembukaan dan Batang Tubuh UUD-45.

Bagi umat Islam di Indonesia tidaklah relevan untuk menyusun ideologinya sendiri, melainkan dapat mengusahakan agar pelaksanaan Pancasila, Pembukaan dan Pasal-Pasal UUD-45 diwarnai oleh Prinsip- prinsip umum yang terdapat di dalam Al-Quran dan Hadist tentang kehidupan bernegara dan bermasyarakat; bersama-sama dengan kaum Pancasila-is lainnya, umat Islam Indonesia lainnya hendaknya memperjuangkan agar Pancasila, Pembukaan dan Pasal-Pasal UUD-45 terlaksana secara riil operational, sehingga Pancasila benar-benar akan menjadi “Living ideology”.

Kegiatan memperdalam pengkajian isi Al-Qur’an dan Hadits akan membawa kepada pemahaman prinsip-prinsip umum yang terkandung di dalam Al-Quran dan hadist tentang pengaturan kehidupan Negara dan masyarakat (aspek ideologi), dan peningkatan pemahaman aspek ideologi dari Islam ini justru dapat menimbulkan dan meningkatkan harmoni dalam penghayatan ajaran-ajaran Muamalah (Islam) dan penghayatan ajaran-ajaran yang terkandung di dalam Pancasila, Pembukaan dan Batang Tubuh UUD-45, sehingga apa yang di sementara kalangan Islam di Indonesia terasa sebagai “hutang turun temurun” setidak-tidaknya apa yang masih merupakan “psychological baririer’ dapat dihapus. Demi Ketahanan Nasional, kelestarian, Republik Pancasila Indonesia.



TAFSIR TUJUAN
HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM

Dikutip dari Hasil Kongres XXX Desember 2018 di Ambon

I. PENDAHULUAN
Tujuan yang jelas diperlukan untuk suatu organisasi, hingga setiap usaha yang dilakukan oleh organisasi tersebut dapat dilaksanakan dengan teratur. Bahwa tujuan suatu organisasi dipengaruhi oleh suatu motivasi dasar pembentukan, status dan fungsinga dalam totalitas dimana ia berada. Dalam totalitas kehidupan bangsa Indonesia, maka HMI adalah organisasi yang menjadikan Islam sebagai sumber nilai. Motivasi dan inspirasi bahwa HMI berstatus sebagai organisasi mahasiswa, berfungsi sebagai organisasi kader dan yang berperan sebagai organisasi perjuangan serta bersifat independen.

Pemantapan fungsi kekaderan HMI ditambah dengan kenyataan bahwa bangsa Indonesia sangat kekurangan tenaga intelektual yang memiliki keseimbangan hidup yang terpadu antara pemenuhan tugas duniawi dan ukhrowi, iman dan ilmu, individu dan masyarakat, sehingga peranan kaum intelektual yang semakin besar dimasa mendatang merupakan kebutuhan yang paling mendasar. Atas faktor tersebut, maka HMI menetapkan tujuannya sebagaimana dirumuskan dalam pasal 4. AD HMI yaitu :

“TERBINANYA INSAN AKADEMIS, PENCIPTA, PENGABDI YANG BERNAFASKAN ISLAM DAN BERTANGGUNG JAWAB ATAS TERWUJUDNYA MASYARAKAT ADIL MAKMUR
YANG DIRIDHOI ALLAH SUBHANAHU WATAALA”.

Dengan rumusan tersebut, maka pada hakekatnya HMI bukanlah organisasi massa dalam pengertian fisik dan kualitatif, sebaliknya HMI secara kualitatif merupakan lembaga pengabdian dan pengembangan ide, bakat dan potensi yang mendidik, memimpin dan membimbing anggota-anggotanya untuk mencapai tujuan dengan cara-cara perjuangan yang benar dan efektif.

II. MOTIVASI DASAR KELAHIRAN DAN TUJUAN ORGANISASI
Sesungguhnya Allah SWT telah mewahyukan Islam sebagai agama yang Haq dan sempurna untuk mengatur umat manusia agar berkehidupan sesuai dengan fitrahnya sebagai Khalifatullah di muka bumi dengan kewajiban mengabdikan diri semata-mata kehadiratnya.

Kehidupan yang sesuai dengan fitrah manusia tersebut adalah kehidupan yang seimbang dan terpadu antara pemenuhan jasmani dan kalbu, iman dan ilmu, dalam mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan ukhrowi. Atas keyakinan ini, maka HMI menjadikan Islam selain sebagai motivasi dasar kelahiran juga sebagai sumber nilai, motivasi dan inpirasi. Dengan demikian Islam bagi HMI merupakan pijakan dalam menetapkan tujuan dari usaha organisasi HMI.

Dasar Motivasi yang paling dalam bagi HMI adalah ajaran Islam. Karena Islam adalah ajaran fitrah, maka pada dasarnya tujuan dan mission Islam adalah juga merupakan tujuan daripada kehidupan manusia yang fitri, yaitu tunduk kepada fitrah kemanusiaannya.

Tujuan kehidupan manusia yang fitri adalah kehidupan yang menjamin adanya kesejahteraan jasmani dan rohani secara seimbang atau dengan kata lain kesejahteraan materil dan kesejahteraan spiritual.

Kesejahteraan yang akan terwujud dengan adanya amal saleh (kerja kemanusiaan) yang dilandasi dan dibarengi dengan keimanan yang benar. Dalam amal kemanusiaan inilah manusia akan dapatkan kebahagian dan kehidupan yang sebaikbaiknya. Bentuk kehidupan yang ideal secara sederhana kita rumuskan dengan “kehidupan yang adil dan makmur”.

Untuk menciptakaan kehidupan yang demikian. Anggaran dasar menegaskan kesadaran mahasiswa Islam Indonesia untuk merealisasikan nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Easa, Kemanusian Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmah Dalam Kebijaksanaan/ Perwakilan serta mewujudkan Keadilan Bagi Seluruh Rakyat Indonesia dalam rangka mengabdikan diri kepada Allah SWT.

Perwujudan dari pada pelaksanaan nilai-nilai tersebut adalah berupa amal saleh atau kerja kemanusiaan. Dan kerja kemanusiaan ini akan terlaksana secara benar dan sempurna apabila dibekali dan didasari oleh iman dan ilmu pengatahuan. Karena inilah hakekat tujuan HMI tidak lain adalah pembentukan manusia yang beriman dan berilmu serta mampu menunaikan tugas kerja kemanusiaan (amal saleh). Pengabdian dan bentuk amal saleh inilah pada hakekatnya tujuan hidup manusia, sebab dengan melalui kerja kemanusiaan, manusia mendapatkan kebahagiaan.

