Latest Post


Berikut ini merupakan sekilas kisah perjalanan Ketua Umum PB HMI dari awal berdirinya HmI  pada 05 Februari 1947 hingga 2018. 

1947: Lafran Pane. la dikenal sebagai salah satu pendiri HMI. Namun, bagi mayoritas anggota HMI, ia dianggap sebagai pendiri satu-satunya. la adalah alumnus Sekolah Tinggi Islam (STI) Yogyakarta yang kini menjadi Universitas Islam Indonesia (UII).

Pekerjaan terakhirnya adalah Staf Pengajar Ilmu Hukum Tata Negara di IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. (HMI) berdiri pada tangga) 5 Februari 1947 di Yogyakarta, salah satu Kota Perjuangan kala itu.

1947-1948: HMS (Haji Mohammad Syafa’at)
 Mintareja. pada mulanya ditunjuk Lafran Pane sebagai Ketua HM) 6 bulan setelah HMI berdiri. Pada Kongres ke-1 di Yogyakarta _ pada tanggal 30 November 1947, Mintaredja dikukuhkan menjadi Ketua PB HMI untuk periode 1947 sampai 1951. Namun saat terjadi agresi militer Belanda u, ia keluar dari Yogja dan kembali menyerahkan jabatan kepada Lafran Pane

1948-1949: Achmad Tirtosudiro.
 la sempat kuHah di UGM Jurusan Hmu Hukum. Ia terpilih sebagai Ketua PB HMI tahun 1948 hingga tahun 1949. Namun akhirnya, ia memiiih berkarier di bidang militer dengan pangkat terakhir Letnan Jenderal. la banyak berperan pada masa pendirian Ikatan Cendekiawan Muslim lndohesia (ICMI) yang memberikan pertindungan poIitik kepada Prof. Dr. BJ. Habibie.

1950-1951: Lukman EI-Hakim. 
Ia terpilih sebagai Ketua PB HMI sete1ah Achmad Titosudiro mengundurkan diri dari jabatan. Mengingat sejumlah kasus pengunduran diri dari ketua-ketua PB HMI Iainnya dI Yogyakarta, Lukman melakukan upaya pemindahan sekretariat PB HMI dari Yogyakarta ke Jakarta pada bulan Juni 1950, Usaha Itu membuahkan hasil, mengingat Jakarta adalah ibukota Republik Indonesia.

2. 1951-1953: Ahmad Dahlan Ranuwiharja.
 Pada Kongres ke~2 di Yogyakarta pada tanggaI 15 Desember 1951, peserta memiIihnya sebagai Ketua Umum HMI periode/1951-1953. Di bawah kepengurusan Dahlan, HMI mulai eksis meski sering mengritik pemerintahan Presiden Soekamo saat Itu. Dahlan dikenal sebagai tokoh Islam nasionalis, Ia dianggap sukses mempertahankan posisi HMI pada masa penuh gejolak saat itu, dalam waktu yang sesuai AD/ART, yakni dua tahun kepengurusan.

3. 1953-1955: DeIiar Nooer. Ia aktif di HMI pada tahun 1950 sebagai Ketua Umum HMI Cabang Jakarta. Ia terpilih sebagai Ketua Umum PB HMI daIam Kongres ke~3 yang pertama kaIinya digelar di Jakarta pada tanggaI 4 September 1953.. Sebagai alumni alumni universitas NasionaI, Jakarta, Ia dikenaI sebagai tokoh Islam yang kritis dan sederhana. Ia tercatat sebagai orang Indonesia pertama yang memperoIeh gelar Ph.D daIam bidang IImu Politik.

4. 1955-1957: Amin Rajah Batubara. la dikenal sebagai salah satu anggota Tim Perumus Tafsir Asas HMI. Amin terpilih dalam.Kongres ke -4 ri Bandung pada tanggal 14 Oktober 1955.

5. 1957-1960: Ismail Hasan Matareum. Ia menjadi Ketua PB HMI pertama dengan masa Jabatan tiga tahun. Ia terpilih pada Kongres ke-5 di Medan pada tanggal 31 Desember 1957. Kelak, dia menjadi Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dengan masa jabatan cukup lama yakni 1989-1998. Ismail juga terpilih menjadi Wakil Ketua DPR/MPR.

6. 1960-1963: Nursal. la terpilih pada Kongres ke-6 dl Makassar pada tanggal 20 Juli 1960.

7. 1963-1966: Sulastomo. Saat Kongres ke~7 digelar kemball dl Jakarta pada tanggal 14 September 1963, la terpilih menjadl Ketua Umum PB HMI. la berasal darI Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan Ketua HMI cabang Jakarta. la adalah tokoh HMI , yang banyak berhadapan dengan Central Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI). Ia menghadapl masa-masa yang sulit, di tengah upaya pembubaran HMI.

8. 1966-1969 dan 1969-1971 Nurcholis Madjid. la menjadi satu-satunya Ketua Umum PB HMI selama dua periode. la pertama kali terpilih saat Kongres ke-8 dl Solo pada tanggal 17 September 1966. Alumni Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Jakarta Ini terpilih lagl pada Kongres ke-9 di Malang pada tanggal 10 Mei 1969. Alm. Nurcholish Madjld bukan saja dikenal sebagal mantan Ketua PB l-IMI, tetapl dikenang sebagai pemikir Islam terbalk yang pernah dimiliki Indonesia.

9. 1971-1974: Akbar Tanjung. Pada saat Kongres ke~10 dl Palembang pada tanggal 10 Oktober 1971, la terpillh menjadi Ketua Umum PB HMI ke-10 versi kongres (mengingat Nurcholis Madjid terpllih dua periode) atau ke-14 sejak Lafran Pane. Alumni Fakultas Teknik Universitas Indonesia ini dikenal sebagai tokoh senior Partai Golkar. la pernah menjabat sebagai‘ Ketua Komite Naslonal Pemuda Indonesia (KNPI), sejumlah jabatan menteri Era Presiden Soeharto dan Presiden Prof. Dr. BJ. Habibie, serta Ketua DPR RI.

10. 1974-1976: Ridwan Saidi. la terpilih dalam Kongres ke-11 di Bogor pada tanggal 12 Mei 1974. la tidak menyelesaikan pendidikan di Fakultas Publisistik Universitas Padjajaran, Bandung. Lulus sebagai sarjana Fakultas Hukum dan Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan Universitas Indonesia. la pernah menjadi anggota DPR RI dari PPP. la dikenal sebagai tokoh Betawi dan pengamat politik nasional hingga kini.

11. 1976-1978: Chumaidi Syarif Romas. Ia terpilih pada Kongres ke-12 di Semarang pada tanggal 16 Oktober 1976. Dosen Universitas Islam Negeri Yogyakarta itu kini menjabat salah satu komisioner Angkutan Sungai Danau dan Penyeberangan, perusahaan Negara di bawah Kementerian Badan Usaha Milik Negara.

12. 1978-1981: Abdullah Hehamahua, la menjadi Ketua Umum PB HMI pada Kongres ke~13 di Makassar (Ujungpandang) pada tanggal 12 Februari 1979. la menyelesaikan Sarjana Hukum di Universitas Khrisna Diwipayana pada tahun 2008. Belakangan namanya lebih dikenal sebagai Mantan/Anggota Dewan Penasehat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Kesederhanaan adalah ciri dan hidupnya, selain juga sikap keterus~terangan dalam bersikap dan berpendapat.

13. 1981-1983: Achmad Zacky Siradj. la memimpin HMI setelah terpilih pada Kongres Isa-14 di Bandung pada tanggal 30 Apri' 1981. Kini Zacky menjadi Anggota DPR RI 2014-2019 dari Fraksi Partai Golkar dapil Jabar XI Sama dengan Hehamahua, ia menyelesaikan pendidikan sarjana dl Universitas Khrisna Dwipayana pada tahun 1989.

14. 1983-4986: Harry Azhar Azis. Pada Kongres HMI ke-16 di Medan tanggal 26 Mei 1983, ia terpilih sebagai Ketua Umum PB HMI. Sarjana muda Akademi Pimpinan Perusahaan (APP) Kementerian Perindustrian dan sarjana ekonomi Sekolah Tinggi Manajemen Industri (STMI) ini adalah tokoh sentral dalam pergulatan HMI menghadapi asas tunggal Pancasila. Ia sempat menjadi anggota DPR RI selama dua periode (2004-2014). Penyandang gelar PhD dari Oklahoma University inl menjabat sebagai Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI periode 2014-2019.