III. BASIC DEMAND BANGSA INDONESIA
Sesunguhnya kelahiran HMI dengan rumusan tujuan seperti pasal 4 Anggaran Dasar tersebut adalah dalam rangka menjawab dan memenuhi kebutuhan dasar (basic need) bangsa Indonesia setelah mendapat kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 guna memformulasikan dan merealisasikan cita-cita hidupnya. Untuk memahami kebutuhan dan tuntutan tersebut maka kita perlu melihat dan memahami keadaan masa lalu dan kini. Sejarah Indonesia dapat kita bagi dalam 3 (tiga) periode yaitu:
a) Periode (Masa) Penjajahan
Penjajahan pada dasarnya adalah perbudakaan. Sebagai bangsa terjajah sebenarnya bangsa Indonesia pada waktu itu telah kehilangan kemauan dan kemerdekaan sebagai hak asasinya. Idealisme dan tuntutan bangsa Indonesia pada waktu itu adalah kemerdekaan. Oleh karena itu timbullah pergerakan nasional dimana pimpinan-pimpinan yang dibutuhkan adalah mereka yang mampu menyadarkan hak-hak asasinya sebagai suatu bangsa.
b) Periode (Masa) Revolusi
Periode ini adalah masa merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa serta didoorong oleh keinginan yang luhur maka bangsa Indonesia memperoleh kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Dalam periode ini yang dibutuhkan oleh bangsa Indonesia adalah adanya persatuan solidaritas dalam bentuk mobilitas kekuatan fisik guna melawan dan menghancurkan penjajah. Untuk itu dibutuhkan adanya “solidarity making” diantara seluruh kekuatan nasional sehingga dibutuhkan adanya pimpinan nasional tipe solidarity maker.
c) Periode (Masa) Membangun
Setelah Indonesia merdeka dan kemerdekaan itu mantap berada ditangannya maka timbullah cita-cita dan idealisme sebagai manusia yang bebas dapat direalisir dan diwujudkan. Karena periode ini adalah periode pengisian kemerdekaan, yaitu guna menciptakan masyarakat atau kehidupan yang adil dan makmur. Maka mulailah pembangunan nasional. Untuk melaksanakan pembangunan, faktor yang sangat diperlukan adalah ilmu pengetahuan.
Pimpinan nasional yang dibutuhkan adalah negarawan yang “problem solver” yaitu tipe “administrator” disamping ilmu pengetahuan diperlukan pula adanya iman/akhlak sehingga mereka mampu melaksanakan tugas kerja kemanusiaan (amal saleh). Manusia yang demikian mempunyai garansi yang obyektif untuk menghantarkan bangsa Indonesia ke dalam suatu kehidupan yang sejahtera adil dan makmur serta kebahagiaan. Secara keseluruhan basic demand bangsa Indonesia adalah terwujudnya bangsa yang merdeka, bersatu dan berdaulat, menghargai HAM, serta menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dengan tegas tertulis dalam Pembukaan UUD 1945 dalam alinea kedua.

Tujuan 1 dan 2 secara formal telah kita capai tetapi tujuan ke-3 sekarang sedang kita perjuangkan. Suatu masyarakat atau kehidupan yang adil dan makmur hanya akan terbina dan terwujud dalam suatu pembaharuan dan pembangunan terus menerus yang dilakukan oleh manusia-manusia yang beriman, berilmu pengetahuan dan berkepribadian, dengan mengembangkan nilai-nilai kepribadian
bangsa.

IV. KUALITAS INSAN CITA HMI
Kualitas Insan Cita HMI adalah merupakan dunia cita yang terwujud oleh HMI di dalam pribadi seorang manusia yang beriman dan berilmu pengetahuan serta mampu melaksanakan tugas kerja kemanusiaan. Kualitas tersebut sebagaimana dalam pasal tujuan (pasal 5 AD HMI) adalah sebagai berikut :

a. Kualitas Insan Akademis
1.    Berpendidikan Tinggi, berpengetahuan luas, berfikir rasional, obyektif, dan kritis.
2.    Memiliki kemampuan teoritis, mampu memformulasikan apa yang diketahui dan dirahasiakan. Dia selalu berlaku dan menghadapi suasana sekelilingnya dengan kesadaran.
3.    Sanggup berdiri sendiri dengan lapangan ilmu pengetahuan sesuai dengan ilmu pilihannya, baik secara teoritis maupun tekhnis dan sanggup bekerja secara ilmiah yaitu secara bertahap, teratur, mengarah pada tujuan sesuai dengan prinsip-prinsip perkembangan.

b. Kualitas Insan Pencipta : Insan Akademis, Pencipta
1.    Sanggup melihat kemungkinan-kemungkinan lain yang lebih dari sekedar yang ada dan bergairah besar untuk menciptakan bentuk-bentuk baru yang lebih baik dan bersikap dengan bertolak dari apa yang ada (yaitu Allah). Berjiwa penuh dengan gagasan-gagasan kemajuan, selalu mencari perbaikan dan pembaharuan.
2.    Bersifat independen, terbuka, tidak isolatif, insan yang menyadari dengan sikap demikian potensi, sehingga dengan demikian kreatifnya dapat berkembang dan menentukan bentuk yang indah-indah.
3.    Dengan memiliki kemampuan akademis dan mampu melaksanakan kerja kemanusiaan yang disemangati ajaran islam.

c. Kualitas Insan Pengabdi : Insan Akdemis, Pencipta, Pengabdi
a.    Ikhlas dan sanggup berkarya demi kepentingan umat dan bangsa.
b.    Sadar membawa tugas insan pengabdi, bukan hanya sanggup membuat dirinya baik tetapi juga membuat kondisi sekelilingnya menjadi baik.
c.     Insan akdemis, pencipta dan pengabdi adalah insan yang bersungguh-sungguh mewujudkan cita-cita dan ikhlas mengamalkan ilmunya untuk kepentingan umat dan bangsa.

d. Kualitas Insan yang bernafaskan Islam : Insan Akademis, pencipta dan pengabdi yang bernafaskan Islam
a.    Islam yang telah menjiwai dan memberi pedoman pola fikir dan pola lakunya tanpa memakai merk Islam. Islam akan menajdi pedoman dalam berkarya dan mencipta sejalan dengan nilai-nilai universal Islam. Dengan demikian Islam telah menafasi dan menjiwai karyanya.
b.    Ajaran Islam telah berhasil membentuk “unity personality” dalam dirinya. Nafas Islam telah membentuk pribadinya yang utuh tercegah dari split personality tidak pernah ada dilema pada dirinya sebagai warga negara dan dirinya sebagai muslim. Kualitas insan ini telah mengintegrasikan masalah suksesnya pembangunan nasional bangsa kedalam suksesnya perjuangan umat islam Indonesia dan sebaliknya.
e. Kualitas Insan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi oleh Allah SWT
a.    Insan akademis, pencipta dan pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggungjawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi oleh Allah SWT.
b.    Berwatak, sanggup memikul akibat-akibat dari perbuatannya dan sadar dalam menempuh jalan yang benar diperlukan adanya keberanian moral.
c.     Spontan dalam menghadapi tugas, responsif dalam menghadapi persoalanpersoalan dan jauh dari sikap apatis.
d.    Rasa tanggung jawab, taqwa kepada Allah SWT, yang menggugah untuk mengambil peran aktif dalam suatu bidang dalam mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang diridhoi Allah SWT.
e.    Evaluatif dan selektif terhadap setiap langkah yang berlawanan dengan usaha mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur.
f.      Percaya pada diri sendiri dan sadar akan kedudukannya sebagai “khallifah fil ard” yang harus melaksanakan tugas-tugas kemanusiaan.
Pada pokoknya insan cita HMI merupakan “man of futureinsan pelopor yaitu insan yang berfikiran luas dan berpandangan jauh, bersikap terbuka, terampil atau ahli dalam bidangnya, dia sadar apa yang menjadi cita-citanya dan tahu bagaimana mencari ilmu perjuangan untuk secara kooperatif bekerja sesuai dengan yang dicita-citakan.

Tipe ideal dari hasil perkaderan HMI adalah “man of inovator” (duta-duta pembaharu). Penyuara “idea of progress” insan yang berkeperibadian imbang dan padu, kritis, dinamis, adil dan jujur tidak takabur dan ber-taqwa kepada Allah Allah SWT. Mereka itu manusia-manusia uang beriman berilmu dan mampu beramal saleh dalam kualitas yang maksimal (insan kamil)

Dari lima kualitas insan cita tersebut pada dasarnya harus memahami dalam tiga kualitas insan Cita yaitu kualitas insan akademis, kualitas insan pencipta dan kualitas insan cita. Ketiga insan kualitas pengabdi tersebut merupakan insan islam yang terefleksi dalam sikap senantiasa bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil dan makmur yang diridhoi Allah SWT.

V. TUGAS ANGGOTA HMI

Setiap anggota HMI berkewajiban meningkatkan kualitas dirinya menuju kualitas insan cita HMI. Untuk itu setiap anggota HMI harus mengembangkan sikap mental pada dirinya yang independen untuk itu:
a.    Senantiasa memperdalam hidup kerohanian agar menjadi luhur dan ber-taqwa kepada Allah SWT.
b.    Selalu tidak puas dalam mencari kebenaran
c.   Teguh dalam pendirian dan obyektif rasional menghadapi pendirian yang berbeda.
d.    Bersifat kritis dan berpikir bebas kreatif
e.    Selalu haus terhadap ilmu pengetahuan dan selalu mencari kebenaran

Hal tersebut akan diperoleh antara lain dengan jalan :
a. Senantiasa meningkatkan pemahaman dan pengamalan ajaran Islam yang dimilikinya dengan penuh gairah.
b.  Aktif berstudi dalam Fakultas yang dipilihnya.
c.  Mengadakan tentor club untuk studi ilmu jurusannya dan club studi untuk masalah kesejahteraan dan kenegaraan
d.  Selalu hadir dan pro aktif dalam forum ilmiah
e.  Aktif dalam mengikuti karyaseni dan budaya
f.   Mengadakan halaqah-halaqah perkaderan di masjid-masjid kampus

Bahwa tujuan HMI sebagaimana yang telah dirumuskan dalam pasal 4 AD HMI pada hakikatnya adalah merupakan tujuan dalam setiap Anggota HMI. Insan cita HMI adalah gambaran masa depan HMI. Suksesnya anggota HMI dalam membina dirinya untuk mencapai Insan Cita HMI berarti dia telah mencapai tujuan HMI.

Insan cita HMI pada suatu waktu akan merupakan “Intellectual community” atau kelompok intelegensi yang mampu merealisasi cita-cita umat dan bangsa dalam suatu kehidupan masyarakat yang religius, sejahtera, adil dan makmur serta Bahagia (masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah Subhanahuwataala).

Wabillahittaufiq wal hidayah.



MEMORI PENJELASAN TENTANG
ISLAM SEBAGAI AZAS HMI

 Dikutip dari Hasil Kongres HmI XXX Desember 2018 di Ambon

“Hari ini telah Kusempurnakan bagi kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhoi Islam itu jadi agama bagimu: (QS. Al-Maidah : 3).

“Dan mereka yang berjuang dijalan-Ku (kebenaran), maka pasti Aku tunjukkan jalannya (mencapai tujuan) sesungguhnya Tuhan itu cinta kepada orang-orang yang selalu berbuat (progresif) (QS. Al-Ankabut : 69).

Islam sebagai ajaran yang haq dan sempurna hadir di bumi diperuntukkan untuk mengatur pola hidup manusia agar sesuai fitrah kemanusiaannya yakni sebagai khalifah di muka bumi dengan kewajiban mengabdikan diri semata-mata ke hadirat-Nya.

Iradat Allah Subhanu Wata’ala, kesempurnaan hidup terukur dari personality manusia yang integratif antara dimensi dunia dan ukhrawi, individu dan sosial, serta iman, ilmu dan amal yang semuanya mengarah terciptanya kemaslahatan hidup di dunia baik secara individual maupun kolektif.

Secara normatif Islam tidak sekedar agama ritual yang cenderung individual akan tetapi merupakan suatu tata nilai yang mempunyai komunitas dengan kesadaran kolektif yang memuat pemaham/kesadaran, kepentingan, struktur dan pola aksi bersama demi tujuan-tujuan politik.

Substansi pada dimensi kemasyarakatan, agama memberikan spirit pada pembentukan moral dan etika. Islam yang menetapkan Tuhan dari segala tujuan menyiratkan perlunya peniru etika ke Tuhanan yang meliputi sikap rahmat (Pengasih), barr (Pemula), ghafur (Pemaaaf), rahim (Penyayang) dan (Ihsan) berbuat baik. Totalitas dari etika tersebut menjadi kerangka pembentukan manusia yang kafah (tidak boleh mendua) antara aspek ritual dengan aspek kemasyarakatan (politik, ekonomi dan sosial budaya).