Dualisme Kepemimpinan

1. 1986-1988: Muhammad Saleh Khalid. Pada Kongres ke-l6 di Padang tahun 1986, ia terpilih sebagai Ketua Umum PB HMI Alumnus Fakultas Pertanian IPB yang bergelar lnsinyur ini sudah menyelesaikan jenjang pendidikan Magister. Untuk pertama kali dalam kongres ini, PB HMI terpecah menjadi dua, yakni HMI Diponegoro (Dipo) dan HMI Majelis Penyelamatan Organisasi (MPO). Hal itu terjadi akibat Kongres HMI mengesahkan penerimaan Pancasila sebagai asas organisasi.

HMI MPO menggelar Kongres ke-16 di Yogyakarta dengan Ketua Umum terpilih Eggy Sudjana (1986-1988). la menjadi Doktor dari IPB dalam bidang Lingkungan Hidup, pengacara, pendiri dan Ketum Partai Pemersatu Bangsa (PPB).

2: 1988-1990: Herman Widyananda. la terpilih sebagai Ketua Umum PB HMI dalam Kongres ke-17 di Lhokseumawe, Aceh, 6 Juli 1988. Dalam Kongres ke~17 di Yogyakarta pada tanggal 5 Juli 1988, HMI MPO memilih Ketua Umum Tamsil Linrung (1984-1990), pernah menjadi anggota DPR RI dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Direktur Sekolah lnsan Cendekia Madani (lCM) Serpong, Duta Pendidikan Rabithah Alam lslami.

3. 1990-1992: Ferry Mursidan Baldan. Tokoh yang kini menjadi Menteri Pertanahan dan Kepala Badan Pertanahan Nasionai (BPN) adalah Ketua Umum PB HMI yang terpiiih pada Kongres ke~13 di Jakarta, 24 September 1990. la sempat beberapa kali menjadi anggota DPR RI dari Partai Golkar. Perseilisihan poiitik membuat Ferry berpindah menjadi politikus Partai Nasdem. ia dikenai sebagai tokoh panting dibalik Iahirnya sejumlah Undang-Undang tentang partai politik, pemilu, pemerintahan daerah dan otonomi khusus.

Pada tanggal 10 Oktober 1990, HMI (MPO) mengadakan kongres dengan memiiih Masyhudi Muqarrabin sebagai Ketua Umum PB HMI (MPO) periode 1990-1992, Doktor dari Universitas Kebangsaan Malaysia dalam bidang ilmu Ekonomi, pengajar FE Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

4. 1992-1995: M. Yahya Zaini. Sarjana hukum dari Fakultas Hukum Universitas Airlangga ini terpiiih sebagai Ketua Umum PB HMi pada Kongres ke-19 di Pekanbaru, Riau, pada 9 Desember 1992. la sempat menjadi staf khusus Menteri Pemuda dan Oiahraga, Akbar Tanjung. Ia mundur dari DPR RI dan Partai Golkar pada tahun 2006.

Pada tanggai 24 Desember 1992, terpilih Ketua Umum PB HMI (MPO) Agusprie Muhammad periode 1992-1995. la menjadi konsultan teknik di Jakarta.

5. 1995-1997: Taufiq Hidayat. la terpilih dalam Kongres ke-20 di Surabaya pada tanggai 29 Januari 1995. Alumni Universitas Negeri Jember itu pernah menjadi anggota DPR RI periode 2009-2014 dari Partai Golkar mewakili Jawa Timur.

Sementara, Ketua Umum PB HMI MPO periode ini adalah Lukman Hakim Hassan periode 1995-1997. Doktor dari Universitas Kebangsaan Malaysia dalam bldang llmu Ekonomi, Wakil Dekan lll FE Universltas Negeri Sebelas Marat Solo, dan Ketua Umum Barisan Nusantara.

5. 1997-1999: Anas Urbaningrum. Sempat harum namanya saat terpilih menjadi Ketua Umum Partai Demokrat dalam usia masih di bawah 40 tahun. Alumni Universitas Airlangga itu terpilih menjadi Ketua Umum PB HMl pada Kongres ke-21 di Yogyakarta pada 26 Agustus 1997. Kini tokoh yang terlibat dalam perubahan paket Undang-Undang bidang politik itu sudah lengser sebagai Ketua Umum Partai Demokrat.

Imron Fadhil Syam adalah Ketua Umum PB HMI MPO periode 1995-1997. la pernah kuliah di Fakultas Ushuluddin lAlN Syarif Hidayatullah Jakarta, aktif dalam sejumlah lembaga konsultan pengembangan komunltas.

7. 1999-2002: M. Fakhruddin. la terpilih memimpin HMI pada Kongres ke~22 di Jambi pada 3 Desember 1999. Pada kongres itu, PB HMI yang dikenal sebagai HMI (Dipo), mengembalikan asas organisasi kepada lslam, menggantikan Pancasila. Ia pemah menjadi Sekjen KNPI dan Wasekjen Partai Demokrat.

Walau HMI (Dipo) sudah kembali ke asas Islam, HMI (MPO) tetap menjalankan Kongres. Ketua Umum PB HMI (MPO) periode ini adalah Yusuf Hidayat periode 1999-2001. Doktor dari UlN Syarif Hidayatullah Jakarta dalam bidang Hukum Islam, kini Kepala Penelitian Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia, Jakarta.

Pada tanggal 25 Juli 2001, Yusuf diganrikan oleh Morteza Syafinuddin Al-Mandary sebagai Ketua Umum PB HMI (Mp0) periode 2001-2003. Morteza berasal dari Universitas Tjokroaminoto, Makassar. Doktor dari Universitas Ondonesia dalam bidang Hmu Lingkungan, sekarang adalah pengajar di Universitas Paramadina Jakarta dan Sekjen Lajnah Tanfidziyah/ Pengurus Pusat Syarikat Islam (2015-2020).

8. 2002-2004: Kholis Malik. Ia terpilih menjadi Ketua Umum PB HMI pada Kongres ke-23 di Balikpapan, pada 30 April 2002. Kholis berasal dari HMI Cabang Yogyakarta. Sarjana ilmu sejarah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini sempat digantikan oleh Mukhlis Tapi sebagai Pejabat

Sementara, dari HMI MPO, terpilih sebagai Ketua Umum PB HMI (MPO) Cahyo Pamungkasperiode 2003-2005 dalam Kongres ke-24 di Semarang. Cahyo adalah Sarjana Ekonomi dari Fakuttas Ekonomi Universitas Gajah Mada dan peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Doktor di Radboud Universiteit Nijmegen Belanda dalam bidang Ilmu Sosial, sekarang masih aktif sebagai peneliti LIPI.

9. 2004-2006: Hasanuddin. la dipilih sebagai Ketua ‘Umum PB HMI dalam Kongres ke-24 di Jakarta pada 23 Oktober 2003. la sempat digantikan oleh Syahmud NgabaIin dalam konflik kepengurusan; namun berhasil menyelesaikan periodesasinya.

Ketum HMI MPO adalah Muzakkir Djabir (2005-2007), alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia Timur, Makassar, kini adalah Pemred Jurnal Cendekia, C2ReDI.

10. 2006-2008: Fajar Zulkarnain. la terpilih menjadi Ketua Umum PB HMI periode 2006-2008 pada Kongres ke~25 di Makassar, pada 20 Februari 2006. la sempat menjadi Komisaris Badan Usaha Milik Negara pada masa pemerintahan Presiden SBY: la adalah alumnus Fakultas Matematika dan llmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Padjajaran.

Ketua Umum PB HMl (MPO) adalah Syahrul Effendy Dasopa untuk periode 2007-2009. Syahrul muncul namanya pada Kongres ke-26 di Palembang, dalam upaya islah HMI (Dipo) dan HMI (MPO). la bersama Fadjar membacakan naskah islah. Syahrul adalah alumni Perguruan Tinggi llmu Qur’an (PTIQ) Jakarta, kolumnis dan Redaktur pada Jurnal Ekonomika, Direktur Indonesia Reform Institute.

11. 2008-2010: Arip Mustofa. la terpilih pada Kongres ke-26 di Palembang pada 28 Juli 2008. Dalam Kongres HMI kali ini dibacakan komitmen islah oleh Ketua Umum PB HMI (Dipo) 2006-2008 Fajar R Zulkarnaen dan Ketua Umum PB HMI MPO (2007-2009), Syahrul Effendy Dasopa. Pembacaan disaksikan Wakil Presiden HM Jusuf Kalla (1K) dan mantan Ketua DPR Rl Akbar Tandjung.