Adanya kecenderungan bahwa peran kebangsaan Islam mengalami marginalisasi dan tidak mempunyai peran yang signifikan dalam mendesain bangsa merupakan implikasi dari proses yang ambiguitas dan distorsif. Fenomena ini ditandai dengan terjadinya mutual understanding antara Islam sebagai agama dan Pancasila sebagai ideologi. Penempatan posisi yang antagonis sering terjadi karena berbagai kepentingan politik penguasa dari politisi-politisi yang mengalami split personality.

Kelahiran HMI dari rahim pergolakan revolusi fisik bangsa pada tanggal 5 Februari 1947 didasari pada semangat mengimplementasikan nilai-nilai ke-Islaman dalam berbagai aspek ke Indonesian.

Semangat nilai yang menjadi embrio lahirnya komunitas Islam sebagai interest group (kelompok kepentingan) dan pressure group (kelompok penekanan). Dari sisi kepentingan sasaran yang hendak diwujudkan adalah tertuangnya nilai-nilai tersebut secara normatif pada setiap level kemasyarakatan, sedangkan pada posisi penekan adalah keinginan sebagai pejuang Tuhan (sabilillah) dan pembelaan mustadh’afin.

Proses internalisasi dalam HMI yang sangat beragam dan suasana interaksi yang sangat plural menyebabkan timbulnya berbagai dinamika ke-Islaman dan ke- Indonesiaan dengan didasari rasionalisasi menurut subyek dan waktunya.

Pada tahun 1955 pola interaksi politik didominasi pertarungan ideologis antara nasionalis, komunis dan agama (Islam). Keperluan sejarah (historical necessity) memberikan spirit proses ideologisasi organisasi. Eksternalisasi yang muncul adalah kepercayaan diri organisasi untuk “bertarung” dengan komunitas lain yang mencapai titik kulminasinya pada tahun 1965.

Seiring dengan kreatifitas intelektual pada Kader HMI yang menjadi ujung tombak pembaharuan pemikiran Islam dan proses transformasi politik bangsa yang membutuhkan suatu perekat serta ditopang akan kesadaran sebuah tanggung jawab kebangsaan, maka pada Kongres X HMI di Palembang, tanggal 10 Oktober 1971 terjadilah proses justifikasi Pancasila dalam mukadimah Anggaran Dasar.

Orientasi aktifitas HMI yang merupakan penjabaran dari tujuan organisasi menganjurkan terjadinya proses adaptasi pada jamannya. Keyakinan Pancasila sebagai keyakinan ideologi negara pada kenyataannya mengalami proses stagnasi. Hal ini memberikan tuntutan strategi baru bagi lahirnya metodologi aplikasi Pancasila. Normatisasi Pancasila dalam setiap kerangka dasar organisasi menjadi suatu keharusan agar mampu mensuport bagi setiap institusi kemasyarakatan dalam mengimplementasikan tata nilai Pancasila.

Konsekuensi yang dilakukan HMI adalah ditetapkannya Islam sebagai identitas yang mensubordinasi Pancasila sebagai azas pada Kongres XVI di Padang, Maret 1986. Islam yang senantiasa memberikan energi perubahan mengharuskan para penganutnya untuk melakukan invonasi, internalisasi, eksternalisasi maupun obyektifikasi. Dan yang paling fundamental peningkatan gradasi umat diukur dari kualitas keimanan yang datang dari kesadaran paling dalam bukan dari pengaruh eksternal. Perubahan bagi HMI merupakan suatu keharusan, dengan semakin meningkatnya keyakinan akan Islam sebagai landasan teologis dalam berinteraksi secara vertikal maupun horizontal, maka pemilihan Islam sebagai azas merupakan pilihan dasar dan bukan implikasi dari sebuah dinamika kebangsaan.

Demi tercapainya idealisme ke-Islaman dan ke-Indonesiaan, maka HMI bertekad Islam dijadikan sebagai doktrin yang mengarahkan pada peradaban secara integralistik, transendental, humanis dan inklusif. Dengan demikian kader-kader HMI harus berani menegakkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan serta prinsip-prinsip demokrasi tanpa melihat perbedaan keyakinan dan mendorong terciptanya penghargaan Islam sebagai sumber kebenaran yang paling hakiki dan menyerahkan semua demi ridho-Nya.


Oleh : Arip Musthopa
KETUA UMUM PB HMI 2008 - 2010


Sejarah HMI bukanlah sejarah HMI semata. Sejarah HMI adalah sejarah pergumulan umat dan bangsa di bumi nusantara. Tepatnya, sejarah pergumulan kaum intelegensia muda Islam-Indonesia dalam interaksinya dengan umat dan bangsa di bumi nusantara. Dengan pemaknaan demikian, maka makna kehadiran HMI tidak bisa dilihat hanya sejak tahun 1940-an ketika Lafran Pane dkk, menjadi mahasiswa dan berinisiatif mendirikan HMI hingga saat ini, melainkan harus ditarik jauh hingga ke masa pemberlakuan politik etis Pemerintah Kolonial Hindia Belanda pada akhir abad ke-19 masehi; dan bahkan ditarik hingga abad ke-13 masehi ketika pertama kali Islam masuk di bumi nusantara. Penarikan sejarah yang jauh ke belakang ini untuk menggapai makna yang lebih utuh karena makna kelahiran dan keberadaan HMI merupakan bagian integral dari semangat Islam masuk ke bumi nusantara dan semangat perjuangan kaum intelegensia muslim sebagai ‘blok historis’ yang menginisiasi kelahiran Negara Republik Indonesia pada awal abad ke-20.

HMI merupakan produk sejarah yang tak terhindarkan dari dua peristiwa penting sejarah (umat) Islam di bumi nusantara, yakni sejarah permulaan Islam masuk di bumi nusantara dan sejarah kebangkitan muslim nusantara (yang dipimpin kaum intelegensia) untuk membebaskan bumi nusantara dari penjajah kolonial Belanda. Pemaknaan yang seperti ini bukanlah sesuatu yang mengada-ada karena semangat Islam masuk ke bumi nusantara yakni syiar Islam, dan semangat kaum intelegensia muslim awal abad ke-20 untuk memerdekakan Indonesia tercermin dalam dua tujuan awal berdirinya HMI pada 5 Februari 1947 bertepatan dengan 14 Rabiul Awal 1366 H, yaitu (1) mempertahankan Negara Republik Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia, dan (2) menegakkan dan mengembangkan ajaran agama Islam.[1]

Petunjuk tertua tentang permulaan Islam dipeluk oleh penduduk bumi nusantara ditemukan di bagian utara Sumatera, tepatnya di Pemakaman Lamreh. Disana ditemukan nisan Sultan Sulaiman bin Abdullah bin al-Basir yang wafat tahun 608 H/1211 M.[2] Masuknya Islam ke bumi nusantara memiliki makna yang sangat penting bagi penduduk bumi nusantara. Karena pada periode itu Islam sedang mengalami puncak kejayaan sebagai suatu peradaban dan bahkan pemimpin peradaban global. Pada masa-masa itu (abad ke-5 s.d. 7 H), hidup pemikir-pemikir besar dunia (Islam), seperti Ibn Sina (wafat 428 H/1037 M), Al Ghazali (wafat 505 H/1111 M), Ibn Rusyd (wafat 594 H/1198 M), dan Ibn Taymiyyah (wafat 728 H/1328 M).[3] Dengan demikian, Islam yang masuk ke Indonesia adalah Islam yang sudah mapan sebagai suatu ajaran agama dan peradaban[4] sehingga merupakan hal yang sudah sepatutnya apabila M.C. Ricklefs, profesor kehormatan di Monash University Australia menulis buku A History of Modern Indonesia Since c. 1200[5] untuk menggambarkan sejarah Indonesia modern yang dimulai dari sejak pertama kali Islam dipeluk penduduk bumi nusantara.

Kata ‘modern’ yang disematkan kepada bumi nusantara yang kemudian dikenal dengan ‘Indonesia’ sejak tahun 1200-an tersebut menunjukkan bahwa peradaban di bumi nusantara ketika itu belum modern karena berada di bawah kekuasaan feodalisme Hindu-Budha dan Islam hadir dengan membawa kemodernan. Dengan kata lain, Islam membawa misi memodernkan penduduk di bumi nusantara (Indonesia).

Misi Islam untuk memodernkan penduduk bumi nusantara tidaklah berlangsung dengan mudah dan lancar karena pada saat yang bersamaan dengan mulai masuknya Islam ke bumi nusantara, hinduisme dan budhisme mulai menemukan puncak kejayaannya di bumi nusantara dengan berdirinya kerajaan Majapahit (1294 M) dan berkembang menjadi kerajaan terbesar di Asia Tenggara hingga runtuh pada 1478 M. Proses Islamisasi yang berjalan secara damai di bumi nusantara, terutama di daerah Utara Sumatera berhasil menunjukkan eksistensinya dengan tampilnya kerajaan Islam di Aceh. Sebelum kira-kira tahun 1500, Aceh belumlah begitu menonjol. Sultan pertama kerajaan yang sedang tumbuh ini adalah Ali Mughayat Syah (m.1514-30). Selama masa pemerintahannya, sebagian besar komunitas dagang Asia yang bubar karena direbutnya Malaka oleh Portugis menetap di Aceh.[6] Aceh kemudian tumbuh menjadi salahsatu kerajaan terkuat di kawasan Malaya-Nusantara.

Islam yang sedang tumbuh dan mulai membangun peradabannya di bumi nusantara pasca keruntuhan Majapahit sempat terinterupsi selama 3,5 abad (1596-1942 M) ketika bumi nusantara dijajah oleh VOC dan Pemerintah Kolonial Belanda. Pada masa itu, penduduk bumi nusantara yang mayoritasnya telah muslim kehilangan kekuasaan baik secara ekonomi maupun politik sehingga tidak dapat dengan leluasa menjalankan misinya, yakni memodernkan penduduk bumi nusantara. Kondisi ini dipersulit dengan kemunduran peradaban dunia Islam pada umumnya sejak abad ke-15 M.[7] Pada masa itu, muslim di bumi nusantara dengan kerajaan-kerajaannya seperti Aceh, Demak (didirikan pada perempat terakhir abad ke-15 M), Cirebon (berdiri akhir abad ke-15 M), Banten (berdiri abad ke-16 M), Pajang dan Mataram (berdiri pertengahan kedua abad ke-16 M), Gowa (raja Gowa memeluk Islam tahun 1605, awal abad ke-17), Ternate, Tidore dan sejumlah kerajaan lain yang lebih kecil; serta dengan dinamika internal yang rumit[8] di bawah kepemimpinan sultan dan ulama serta kaum intelegensia sejak abad ke-20 M, selama ratusan tahun berusaha mengusir VOC dan Pemerintah Kolonial Belanda, merebut dominasi ekonomi dan politik di bumi nusantara dari tangan mereka.[9]

Ikhtiar untuk merebut kembali kekuasaan ekonomi dan politik baru dapat dilakukan secara signifikan pada awal abad ke-20 ketika mulai muncul kaum intelegensia muslim sebagai produk pendidikan pemerintah kolonial Belanda yang dikenal dengan politik etis pada akhir abad ke-19 M. Perlu diketahui bahwa penduduk pribumi (bumiputera) ketika itu merupakan kelas sosial ketiga setelah orang Eropa dan keturunan Asia (China, India, dan Arab). Akses mereka terhadap ekonomi dan birokrasi pemerintahan sangat terbatas dan sumber daya manusia mereka tidak pernah diberdayakan karena pemerintah kolonial Belanda tidak pernah membuka akses pendidikan bagi penduduk pribumi hingga diberlakukannya politik etis tersebut.[10]