Namun pada 9 Juni 2009 HMI (MPO) tetap menggelar kongres di Yogyakarta dan memilih Muhammad Chozin Amirullah sebagai Ketua Umum PB HMI (MPO) periode 2009-2011. la adalah alumni Fakultas Pertanian Universitas Gajah Mada. Gelar magister diperolehnya dari Ohio State University, Amerika Serikat. la adalah staf khusus Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Anies Baswedan Ph.D yang juga berasal dari HMI MPO.

12. 2010-2013: Noer Fajriansyah terpilih menjadi Ketua Umum PB HMI pada Kongres ke-27 di Depok tanggal 5 ~ 10 November 2010. Alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia, kini menjabat sebagai Direktur PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI).

Pada tanggal 14 -19 Juni 2011, dalam kongres yang digelar, di Pekanbaru, Riau, Alto Makmuralto terpilih sebagai Ketua Umum PB HMI (MPO) periode 2011-2013. Ia adalah mahasiswa Teknik Informatika Universitas Muslimin Indonesia, Makassar. Ia adalah penulis dan pendiri sekaligus Direktur Penerbit Liblitera Institute, penulis novel terpilih dalam Workshop Penulisan Novel Majelis Satra Asia Tenggara, 2011.

13. 2013-2015: M. Arief Rosyid. Dokter gigi lulusan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hassanudln ini menang telak dalam pemilihan Ketua Umum PB HMI pada Kongres ke-28 dl Gedung Olahraga Remaja (GOR) Ragunan, Jakarta Selatan, pada 15 Maret-15 April 2013.

Pada tahun yang sama, HMI (MPO) menggelar kongres ke 29 di Bogor pada tanggal 26 Juni hingga 1 Juli 2013. Kongres memilih alumni Fakultas Ekonoml Universltas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Puji Hartoyo sebagai Ketua Umum PB HMI (MPO) periode 2013-2015.

14. 2015-2017: Mulyadi P Tamsir. Setelah 13 hari berkongres ke-19 di GOR Pekanbaru 22-26 November 2015, la terpllih sebagai Ketua Umum PB HMI. Selain alumnus Universitas Kuala Kapuas. Kalimantan Barat, la juga menamatkan pendidikan Magister di Universitas Trisakti, Ia sempat menjadi Sekjen PB HMI periode 2013-2015. Mulyadi menang melalui pemilihan gelombang kedua.

Pada tanggal 19 November 2015, Muhammad Fauzi terpilih sebagai Ketua Umum HMI (MPO) dalam kongres yang digelar di Tangerang, Provinsi Banten. la berasal dari HMI MPO Cabang Makassar. Fauzi masih mahasiswa pascasarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia.[]

15. 2018-2020: Respiratori Saddam Al Jihad, terpilih sebagai Ketua Umum PB HMI melalui kongres ke-30 di Ambon. Sadam merupakan kader HMI asal Universitas Padjajaran Jatinangor. Pendidikan: S1-Ilmu Pemerintahan Unpad, S2-Ilmu Kesejahteraan Sosial UI, S3-Ilmu Pemerintahan IPDN. Dalam perjalanannya, Respiratori Saddam Al Jihad 


Sementara untuk HMI-MPO, terpilih Zuhad Aji Firmantoro pada Kongres ke 30 di Sorong Jayapura. Zuhad adalah kader HMI Cabang Yogyakarta.

HmI sebagai organisasi pelopor umat dan bangsa telah banyak melewati masa hingga sampailah pada situasi dan kondisi saat ini. Bisa kita lihat realitas dan harapan idea Himpunan terjadi kesenjangan yang begitu jauh. Ada anggapan bahwa degredasi organisasi saat ini dikarenakan lemah nya kemampuan anggota untuk berjuang menjadi Himpunan. Ada juga yang beranggapan hal ini dikarenakan matinya fungsi perkaderan. Muara dari semua nya ialah hilang nya arah, tersesat nya kader hingga tak tahu untuk apa HMI ini ada. 

Nurcholish Madjid atau biasanya dipanggil Cak Nur, merupakan Ketua Umum PB HMI 1967-1969 pernah mengutarakan peringatan keras untuk kader HMI hingga Cak Nur bahkan sampai berkata untuk Bubarkan HMI karena  kemerosotan akhlak anggota hingga menjadikan HMI sebagai organisasi mahasiswa terbesar menjadi alat perjuangan kepentingan pribadi maupun kelompok.

Berikut ini juga merupakan dokumentasi DR. H. Agussalim Sitompul tentang peringatan keras Cak Nur. Peringatan ini harapan bisa menjadi suatu alat untuk anggota mampu introspeksi diri, untuk apa sebenarnya mereka berHMI. Harapan HMI bisa kembali menegakkan tujuan adanya HMI dan menghentikan dosa jariah yang selama ini kita lakukan untuk kebaikan bersama. Mari bersama kita renungkan dan tegakan pada diri, tegakan kebenaran dan berbuat kebaikan. 


Peringatan Keras
Prof. Dr. H. Nurcholish Madjid Kepada HMI !!!

Mantan Ketua Umum PB HMI dua Periode 1966 - 1971 Prof. Dr. H. Nurcholish Madjid, ketika pertemuan silahturahmi yang dihadiri wakil dari HMI Cabnag Ciputat, Bogor dan Depok di SMU Madaniyah Parung Bogor hari sabtu 20 April 2002, jam 13.00 - 14.00 yang dihadiri antara lain alumni HMI Drs. Ahmad Sanusi. Pertemuan itu dipimpin oleh Dr. Wahyu Nafis, telah menyampaikan beberapa hal :
  1. Sekarang ini HMI sedang terjebak oleh keberhasilannya sendiri. Hal ini terjadi karena organisasi mahasiswa yang masih bertahan saat ini tinggal HMI.
  2. Masalah akhlak, moralitas di kalangan anggota HMI, aktivitas dan pengurus HMI mengalami degredasi dan kemerosotan yang sangat memprihatinkan. Padahal HMI didirikan Lafran Pane yang sangat sholeh, sederhana dan tawaddu', yang semestinya menjadi panutan seluruh aktivis, anggota, kader, pengurus dan alumni HMI.
  3. Berbicara tentang HMI seperti miniatur Indonesia. Sehingga aapa yang dialami negara dan bangsa Indonesia saat ini seperti KKN, dialami juga oleh HMI, karena banyak kader dan alumni HMI yang menguasai pemerintahan di Indonesia.
  4. Perbuatan jelek yang dilakukan beberapa kader, anggota dan alumni HMI, akan mengenal dan membawa akibat kepada semua kader HMI, termasuk kader yang baik dan alumni HMI.
  5. Kalau HMI tidak bisa mengubah dan dan memperbaiki dirinya, maka HMI akan menjadi organisasi yang dilaknat Allah SWT, oleh karena itu HMI lebih baik bubar.
  6. Main duit atau money politik dalam pemilihan Ketua Umum HMI, baik tingkat cabang maupun di tingkat PB HMI banyak terjadi hingga saat ini. Padahal orang yang menyogok (Kandidat Ketua Umum dan para pendukungnya), dan yang disogok (Komisariat, Cabang), juga perantara, dosa yang diterima nya sama besar, dan haram hukumnya. Maka dalam pemilihan Ketua Umum PB HMI periode 2002-2004Kongres ke XXIII HmI ini, praktik main duit dan money politic jangan sampai terjadi lagi. Apabila masih terjadi maka HMI akan terus menjadi organisasi yang dilaknat Allah SWT.
  7. Menyikapi soal praktek KKN, HMI harus tegas sikap nya. Bila perlu dalam Kongres ke XXIII ini, HMI menyerukan agar pemerintah mengusut tuntas kasus KKN, termasuk alumni HMI sendiri yang apabila terlibat praktek KKN. 
  8. 9. Memilih pemimpin HMI yang bersih, capable, berintelektual dan kuat adalah sangat mendesak dan penting untuk dilakukan. 
  9. Dalam berbagai kasus yang melanda HMI saat ini, akan membawa akibat sebagai konsekwensi logis antara yang setuju dan yang menolak perubahan. 

Balikpapan, 25 April 2002
Di review oleh: DR. H. Agussalim Sitompul




PENJELASAN RANGKAP ANGGOTA/JABATAN DAN SANKSI

ANGGOTA HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM

I. PENDAHULUAN
Dalam rangka mengatur rangkap anggota/ jabatan maka diperlukan adanya penjelasan khususnya apa yang dijelaskan pada pasal 9 ART HMI tentang rangkap anggota dan rangkap jabatan. Untuk itu adanya penjelasan mengenai hal ini, khususnya apa yang telah digariskan pada pasal 10 ART HMI tentang keanggotaan dan rangkap jabatan.

Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang berstatus sebagai organisasi mahasiswa berfungsi sebagai organisasi kader berperan sebagai sumber insani pembangunan bangsa. Mengantarkan HMI pada kenyataan :
1. Besarnya produk pengkaderan baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif yang tidak seimbang dengan penyediaan lapangan kegiatan/aktifitas.
2. Kecenderungan output yang lebih berorientasi kepada struktur kekuasaan/kepemimpinan dari pada orientasi kegiatan.
3. Timbulnya kecenderungan rangkap anggota pada organisasi lain yang pada gilirannya mengarah pada rangkap jabatan.

Kecenderungan-kecenderungan di atas, pada akhirnya akan berbenturan dengan ketentuan-ketentuan organisasi yang dirasa kurang jelas, kurang memadai dan belum menjawab persoalan secara tuntas, yang mengakibatkan timbulnya masalah-masalah penafsiran produk kelembagaan HMI.

II. PENJELASAN TENTANG RANGKAP ANGGOTA DAN RANGKAP JABATAN

Pasal 9 ART HMI menyebutkan :
a. Dalam keadaan tertentu anggota HMI dapat merangkap menjadi anggota organisasi lain atas persetujuan Pengurus HMI Cabang.
b. Pengurus HMI tidak dibenarkan untuk merangkap jabatan pada organisasi lain sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
c. Ketentuan rangkap jabatan seperti dimaksud pada ayat (b) diatas, diatur dalam ketentuan/peraturan tersendiri
d. Anggota HMI yang mempunyai kedudukan pada organisasi lain di luar HMI harus menyesuaikan tindakan-tindakannya dengan AD/ART dan ketentuan-ketentuan lainnya
1. Pengertian Rangkap Anggota
1.1. Yang dimaksud dengan rangkap anggota adalah seorang anggota HMI yang juga menjadi anggota organisasi lain diluar HMI dalam waktu yang bersamaan.
1.2. Organisasi yang dapat dirangkap adalah :
a. Organisasi sosial kemasyarakatan yang identitas, azas tujuan dan usahanya tidak bertentangan dengan identitas, azas, tujuan dan usaha HMI.
b. Badan-badan lain diluar HMI, seperti instansi lembaga-lembaga pemerintah atau swasta dengan ketentuan-ketentuan tersebut pada point (a).
1.3. Pada prinsipnya rangkap anggota dilarang, kecuali atas persetujuan pengurus HMI Cabang dengan ketentuan-ketentuan tersebut diatas.

2. Pengertian Rangkap Jabatan
2.1 Yang dimaksud dengan rangkap jabatan adalah anggota HMI yang sedang menduduki suatu jabatan struktural kepengurusan pada organisasi lain.
2.2 Jabatan yang dimaksud (2.1) diatas adalah jabatan struktural, bukan jabatan fungsional dan dengan memperhatikan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Jabatan struktural adalah jabatan yang bersifat struktural (hierarchi) seperti; Pengurus Komisariat, Cabang, Pengurus Besar dan semacam Dewan Pimpinan Pusat (DPP), Dewan Pimpinan  Daerah Tingkat I (DPD Tingkat Propinsi), Dewan Pimpinan Cabang dan semacamnya (OKP atau Organisasi Partai Politik). Jabatan fungsionaladalah jabatan tanpa hierarchi vertikal seperti jabatan profesi, jabatan ex officio jabatan yang secara otomatis dimiliki karena jabatan tertentu dengan memperhatikan pertimbangan-pertimbangan organisatoris. Seperti Ketua Senat/ Presiden Mahasiswa, Ketua lembaga penelitian, dan lain-lain.
2.3 Anggota HMI yang tidak menduduki suatu jabatan di struktur kepengurusan / kepemimpinan organisasi atau anggota HMI yang tidak menduduki suatu jabatan di struktur kepengurusan HMI (bukan Pengurus HMI) tetapi menduduki suatu jabatan distruktur/kepemimpinan organisasi atau bdan-badan lain diluar HMI tidak termasuk kategori rangkap jabatan.
2.4 Demikian pula sebaliknya pengurus HMI yang menjadi anggota (bukan pengurus organisasi atau badan-badan lain diluar HMI).

III. SANKSI-SANKSI ATAS RANGKAP ANGGOTA DAN RANGKAP JABATAN

Pasal 10 ART HMI Menyebutkan :
Anggota dapat diskor atau dipecat karena :
a. Bertindak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh HMI
b. Bertindak merugikan atau mencemarkan nama baik HMI

Pasal 5 ayat (b) ART
Anggota telah kehilangan keanggotaannya karena :
a. Telah habis masa keanggotaannya
b. Meninggal dunia
c. Atas permintaan sendiri
d. Menjadi anggota partai politik
e. Diberhentikan atau dipecat

1. Sanksi Rangkap Anggota :
1.1. Anggota HMI yang menjadi anggota organisasi lain dengan persetujuan Pengurus HMI Cabang dengan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan terdahulu tidak dikenakan sanksi.
1.2. Pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan yang dimaksud di atas diberikan peringatan yang berisi saran agar yang bersangkutan memilih salah satu organisasi yang dikehendaki
1.3. Apabila yang bersangkutan tidak mengindahkan peringatan yang diberikan sebanyak-banyaknya tiga kali peringatan, maka kepadanya akan dikenakan sanksi, tuduhan pelanggaran ART HMI dan selanjutnya dapat diskor/dipecat sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku.
1.4. Anggota HMI yang dikenakan skorsing/pemecatan diberikan kesempatan untuk mengadakan pembelaan di dalam forum yang diatur secara tersendiri

2. Sanksi Rangkap Jabatan
2.1. Seorang yang sedang menduduki suatu jabatan distruktur kepengurusan HMI (Pengurus HMI) dalam waktu bersamaan juga menduduki jabatan dalam struktur/kepemimpinan organisasi lain diluar HMI, diberikan peringatan, saran agar yang bersangkutan memilih salah satu jabatan yang dikehendaki
2.2. Apabila yang bersangkutan tidak mengindahkan peringatan yang diberikan kepadanya (sebanyak-banyaknya 3 kali peringatan) kepadanya dapat dikenakan tuduhan melanggar pasal 10 ART HMI, dan selanjutnya dikenakan sanksi skorsing/pemecatan dengan ketentuan yang berlaku.
2.3. Skorsing/pemecatan dikenakan kepada yang bersangkutan atas statusnya sebagai anggota bukan atas kedudukannya sebagai Pengurus.
2.4. Instansi yang berwenang mengeluarkan surat keputusan skorsing/pemecatan adalah Cabang dan Pengurus Besar

3. Akibat Skorsing
3.1. Anggota yang terkena sanksi skorsing/pemecatan harus ditinjau dahulu kedudukannya di dalam kepengurusan HMI
3.2. Peninjauan terhadap kedudukannya di dalam kepengurusan HMI dilakukan oleh :
a. Pengurus Besar HMI apabila yang bersangkutan menduduki jabatan yang ditetapkan oleh/dengan Surat Keputusan Pengurus Besar HMI.
b. Pengurus Cabang, apabila yang bersangkutan menduduki jabatan yang ditetapkan oleh/dengan Surat Keputusan Pengurus Cabang.
c. Sidang Pleno dan/atau Kongres, apabila yang bersangkutan menduduki Pengurus Besar.
3.3. Pengurus HMI yang dikenakan skorsing/pemecatan diberikan kesempatan untuk mengadakan pembelaan diri (ART HMI Pasal 10 ayat c).

IV. PENUTUP
Peraturan ini disusun untuk menjadi pegangan dalam mengambil keputusan. Keputusan dimaksud diambil melalui forum musyawarah untuk mufakat sebagai upaya pertama. Peraturan ini hendaknya dipatuhi secara kreatif dan dinamis serta memperhatikan dan mengutamakan azas kepentingan organisasi HMI.


PEDOMAN LEMBAGA PENGEMBANGAN PROFESI
HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM
Dikutip : Hasil Kongres HmI XXX 2018 di Ambon

PENDAHULUAN

Pada dekade terakhir, kawasan asia pasifik adalah regional yang paling pesat tingkat pertumbuhanya dibandingkan dengan kawasan manapun dan berdasarkan proyeksi dari bank dan bank moneter Internasional dan lembaga asing di percaya. Pada dekade berikutnya, kawasan ini masih merupakan pusat pertumbuhan dunia terbesar dan dapat dilihat dari berbagai indikator perubahan, termasuk Indonesia.