Ikhtiar merebut kekuasaan ekonomi dan politik tersebut memunculkan gerakan nasionalisme Indonesia yang menginginkan kemerdekaan Indonesia dari Belanda. Peranan Islam dalam kelahiran nasionalisme ini sangat penting karena Islam merupakan media persemaian nasionalisme Indonesia itu sendiri sejak awal hingga ke depannya. George Mc. Turnan Kahin dalam buku Nationalism and Revolution in Indonesia melukiskan faktor-faktor atau kondisi awal abad ke-20 yang berperan melahirkan nasionalisme Indonesia sebagai berikut. Pertama, munculnya gerakan Pan-Islam (terinspirasi oleh Mohammad Abduh, Kairo) yang dibawa mahasiswa yang pulang belajar. Kahin menulis:
Agama Islam tidak begitu saja menyerap nurani suatu kebangsaan secara pasif. Agama ini menjadi pengadaan saluran dini dari perkembangan nasionalisme yang matang, nasionalisme modern, suatu saluran yang sampai sekarang masih sangat penting.[11]
Kedua, lahirnya pemimpin atau elit terpelajar pribumi yang justru dilahirkan oleh pendidikan barat yang digerakkan Pemerintah Belanda sendiri. Kahin menyimpulkan:
Perhatian Belanda yang terlalu besar terhadap bahaya-bahaya Pan-Islam menyebabkan mereka tidak terlalu mengacuhkan bahaya-bahaya yang terkandung dalam pergerakan Modernis terhadap rezim mereka. Sementara itu, senjata yang mereka pilih untuk memerangi Pan-Islam, yaitu pendidikan Barat, segera tumbuh menjadi mata pisau kedua yang memotong ke arah lain. Ini benar-benar merupakan suatu ironi bagi pemerintahan Belanda, karena cara-cara yang dipilih untuk membela rezim kolonial dari ancaman Pan-Islam yang dibesar-besarkan, justru berkembang ke dalam salah satu kekuatan yang paling potensial untuk mengalahkan rezim tersebut.[12]
Ketiga, kaum terpelajar, dengan mata pisau analisa yang mereka peroleh selama pendidikan di Belanda sendiri mulai merasakan adanya ketidakberesan kondisi negaranya. Mereka juga dapat membandingkan kondisi di negeri Belanda sendiri dengan kondisi di tanah air. Mereka juga merasakan diskriminasi dalam pekerjaan di Pemerintah Hindia Belanda dan mulai tumbuh perasaan tidak menerima perlakukan tersebut. Akibatnya, mereka menuntut diperlakukan setara karena mereka pun merasa kaum terpelajar yang sederajat dengan pegawai-pegawai Belanda. Mereka tidak menerima bila gaji mereka dibayar lebih murah dari pegawai Belanda dalam pemerintahan Hindia belanda. Selain itu, Pengalaman bekerja di pemerintahan Hindia Belanda juga menumbuhkan keyakinan bahwa elit pribumi tersebut merasa yakin dan mampu memerintah bangsanya sendiri.

Tiga kondisi utama di intern (elit) masyarakat Hindia Belanda di awal abad ke-20 inilah yang mengkristalkan kelahiran atau asal mula kesadaran nasionalisme Indonesia, disamping perkembangan di Negeri Belanda dan dunia internasional. Kesadaran ini diperjuangkan melalui organisasi-organisasi pergerakan nasional yang kemudian banyak bermunculan.[13]

Senada dengan Kahin, Yudi Latif dalam Genealogi Intelegensia Muslim Indonesia Abad ke-20 menggambarkan bahwa lahirnya Republik Indonesia tidak terlepas dari terbentuknya suatu ’blok historis’ yang disebutnya kaum intelegensia muslim. Kaum intelegensia muslim inilah yang karena kesadaran atas ketertinggalan dan penderitaan rakyat Hindia Belanda ketika itu bertekad dan berjuang memerdekakan Hindia Belanda dan berhasil mendirikan Negara Republik Indonesia.[14]

Latar sejarah di atas, dengan tegas menuturkan kepada kita bahwa hadirnya Islam di Indonesia adalah untuk memperbaiki kualitas hidup penduduk bumi nusantara, menghantarkannya pada tingkat peradaban yang lebih tinggi sebagaimana Muhammad diutus ke muka bumi. Ikhtiar tersebut sempat terinterupsi oleh hadirnya penjajah Belanda pada akhir abad ke-16 hingga pertengahan abad ke-20. Kini bangsa Indonesia, yang mayoritasnya muslim, secara legal-formal telah dapat memegang kembali kendali atas bumi nusantara dengan berdirinya Negara Republik Indonesia di atasnya. Namun demikian, apakah semangat yang dicita-citakan Islam sehingga ia masuk ke bumi nusantara abad ke-13 dan menjadi media persemaian nasionalisme Indonesia pada permulaan abad ke-20 telah tercapai ?

Yudi Latif menggambarkan sejarah HMI dalam kontinuitas sejarah genealogi intelegensia muslim sebagai suatu blok historis yang memiliki peranan penting dalam kesejarahan Indonesia khususnya sejak awal abad ke-20. Sehingga tidak berlebihan bila HMI kerapkali mengidentikkan diri sebagai anak kandung umat dan bangsa, serta juga tidak berlebihan apabila Jenderal Besar Sudirman menyebutkan HMI bukan saja kepanjangan dari Himpunan Mahasiswa Islam, melainkan juga Harapan Masyarakat Indonesia.

Dalam perjalanannya, HMI memiliki fase kesejarahannya sendiri dalam interaksinya dengan umat dan bangsa.
Prof. Dr. H. Agussalim Sitompul, sejarawan HMI, membagi kesejarahan HMI dalam lima zaman perjalanan HMI dan 10 fase perjuangan, yakni, pertama, zaman perang kemerdekaan dan masa kemerdekaan (1946-1949) yang dibagi dalam fase konsolidasi spiritual dan proses berdirinya HMI (November 1946-5 Februari 1947), fase berdiri dan pengokohan (5 Februari-30 November 1947), dan fase perjuangan bersenjata dan perang kemerdekaan, dan menghadapi pengkhianatan dan pemberontakan PKI I (1947-1949). Kedua, zaman liberal (1950-1959). Pada masa ini HMI sibuk membina dan membangun dirinya sehingga menjadi organisasi yang solid dan tumbuh membesar. Bulan Juli 1951 PB HMI dipindahkan dari Yogyakarta ke Jakarta. Ketiga, zaman organisasi terpimpin atau zaman Orde Lama (1950-1965). Zaman ini dibagi dua fase, yakni fase pembinaan dan pengembangan organisasi (1950-1963), dan fase tantangan I (1964-1965). Pada fase tantangan I, HMI menghadapi upaya pembubaran oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dihadapi HMI dengan strategi PKI (Pengamanan, Konsolidasi, dan Integrasi). Pada masa ini juga Ketua HMI, Mar’ie Muhammad pada 25 Oktober 1965 berinisiatif mendirikan KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia). Keempat, zaman Orde Baru (1966-1998). Zaman ini dibagi ke dalam fase kebangkitan HMI sebagai pejuang Orde Baru dan pelopor kebangkitan angkatan 66 (1966-1968), fase partisipasi HMI dalam pembangunan (1969-sekarang), dan fase pergolakan dan pembaruan pemikiran (1970-1998) yang ”gong”-nya dilakukan Nurcholish Madjid (Ketua Umum PB HMI ketika itu) dengan menyampaikan pidatonya dengan topik ”Keharusan Pembaruan Pemikiran dalam Islam dan Masalah Integrasi Umat” tahun 1970 di Taman Ismail Marzuki. Kelima, zaman reformasi (1998 – sekarang). Zaman ini dibagi dalam fase reformasi (1998-2000) dan fase tantangan II (2000-sekarang). Dalam fase tantangan II HMI dituntut dapat terus eksis meskipun alumninya banyak tertimpa musibah dan HMI digerogoti berbagai macam permasalahan termasuk konflik internal yang ditingkat PB HMI sempat menimbulkan dua kali dualisme kepemimpinan. [15]
Dalam mengenali kesejarahan HMI misalkan juga ditampilkan dalam pendekatan ‘gelombang’ atau karakteristik utama dari tahun-tahun kesejarahan HMI.[16] Dalam perspektif kesejarahan ini, tahun 1947-1960an merupakan era ‘gelombang heroisme’ yang ditandai dengan keseluruhan gerak HMI yang diabdikan ke dalam perjuangan untuk mempertahankan eksistensi negara sekaligus eksistensi HMI dari segala hal yang berupaya menggugat dan menghancurkannya. Pada masa ini, HMI dihadapkan pada upaya pendudukan kembali penjajah Belanda, perpecahan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan penyebaran faham komunisme oleh Partai Komunis Indonesia. Gelombang berikutnya adalah intelektualisme. Gelombang ini dihasrati oleh gairah mewujudkan kontribusi HMI, ber-itjihad, atas kemandekan berpikir dalam tradisi Islam di Indonesia. Gelombang ini mulai muncul tahun 1960-an akhir hingga tahun 1980-an dan memunculkan gelombang pembaruan pemikiran Islam yang sangat menonjol dengan icon utamanya Nurcholish Madjid (alm).

Meski gelombang intelektualisme ini terus berkembang dan bermetamorfosa di luar HMI, namun di dalam HMI, gelombang ini segera digantikan dengan ‘gelombang politisme’. Gelombang politisme mengusung dominasi logika kekuasaan dan mainstream berpikir politis dalam tubuh dan aktivis HMI. Gelombang ini diawali dengan pemaksaan asas tunggal oleh penguasa Orde Baru pada tahun 1980-an awal. Logika kekuasaan tersebut membekas sangat kuat, karena “memaksa” HMI untuk lebih erat dengan kekuasaan negara. Akibatnya, HMI larut dalam logika kekuasaan tersebut dan menghantarkan HMI pada gelombang berikutnya, yaitu ‘gelombang beku’ (freezed) di akhir tahun 1990-an hingga saat ini. Gelombang beku ditandai dengan tampilnya generasi aktivis HMI yang memitoskan generasi sebelumnya, berlindung dan menuai keberkatan dari kebesaran generasi sebelumnya. Maka jangan heran bila saat ini banyak kader yang cenderung berpikir pragmatis, minim inisiatif, dan miskin kreatifitas. Dengan demikian menjadi wajar apabila generasi ini juga mudah larut dalam agenda politik pihak eksternal dan berkonflik di internal ketimbang menjunjung tinggi persatuan dan program membangun HMI. Gelombang beku merupakan titik nadir dari produk gelombang politisme.

HMI telah mengakumulasi fakta-fakta sosial dan pengetahuan dalam dirinya selama 60 tahun. Fakta-fakta sosial dan pengetahuan tersebut –-dalam perspektif arkeologi pengetahuan Michel Foucault— membentuk suatu sistem pengetahuan tersendiri melalui proses diskursif yang rumit dimana terdapat proses seleksi, distribusi, dan sirkulasi wacana di dalamnya. Dalam proses diskursif tersebut terdapat fakta-fakta sosial dan pengetahuan yang dapat terus eksis, bahkan muncul sebagai “pemenang” dan menjadi ‘arus utama’ namun juga ada fakta-fakta sosial dan pengetahuan yang jadi “pecundang” dan terpinggirkan. Oleh karena itu, dalam wacana keagamaan di HMI misalnya, berkembang beragam wacana. Namun proses diskursif nampaknya memenangkan wacana keagamaan yang berwatak modern-moderat-inklusif dan wacana keagamaan lain seperti yang tradisional-radikal-eksklusif menjadi pecundang. Proses diskursif juga nampaknya kini telah memenangkan kerangka berpikir political oriented dan menyisihkan kerangka berpikir berorientasi keilmuan dan profesi. Kemudian, dalam political oriented, yang dominan bukan yang mengedepankan pengaruh atau politik kebudayaan melainkan yang mengedepankan jabatan politik atau politik struktural.[17]
Pemaparan beberapa perspektif dalam mengenali sejarah HMI di atas menjelaskan beberapa hal. Pertama, HMI telah berhasil meletakkan dirinya dalam kanvas kesejarahan Indonesia dan umat Islam di Indonesia sehingga menjadi bagian yang tak terpisahkan dari sejarah Indonesia dan umat Islam di Indonesia. Hal ini tentu saja disebabkan karena sikap HMI yang memandang Indonesia dan Islam sebagai satu kesatuan integratif yang tidak perlu dipertentangkan.[18] Kedua, karakteristik perilaku interaksi HMI dengan umat dan bangsa Indonesia sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial-politik yang terjadi pada umat dan bangsa, utamanya dalam konteks bernegara. Ketiga, dalam interaksinya tersebut, HMI coba bersikap kooperatif terhadap arus dominan dengan tetap menjaga identitas dirinya yang pokok. Keempat, sejarah HMI adalah sejarah panjang yang didalamnya terdapat dinamika internal HMI yang sangat dinamis, kaya, dan rumit. Sehingga corak dominan yang tampil pada merupakan produk seleksi wacana yang bersifat temporer dan akan segera digantikan oleh corak yang lain apabila tidak ”pintar” mempertahankan diri di tengah pertarungan wacana yang dinamis, kaya, dan rumit tersebut.@