Berbagi perubahan sudah terjadi di Indonesia, perubahan ini tidaklah diperoleh dengan mudah. Kebijaksanaan fudamental dan stabilitas makro, investasi yang menarik, keterbukaan dalam teknologi yang ditujukan dengan perbaikan sikap terhadap teknologi dan jalan menuju alam demokratis yang dikehendaki rakyat sudah merupakan celah, dan bersiap memasuki era industri, menunjukkan sebagai upaya percapaian tujuan pembagunan nasional dimana menjadi kewajiban seluruh Negara RI yang sadar. Dan harus diperjuangkan secara serius terus-menerus dengan terencana.

Namun proses modernisasi dan pembangunan ini bila diteliti lebih dalam, sangatlah mengesankan perubahan aspek-aspek kehidupan masyarakat yang dimotori pertumbuhan ekonomi dengan diiringi oleh perbaikan teknologi dan birokrasi, belumlah mengatasi ketimpangan luas yang sedang berlangsung dalam masyarakat. Diantaranya masih terdapatnya daerah terisolir, desa tertinggal, kantong-kantong kemiskinan pelayanan umum yang sarat dengan permasalahan, ledakan angkatan kerja yang tak teratasi oleh penyedia lapangan kerja yang memunculkan berbagai bentuk social lost dan budaya korup masih merupakan permasalahan stuktural yang sekaligus merupakan tantangan dari dan dalam menuju masyarakat industri modern.

Bagi bangsa Indonesia pada PJP II bermaksud untuk masuk sebagai negara yang tergolong Negara industri, dimana sektor industri menjadi dominan dalam memberikan kontribusi terhadap pendapatan nasional maka kebutuhan terhadap tenaga profesional menjadi suatu keharusan di seluruh sektor dan berbagai wujud dari masyarkat modern.

Sampai saat ini untuk mencetak tenaga-tenaga profesional merupakan tugas dunia pendidikan tinggi. Walapun tugas tersebut sudah dilakukan secara maksimal namun dibandingkan dengan kebutuhan baik secara kuantitas dan lebih-lebih secara kualitas masih belum memenuhi harapan, sehingga tidak aneh bila pada aspek-aspek dan posisi tertentu banyak diisi oleh tenaga profesional asing. Keadaan ini tidak boleh dibiarkan secara terus menerus. Karena itu selain mempertajam orientasi pada perkembangan sains dan teknologi sangat penting menciptakan masyarakat, khususnya yang bergerak di sektor pendidikan atau dalam pengertian lebih luas diarahkan pada penciptaan kelas menengah baru yang terdidik secara profesional.

Itulah sebabnya dalam GBHN 1993 meletakkan political will untuk menjadikan kualitas sumber daya manusia sebagai sasaran utama pembangunan.Dan HMI sebagai organisasi kader yang berbasis keilmuan telah memberikan perhatian pada pembentukan kualitas sumber daya manusia dengan orientasi ‘muslim intelektual profesional sebagai hakekat tujuan organsasi’. Pada saat ini danuntuk ke depan dengan latar diatas, bobot intelektual dan bobot politis generalis perlu penajaman dan kemampuan profesional merupakan keharusan yang harus dimiliki oleh setiap kader, karena itulah lembaga pengembangan profesi yang kehadirannya diperuntukkan menjawab kondisi ke depan, maka perlu dikelola sebagai alternatif pengembangan kader. Untuk itu penciptaan kondisi yang lebih baik pada seluruh perangkat sistem yang ada, perlunya perbaikan struktur yang cocok antara kondisi kemahasiswaan dan keperluan yang ada, untuk diorientasikan pada perkaderan agar lebih dipertajam lagi, kurikulum latihan harus memuat tentang pendidikan profesional/materi yang menyangkut seutuhnya sekaligus membangun kultur masyarkat bersih yang sarat muatan etis dengan menempatkan kembali esensi kepribadian HMI dan latar belakang hadirnya HMI.

SEJARAH LEMBAGA PENGEMBANGAN PROFESI HMI

Terbentuknya lembaga pengembangan profesi sebagai satu dari institusi HMI terjadi pada kongres ke tujuh HMI di Jakarta pada tahun 1963 dengan diputusakannya mendirikan beberapa lembaga khusus (sekarang lembaga pengembangan profesi) dengan pengurus pusatnya ditentukan berdasarkan kuota yang mempunyai potensi terbesar pada jenis aktifitas lembaga pengembangan profesi yang bersangkutan diantaranya :
 Lembaga Kesehatan Mahasiswa Islam (LKMI) dipusatkan di Surabaya
 Lembaga Da’wah mahasiswa Islam (LDMI) yang dipusatkan di Bandung
 Lembaga Pembangunan Mahasiswa Islam (LPMI) pusatnya di
Makassar
 Lembaga Seni Budaya Mahasiswa Islam (LSBMI) pusatnya di Yogyakarta

Dan kondisi politik tahun 60-an berorientasi massa, lembaga pengembangan profesi pun semakin menarik sebagai suatu faktor bagi berkembang pesatnya lembaga pengembangan profesi ditunjukkan dari :
 Adanya hasil penelitian yang menginginkan dipertegasnya status lembaga pengembangan profesi, struktur organisasi dan wewenang lembaga pengembangan profesi
 Keinginan untuk menjadi lembaga pengembangan profesi otonom penuh terhadap organisasi induk HMI

Kemudian sampai pada tahun 1966 diikuti oleh pembentukan Lembaga Teknik Mahasiswa Islam (LTMI), Lembaga Pertanian Mahasiswa Islam (LPMI), Lembaga Astronomi Mahasiswa Islam (LAMI). Akhirnya dengan latar belakang di atas melalui kongres VIII HMI di Solo melahirkan keputusan Kongres dengan memberikan status otonom penuh kepada lembaga pengembangan profesi dengan memberikan hak yang lebih kepada lembaga pengembangan profesi tersebut, antara lain :
a. Mempunyai struktur organisasi yang bersifat nasional dari tingkat pusat sampai rayon
b. Memiliki Pedoman Dasar dan Pedoman Rumah Tangga (PD/PRT) sendiri
c. Membentuk dan mengadakan musyawarah lembaga termasuk memilih pimpinan lembaga

Keputusan-keputusan di atas di satu pihak lebih mengarahkan kepada kegiatan lembaga, namun di lain pihak lebih merugikan organisasi di tingkat induk bahkan justru menimbulkan permasalahan serius. Ini dibuktikan dengan adanya evaluasi pada kongres di Malang pada tahun 1969, dimana kondisi pada saat tersebut lembaga pengembangan profesi sudah cenderung mengarah kepada perkembangan untuk melepaskan diri dari organisasi induknya.

Sehingga dalam evaluasi kongres IX HMI di Malang tahun 1969 antara lain melalui papernya mempertanyakan :
a. Status lembaga dan hubungan dengan organisasi induknya (HMI)
b. Perlu tidaknya penegasan oleh kongres, bahwa lembaga pengembangan profesi adalah bagian mutlak dari HMI misalnya LKMI menjadi LK HMI, LDMI menjadi LD HMI, dsb.

Setelah kongres X di Palembang tahun 1971, perubahan kelembagaan tidak lagi menjadi permasalahan dan perhatian Himpunan. Hal ini mengakibatkan lembaga pengembangan profesi perlahan-lahan mengalami kemunduran dan puncaknya terjadi saat diterbitkannya SK Mendikbud tentang pengaturan kehidupan kemahasiswaan melalui NKK/BKK tahun 1978.

Namun realitas perkembangan organisasi merasakan perlu dihidupkannya kembali, lembaga pengembangan profesi yang dikukuhkan melalui kongres XIII HMI di Ujung Pandang. Kemudian Lembaga Kekaryaan menjadi perhatian/alternatif baru bagi HMI karena gencarnya isu profesionalisme. Melalui kongres XVI di Padang tahun 1986 pendayagunaan Lembaga Kekaryaan kembali dicanangkan.

Setelah melalui sejarah panjang perkembangannya, lembaga pengembangan profesi telah menunjukkan dirinya sebagai wadah alternatif bagi kader HMI untuk mengkader diri selain melalui struktur kepemimpinan. Kini, peran lembaga pengembangan profesi diharapkan makin diperkuat dan dipertajam arahannya dalam meningkatkan profesionalisme di tubuh HMI. Oleh karena itu, melalui Kongres HMI XXV di Makassar tahun 2006 ini peningkatan dan penajaman semangat profesionalisme diiringi dengan perubahan nama Lembaga Kekaryaan menjadi Lembaga Pengembangan Profesi.

Maksud dan Tujuan
a. Maksud dari Lembaga Pengembangan Profesi
Adanya Lembaga Pengembangan Profesi dimaksudkan untuk mempertajam alat pencapai tujuan HMI dengan mengoptimalkan potensi pengetahuan, minat, dan bakat anggota HMI secara profesional.
b. Tujuan Lembaga Pengembangan Profesi
i. Dalam rangka mencapai tujuan HMI
ii. Menuntaskan persoalan-persoalan anggota HMI dan umat pada umumnya yang menyangkut bidang profesi.

Lembaga Pengembangan Profesi

Yang dimaksud dengan Lembaga Pengembangan Profesi adalah badan-badan khusus HMI (diluar KOHATI, BPL, dan Balitbang) yang bertugas melaksanakan kewajiban-kewajiban HMI sesuai dengan fungsi dan bidangnya (garapan) masing-masing, latihan kerja berupa dharma bhakti kemasyarakatan dalam proses pembangunan bangsa dan negara. Sebagaimana terdapat dalam unsur pokok Esensi Kepribadian HMI yang meliputi :
1. Dasar Tauhid yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, yakni dasar keyakinan bahwa “Tiada Tuhan melainkan Allah, dan Allah adalah merupakan inti daripada iman, Islam dan Ihsan.
2. Dasar keseimbangan yaitu keharmonisan antara pemenuhan tugas dunia dan akhirat, jasmaniah dan rohaniah, iman dan ilmu menuju kebahagiaan hidup dunia dan akhirat.
3. Kreatif, yakni memiliki kemampuan dengan cipta dan daya kritis, hingga memiliki kebijakan untuk berilmu amaliah dan beramal ilmiah.
4. Dinamis, yaitu selalu dalam keadaan gerak dan terus berkembang serta dengan cepat memberikan respon terhadap setiap tantangan yang dihadapi sehingga memiliki fungsi pelopor yang patriotik.
5. Pemersatu, yaitu sikap dan perbuatan angkatan muda yang merupakan kader seluruh umat Islam Indonesia menuju persatuan nasional.
6. Progresif dan Pembaharu, yaitu sikap dan perbuatan orang muda yang mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi. Memihak dan membela kaum-kaum yang lemah dan tertindas dengan menentang penyimpangan dan kebatilan dalam bentuk dan manifestasinya. Aktif dalam pembentukan dan peranan umat Islam Indonesia yang adil dan makmur yang diridhoi oleh Allah SWT.

Dilihat dari jenisnya, maka lembaga Pengambangan Profesi yang pernah ada:
a. Lembaga Kesehatan Mahasiswa Islam (LKMI)
b. Lembaga Pers Mahasiswa Islam (LAPMI)
c. Lembaga Da’wah Mahasiswa Islam (LDMI)
d. Lembaga Pendidikan Mahasiswa Islam (LAPENMI)
e. Lembaga Pertanian Mahasiswa Islam (LPMI)
f. Lembaga Teknologi Mahasiswa Islam (LTMI)
g. Lembaga Seni Budaya Mahasiswa Islam (LSMI)
h. Lembaga Astronomi Mahasiswa Islam (LAMI)
i. Lembaga Ekonomi Mahasiswa Islam (LEMI)
j. Lembaga Hukum Mahasiswa Islam (LHMI)
k. Lembaga Penelitian Mahasiswa Islam (LEPMI)
l. Lembaga Pariwisata dan Pecinta Alam Mahasiswa Islam (LEPPAMI)
m. Dan lembaga-lembaga yang dibentuk sesuai dengan kebutuhan karena lembaga pengembangan profesi adalah badan pembantu pimpinan HMI, maka dengan melaksanakan tugas/fungsional (sesuai dengan bidangnya masing-masing) haruslah terlebih dahulu dirumuskan dalam suatu musyawarah tersendiri. Musyawarah badan yang selanjutnya disebut rapat kerja itu, bertugas untuk menjabarkan program HMI yang telah diputuskan oleh instansi-instansi kekuasaan HMI.


Dialog Soekarno dan Saifuddin Zuhri
Dikutip: buku Berangkat dari Pesantren, karya Saifuddin Zuhri. halaman 671-674.
Pada suatu pagi aku dipanggil Presiden Soekarno di Istana Merdeka. Aku diterima di serambi belakang. Menjadi kebiasaan presiden sejak di Yogyakarta, tiap pagi antara Pukul 07.00-09.00, untuk menyelenggarakan koffie uurtje atau sejenak minum kopi bersama beberapa orang tamunya, baik yang datang dengan perjanjian maupun tanpa perjanjian.

Biasanya mereka berjumlah hingga belasan orang dengan berbagai profesi. Ada menteri, duta besar, perwira tinggi, wartawan, pengusaha swasta, seniman, dan lain-lain. Masing-masing disuguhi setangkup roti panggang yang ditaburi gula pasir dan telur dadar, sebagai teman secangkir kopi hitam.
Setelah beberapa tamu memperoleh giliran masing-masing untuk berbicara empat mata dengan presiden, aku dipersilahkan duduk di sebelahnya. Tamu-tamu tinggal 3-4 orang saja, di antara yang kukenali ialah Hasyim Ning, salah seorang pengusaha nasional yang berhasil.
“Saya ingin bicara dengan saudara, biarlah ada Hasyim Ning tidak apa,” Presiden memulai keterangannya mengenai maksudnya memanggilku.
“Saya memberi tahu kepada saudara, selaku Menteri Agama, bahwa saya akan membubarkan HMI,”
Seketika aku seperti mendengar suara petir. Beberapa detik aku terpana, seperti kehilangan keseimbangan mental. Alhamdulillah, aku tidak kehilangan akal, aku cepat mengatasi kegoncangan batinku yang agak tiba-tiba tadi.
“Mengapa HMI akan dibubarkan?” aku ingin tahu alasannya.
“Berbagai laporan disampaikan kepada saya bahwa di mana-mana HMI melakukan tindakan anti revolusi dan bersikap reaksioner,” kata presiden. Ia menatap wajahku dalam-dalam seperti hendak menguak isi kepalaku.
“Kadar anti revolusi maupun reaksionernya sampai di mana?” aku bertanya.
“Yaaah, misalnya selalu bersikap aneh, tukang kritik, bersikap liberal seolah-olah hendak mengembalikan adat kebarat-baratan, dan lain-lain,” jawab Presiden Soekarno.
“Apakah HMI sudah pernah bapak panggil untuk dinasihati?” aku bertanya.
“Secara umum dan terbuka saya sudah berulang-ulang memperingatkan lewat pidato-pidato saya!” Jawab Presiden Soekarno.
Aku sejenak membuat keseimbangan dalam diriku, antara emosi dan akal pikiran. Karena presiden memanggil aku, itu artinya aku masih dihargai atau (katakanlah) diperhitungkan. Kalau tidak, bukankah presiden dapat saja membubarkan HMI tanpa kehadiranku? Ataukah kehadiranku justru untuk memperlihatkan kepada masyarakat bahwa aku menyetujui pembubaran HMI?
“Mohon dipertimbangkan sekali lagi!” aku memberanikan diri untuk membuka diskusi. “HMI itu anak-anak muda. Mereka sudah termakan oleh pidato-pidato bapak di banyak peristiwa: Kalau saya ini anak muda, saya akan memberontak melihat hal-hal yang tidak beres di kanan kiri kita. Lha, HMI itu telah mempraktikkan anjuran bapak, apakah bapak tidak bangga?” Presiden menatap wajahku dengan pandangan lunak, memberi isyarat kepadaku masih terbuka kesempatan berdiskusi terus.
“Mereka itu para mahasiswa berbagai fakultas,” aku kemukakan pertimbanganku, “mereka adalah calon insinyur, dokter, ekonom, sarjana hukum, dan lain-lain. Mereka itu merupakan kader-kader bangsa. Sudah jamak anak-anak muda berpikiran dinamis, karena itu, seperti yang sering bapak pidatokan, mereka bisa membentuk gelombang arus listrik. Bapak lebih tahu daripada saya, arus listrik harus ditransformir, dan bila gerakan itu arus air yang deras mengalir harus dikanalisir, disalurkan, supaya menjadi kekuatan yang bermanfaat. Kalau HMI dibubarkan mereka menjadi frustasi dan kita rugi semua!”
“Mereka kan anak-anak Masyumi. Tentu seperti bapaknya, tetap saja reaksioner!” Bung Karno masih belum menyerah tetapi semangatnya untuk membubarkan HMI tidak menggebu-gebu lagi.
“Pak, ketika masa jaya-jayanya Masyumi, mereka masih anak-anak SMA dan SMP. Mereka tidak tahu persis apa itu Masyumi. Kita jangan mengikuti falsafah yang mengatakan: “Karena bapaknya berbuat salah, anak-anaknya pun berdosa semuanya…!” aku merasa di atas angin. Presiden Soekarno untuk beberapa saat memutuskan pembicaraanya denganku karena memanggil ajudannya untuk suatu keperluan. Buatku mengandung isyarat bahwa ia mulai kehabisan argumentasi. Kalau tidak, dan kalau memang berada di atas angin, buat apa memanggil ajudan?
“Tetapi bagaimanapun HMI dan SBII bakal saya bubarkan. Kalau HMI bubar, NU kan untung, PMII makin besar!” kata Presiden.
“Soalnya bukan masalah untung atau bukan untung. Sulit buat saya selagi masih Menteri Agama ada organisasi Islam yang dibubarkan tanpa alasan kuat!” aku memberanikan diri untuk qulil haqqa walau kaana murran!
“Wah… tidak sangka kalau saudara membela HMI, ya?” Presiden berbicara sambil pandangannya menerawang.
“Bukan membela HMI, pak! Saya tidak ingin presiden berbuat berlebihan. Itu termasuk tugas kami para pembantu presiden,” kataku makin mantap.
“Bukan berlebihan, tetapi saya berbuat menurut gewetan saya, perasaan hati saya!” kata presiden.
Aku merenung sejenak, lalu aku menentukan sikap terakhir. “Kalau bapak hendak membubarkan HMI, artinya pertimbangan saya bertentangan dengan gewetan bapak. Maka tugasku sebagai pembantu bapak hanya sampai di sini.” aku telah bulat kata dan tawakal.
“Oooooh, jangan berkata begitu. Saya tetap memerlukan saudara membantu saya.” Presiden Soekarno berkata sambil merekahkan senyuman di bibirnya. Tangannya diulurkan kepadaku. Refleks tangannya kujabat juga.
“Baiklah, HMI tidak saya bubarkan. Tetapi saya minta jaminan, HMI akan menjadi organisasi yang progresif. Kau bersama Nasution, Roeslan Abdulgani, dan Syarief Thayeb harus membimbing HMI,” kata presiden menyudahi pertemuannya denganku.”

Gambar diambil dari tirto.id

Awalku Masuk ke HMI 
Oleh : Deliar Noer

Keterlibatanku dalam Himpunan Mahasiswa Islam sebenarnya merupakan perkembangan biasa saja, apalagi pada permulaannya. Bukankah aku semenjak kecil sudah diperkenalkan dengan segala yang berbau Islam? Ketika di MULO aku mengajak kawan-kawan untuk memberikan sumbangan guna membantu para mukimin di Mekkah. Ketika itu aku juga menjadi anggota aktif Persatuan Pemuda Islam.

Di samping memperbanyak bacaan, aku sengaja ingin aktif bersama orang-orang seiman; tempatnya ketika itu adalah Himpunan Mahasiswa Islam.

Suatu ketika rapat diadakan di sekolah Muhammadiyah di bilangan Kramat bulan Maret 1950. Tentu Pak Broto dari Muhammadiyah dan aku pergi menghadirinya. Aku berkenalan dengan kawan-kawan yang pada umumnya lebih tua dariku. Ada Pak Broto yang kusebut tadi, adapula Syarif Usman yang beberapa tulisannya telah pernah aku baca dalam Pedoman Masyarakat sebelum Perang Dunia II.

Disepakati untuk mendirikan cabang HMI Jakarta, dengan ketua AS Broto. Aku diusulkan Kamil untuk menjadi sekretaris, disertai pengantarnya tentang pengalamanku di berbagai organisasi pelajar, baik di Medan maupun di Jakarta. Kamil memang termasuk kawan yang sering mempromosikan aku. Dan aneh juga, kupikir, yang hadir menyetujui; aku juga tak menolak. Bukankah sudah kukatakan, aku ingin dekat dengan Tuhan, dengan kawan-kawan seiman, dengan maksud agar imanku kokoh, dan tidak lagi bertanya-tanya seperti yang kurasakan selama itu.

Tetapi pada tahun berikutnya, ketika jumlah anggota HMI yang terdaftar masih saja seperti tahun sebelumnya (15 orang), aku terpilih sebagai ketua cabang. Broto ikhlas sekali tampaknya dalam menyerahkan pimpinan cabang ini kepadaku sehingga ia pun membantu benar dalam memajukan HMI di bawah pimpinanku. Hubungan kami berkawan memang termasuk erat. Jauh sesudahnya, ketika aku menjadi Rektor IKIP Jakarta, hubunganku dengannya berlanjut mesra.

Kongres Darurat di Yogyakarta

Dalam tahun itu juga bulan Desember, kami pergi ke Yogyakarta mewakili HMI Cabang Jakarta menghadiri kongres darurat HMI. Kami terdiri dari tiga orang: Broto, Usuluddin Hutagalung dan aku. Ketika itu HMI sudah membuka cabang di beberapa kota lain, termasuk Yogyakarta tempat berdinya HMI dan sampai permulaan tahun 1950 masih merupakan tempat kedudukan pimpinan pusat organisasi ini. Kemudian HMI juga ada di Bandung, Surabaya dan tentu saja Jakarta.

Perkembangan ini menghendaki konsolidasi organisasi, di samping perlunya kejelasan tentang personalia dan struktur pimpinan pusat sendiri.

Dalam masa revolusi mulanya Achmad Tirtosudiro yang jadi Ketua Umum PB HMI (belakangan dia pensiun dengan pangkat Jenderal bintang tiga), tetapi dia segera masuk Resimen Mahasiswa (malah kudengar kemudian dia jadi komandannya di tingkat nasional) dan akhirnya, menurut kabar ketika itu pula, dia tetap berkarir di lingkungan Angkatan Darat. Wakilnya HMS Mintaredja, tetapi setelah aksi militer Belanda kedua, wakilnya ini pindah ke Bandung.

Hutagalung sendiri pada waktu revolusi sudah menjadi anggota pengurus pusat, tetapi dia juga pindah ke Jakarta setelah aksi militer Belanda itu. Ada Asmin Nasution dan Dahlan Ranuwihardjo yang di Jakarta, tetapi tetap belum jelas benar bagaimana sebenarnya pimpinan pusat itu. Keduanya memang duduk di dalam kepengurusan pusat, namun susunannya dibentuk oleh orang-orang pusat itu sendiri tanpa persetujuan cabang-cabang yang sudah ada beberapa buah.

Apakah, umpamanya Lafran Pane, yang dalam masa revolusi juga turut dalam pimpinan pusat, mengetahui segala macam perkembangan ini? Kami di Jakarta tahu bahwa perkembangan itu diikuti juga oleh Lafran yang juga pendiri HMI itu, karena ada juga di Jakarta berbicara sesama anggota pimpinan pusat itu. Kongres darurat diperlukan tampaknya, dan tempatnya lebih tepat di Yogyakarta sebagai tempat lahir dan kantor pusat organisasi itu.

Sungguh pun demikian aku sendiri tidak merasa perlu status kongres itu ditekankan; konperensi atu pertemuan antara cabang dengan pimpinan pusat sudah memadai. Tetapi Dahlan sendiri mempunyai pendapat lain, dan ini dikemukakannya dalam pertemuan di Yogya itu. Ia merasa perlu adanya kongres, walau darurat, agar keputusan lebih mantap. Aku tidak bersikukuh dengan pendirianku, karena yang perlu ialah kesepakatan, bukan status suatu pertemuan. Agaknya Dahlan sendiri merasa perlu status kongres ini, agar kedudukannya di pimpinan pusat dikukuhkan oleh kongres tersebut. Dan inilah yang terjadi.

Ketika itu Dahlan Ranuwiharjo memang sudah menjadi ketua umum pilihan sesama anggota pimpinan pusat, dan dialah yang memimpin kongres. Lagi pun Perserikatan Perhimpunan-perhimpunan Mahasiswa Indonesia (PPMI), suatu federasi organisasi mahasiswa ekstra seluruh Indonesia, akan mengadakan kongresnya di Yogyakarta yang tentu juga akan diikutsertai oleh HMI. Ini berarti HMI akan mengirimkan delegasinya, dan sebaiknya delegasi ini terdiri dari orang pusat dan orang cabang. Ketika itu istilah wilayah atau Badko belum dikenal dalam HMI.

Maka aku pun berangkatlah ke Yogyakarta dengan kereta api sebagai utusan HMI Jakarta, bersama Broto dan Hutagalung. Seperti kukatakan, kawan yang akhir ini sebenarnya sudah duduk juga di pimpinan pusat, dan oleh sebab itu ia lebih banyak sebagai orang pusat. Sebelum berangkat, kami di cabang mengadakan lebih dahulu rapat khusus untuk membekali delegasi ke Yogyakarta. Namun bekal ini tak banyak, oleh karena pada umumnya kami di cabang belum banyak mengenal HMI dan belum juga banyak mengenal organisasi mahasiswa.

Cabang Jakarta ketika itu pun lebih banyak terdiri dari rekan-rekan mahasiswa di Universitas Nasional dan Universitas Islam Djakarta (namanya ketika itu masih Perguruan Tinggi Islam Djakarta); seorang dua saja dari Universitas Indonesia. Pengalaman berkongres kami pun belum ada, sungguh pun ada juga keyakinan kami bahwa kongres hanyalah merupakan rapat anggota suatu cabang.

Di Yogyakarta aku menginap di rumah yang papan namanya masih bertanda Mr. Mohammad Roem, karena dahulunya memang Pak Roem tinggal di rumah itu. Letaknya di Gondokusuman. Rumah ini juga tempat Dahlan Ranuwihardho tinggal (atau menginap) serta juga seorang kemenakan lain Pak Roem, kakak dari Dahlan, yaitu Arismunandar. Aris ini pada masa Jepang sekelas denganku di SMPT Jakarta. Ia masih mengingatku, tetapi mungkin karena bukan mahasiswa melainkan seorang yang sudah bekerja penuh (ia mempunyai bengkel sepeda) ia tak banyak bicara denganku. Namun ia gembira dengan kedatanganku.

Broto dan Hutagalung menginap di rumah Anton Timur Djaelani, di daerah Kota Baru juga. Timur atau Anton, tokoh Pelajar Islam Indonesia (PII), walau pun ketika itu ia sudah menjadi mahasiswa. Aku sering ke sana menjumpai Broto dan Hutagalung, sambil berkenalan juga untuk pertama kali dengan tuan rumah.

Seperti kukatakan, kongres HMI kami disebut kongres darurat. Wakil Bandung, Sdr. Achmad Sadali yang kemudian terkenal sebagai tokoh seni rupa di Institut Teknologi Bandung (ITB), dan wakil Yogyakarta , dipimpin oleh Sdr. Daldiri yang kemudian menjadi dokter dan profesor tenar di Surabaya, bersama seorang dua temannya hadir. Tak lama kemudian Daldiri mendirikan cabang di Surabaya. Ia sendiri mengatasnamakan kawan-kawan di Surabaya dalam menghadiri kongres HMI itu.

Kongres darurat ini antara lain memilih Ketua Umum Pengurus Besar. Seperti kukatakan, Dahlan kelihatannya ingin dikukuhkan dalam kongres, walau pun yang sifatnya darurat. Memang kedudukan Pengurus Besar, apalagi Ketua Umumnya, akan lebih kuat bila ia dipilih oleh suatu kongres, walau pun kongres itu sifatnya darurat dan dihadiri oleh hanya beberapa orang saja, tanpa tata tertib yang jelas pula, kecuali tata tertib menurut rapat biasa seperti yang kami lakukan di Yogya itu.

Lafran Pane hadir juga sebagai orang dari Yogyakarta, walau kehadirannya tidak terus-menerus. Aku segera menangkap kesan bahwa ia kurang serasi dalam berbagai hal dengan Dahlan. Yang akhir ini, umpamanya, menyarankankan agar kongres mengambil keputusan untuk mendesak pemerintah mengadakan kursus atau kuliah bahasa Belanda, terutama bagi mahasiswa Fakultas Hukum yang memang memerlukan pengetahuan bahasa Belanda ini untuk studi sebagai ahli hukum.

Hukum Indonesia ketika itu, agaknya juga sampai kini, masih sangat dipengaruhi oleh pengertian-pengertian hukum asal Belanda, malah kitab undang-undangnya masih berbahasa Belanda. Lafran menolaknya, dan dengan keras pula. Dua hal ia kemukakan sebagai alasan : perlunya kita berusaha lebih mandiri, dan kedua, karena bahasa Belanda termasuk bahasa yang sulit, dan oleh sebab itu akan menyulitkan para mahasiswa saja. Ia lebih suka agar segala bahasa Belanda di dalam hukum diterjemahkan saja ke dalam bahasa Indonesia dan ini bisa dipercepat, katanya.

Kalau sekiranya masalah itu dibatasi pada perbedaan pendapat tentang sesuatu hal, tentu tidak menjadi masalah. Tetapi kesanku tadi, kekurangserasian antara kedua tokoh mahasiswa Islam ini - Lafran versus Dahlan - mengherankan aku juga. Apalagi seharusnya memberi kesan yang lebih positif terutama bagi kami yang baru mengenal HMI itu.

Kongres HMI itu juga memutuskan untuk mempergiat penyebaran organisasi ini ke kota-kota universitas yang belum mengenalnya. Malah ada semacam anjuran agar HMI mendapat pendukung lebih besar di universitas umum. Masalahnya, perguruan tinggi Islam sudah jelas Islamnya, dan oleh sebab itu para mahasiswanya sudah boleh dikatakan sejalan saja dengan HMI dalam aspirasi dan penjabarannya.

Ada pula diputuskan untuk membuat logo HMI yang akan menghias bendera, dan dijadikan insinye serta dalam rangka penggunaan kalung kepengurusan. Soal logo ini diserahkan ke cabang Bandung yang memang mempunyai orang-orang dari bidang senirupa. Achmad Sadali tampak sekali antusias dengan hal ini. Cabang Jakarta sendiri mendapat tugas dari kongres untuk mengkaji ulang Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga sehingga pada kongres berikut akan dapat diadakan perubahan-perubahan. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga ini memang telah perlu dirombak; dia berasal dari tahun 1947.

Kongres juga membicarakan beberapa hal yang berkaitan dengan kongres PPMI yang akan dihadapi oleh HMI Yogyakarta itu juga. Bukankah sudah kukatakan bahwa kami dari HMI dapat menghadapi kongres PPPMI? Dahlan memang sudah aktif di PPMI yang sampai kongres di Yogya itu diketuai oleh Subroto dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Menarik juga mengingat bahwa Subroto ini kemudian menjadi menteri dalam kabinet Soeharto, dan kemudian menjadi sekretaris jenderal organisasi minyak sedunia, OPEC (Organization of Petroleum Exporting Countries).

Kongres PPMI
Di kongres PPMI aku mulai mengenal gerakan mahasiswa pada tingkat nasional. Aku termasuk dalam delegasi HMI di kongres itu, bersama Dahlan (yang sebenarnya memang sudah di PPMI), Broto dan Hutagalung. Ada juga kawan dari HMI Yogyakarta yang hadir, seperti juga Lafran yang sesekali muncul dalam forum PPMI. Tetapi masalah-masalah di PPMI tidak merupakan isu yang terlalu diperdebatkan, kecuali tentang International Union of Students (Gerakan Mahasiswa Internasional) yang merupakan gerakan kiri.

Sampai masa-masa akhir aku aktif di HMI (1955 dan sebagian 1956 walau pun secara resmi tidak aktif duduk lagi sebagai anggota pengurus) hubungan PPMI dengan IUS ini tetap saja menjadi bahan perdebatan. Sesekali aku, Hutagalung dan Broto berbicara bergantian. Kesanku ialah bahwa utusan-utusan dari organisasi mahasiswa lain, baik dari Yogya mau pun dari Jakarta, tetapi juga dari Surabaya, Bandung dan Bogor, melihat HMI sebagai organisasi yang diperhitungkan.

Kalau ada orang HMI yang bicara di depan kongres itu, delegasi lain pada umumnya diam dan memperhatikan. Peran HMI seperti itu tentu merupakan kelanjutan dari perannya semasa revolusi, karena PPMI juga dibentuk di masa revolusi itu. Peran ini tampaknya lebih meningkat pada tahun-tahun berikutnya. Aku merasa bangga juga dengan peran HMI seperti ini. Apalagi dalam kongres di Yogyakarta itu Dahlan Ranuwihardjo akhirnya terpilih pula sebagai Ketua Umum PPMI. Jadi dia pegang dua jabatan prestisius : Ketua Umum PB HMI dan Ketua Umum PPMI.

Menjadi Ketua Umum PB HMI
Pada permulaan September 1953 dalam Kongres HMI se-Indonesia di Jakarta aku terpilih sebagai Ketua Umum pengurus besar. Ketika itu aku mengetuai delegasi HMI Jakarta sungguhpun