Foot Note :
[1] Agussalim Sitompul, Sejarah Perjuangan HMI (Th 1947-1975), Penerbit Bina Ilmu, Surabaya, 1976, hal 13.
[2] MC Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 cet II, penerjemah Satrio Wahono dkk, Serambi, Jakarta, 2005, hal 28.
[3] Sebagian pemikiran-pemikiran dari tulisan mereka dapat dibaca dalam Nurcholish Madjid (editor), Khazanah Intelektual Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1994.
[4] Karena telah mapan, maka tanda-tanda kemundurannya sudah mulai nampak. Ajaran Islam yang telah mapan tersebut masuk melalui daerah pantai yang merupakan pusat perdagangan. Namun demikian, Islam di Jawa baru berkembang setelah jatuhnya Majapahit pada tahun 1478 (berdiri 1294 M), hampir bersamaan dengan jatuhnya Malaka ke tangan Portugis pada tahun 1511. Malaka ketika itu merupakan pelabuhan dan pusat perdagangan besar yang dikuasai Islam. Dengan demikian, Islam (terutama di Jawa) baru dapat berkembang di bumi nusantara justru ketika dunia Islam mulai kehilangan dominasi peradabannya di dunia global.
[5] Dalam Prakata pertama buku tersebut, 1981, Ricklefs menulis, ”Dalam pandangan saya, periode sejak tahun ±1300 telah menjadi unit sejarah yang padu, yang dalam buku ini disebut Sejarah Indonesia Modern.” Op. Cit., hal 14. Perlu diketahui bahwa versi awal buku ini memang mencantumkan periode sejarah Indonesia modern dimulai tahun ±1300, sebelum kemudian direvisi pada edisi ketiga tahun 2001 setelah ditemukannya nisan Sultan Sulaiman bin Abdullah bin al-Basir yang wafat tahun 608 H/1211 M. Di bagian I buku tersebut, Ricklefs memberikan judul ‘Lahirnya Zaman Modern’.
[6] MC Ricklefs, Ibid, hal 81.
[7] Kondisi ini menyebabkan Islam tidak memiliki momentum yang cukup untuk mengembangkan peradabannya di bumi nusantara.
[8] Dinamika internal yang dimaksud adalah konflik kekuasaan (suksesi kepemimpinan) diinternal kerajaan dan persaingan diantara kerajaan-kerajaan tersebut yang kemudian membuat diantara mereka harus bersekutu dengan VOC untuk memperoleh bantuan. Contoh paling nyata dalam hal ini adalah persaingan antara Ternate dan Tidore yang menyebabkan keduanya pernah bersekutu dengan VOC untuk menaklukkan saingannya. Jadi, dalam hal ini konflik internal bersifat kontraproduktif.
[9] Menurut Nurcholish Madjid, pengabdian yang dicurahkan untuk berjuang melawan orang-orang Barat (selain Belanda, muslim di bumi nusantara juga pernah berhadapan dengan Portugis dan Inggris –penulis) yang muncul dalam semangat antikolonialisme dan antiimperialisme. Hampir semua pemberontakan dipimpin oleh ulama atau sultan. Tetapi, harga yang kemudian harus ditebus ternyata luar biasa mahal. Yaitu, bahwa umat Islam Indonesia selama ratusan tahun terbiasa hanya berpikir reaktif dan bersikap fight against, yakni berjuang untuk melawan, melawan, dan melawan, karena memang kondisinya seperti itu. Inilah yang menyebabkan mengapa umat Islam sampai sekarang masih relatif belum sampai kepada sikap fight for (pro aktif, membangun –penulis). Tentu, ada beberapa pengecualian. Misalnya, mereka yang berusaha membangun ekonomi. Nurcholish memandang hal ini sebagai salah satu faktor yang membuat umat Islam di Indonesia belum sempat menciptakan peradaban yang berarti karena persoalan-persoalan yang menyerap hamper seluruh energi tersebut. Lihat, Budhy Munawar-Rachman, Ensiklopedi Nurcholish Madjid: Pemikiran Islam di Kanvas Peradaban, Jakarta, Mizan, 2006, hal 1198-1200.
[10] Itu pun dengan catatan bahwa pendidikan sebagai buah politik etis pada umumnya hanya dapat dinikmati oleh kalangan pribumi-priyayi (bangsawan).
[11] George Mc Turnan Kahin, Refleksi Pergumulan Lahirnya Republik Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia (Nationalism and Revolution in Indonesia), Penerjemah Nik Bakdi Soemanto, Pustaka Sinar Harapan dan UNS-Press, Solo, 1995, hal 59.
[12] Ibid, Hal 58
[13] Peran agama Islam dalam menumbuhkan nasionalisme Indonesia akhirnya mengejawantah ke dalam pergerakan kebangsaan Indonesia pertama yang kuat, yaitu Sarekat Islam. Ibid, hal 64.
[14] Lihat Yudi Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Intelegensia Muslim Indonesia Abad XX, Mizan, Bandung, 2005.
[15] Lihat, Prof. Dr. H. Agussalim Sitompul, Mendiagnosa Lima Zaman Perjalanan HMI (Suatu Tinjauan Historis dan Kritis Fase-Fase Perjuangan HMI), makalah LK II HMI Cabang Tanjung Pinang Kepulauan Riau,Tanjung Pinang , 14 Maret 2007. Uraian lebih lengkap dapat dilihat dalam Agussalim Sitompul, Historiografi HMI Tahun 1947-1993, Penerbit Intermasa, Jakarta, 1995.
[16] Pendekatan gelombang ini tidak begitu jelas siapa yang pertama kali melontarkan. Secara teks, penulis menemukan pendekatan gelombang ini dalam tulisan Zulfikar Arse Sadikin, Membangun Gelombang Baru HMI: Epistemic Community, Centre of Zulfikar Information, Yogyakarta, 2006; dan dalam teks Pidato Ketua Umum PB HMI pada Dies Natalis HMI ke-60 M, 5 Februari 2007.
[17] Perspektif gelombang sejarah HMI dan penggunaan metode arkeologi pengetahuan dalam membaca sejarah HMI dapat dilihat di Pidato Ketua Umum PB HMI pada Dies Natalis HMI ke-60, 5 Februari 2007. Pendekatan arkeologi pengetahuan juga digunakan dalam penjelasan tema Kongres XXV HMI Februari 2006 di Makassar.
[18] Pandangan ini harus dipertahankan disamping karena faktor kesejarahan sebagaimana dipaparkan di atas, melainkan juga karena kita harus waspada terhadap upaya yang hendak memperkecil arti kehadiran Islam di Indonesia yang merupakan praktek kaum penjajah (Kristen). Di kalangan penginjil Kristen di Indonesia, menurut Karel Steenbrink sebagaimana dikutip Nurcholish Madjid, menerapkan strategi memisahkan Islam dari orang Jawa khususnya dan orang Indonesia umumnya, dengan membangun gambaran seolah-olah Islam di Jawa dan di Indonesia ini tidak ada artinya, dan seolah-olah budaya Jawa dan budaya asli Indonesia lainnya adalah lebih penting. Dengan kata lain, strategi mereka ialah menekankan pemisahan antara keduanya itu dan menegaskan kenyataan bahwa Islam bukanlah aspek yang esensial dalam budaya Jawa. Lihat Budhy Munawar-Rachman, Op. Cit., hal 1193-1195.

BPL HMI Cabang Pontianak

{facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google-plus#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget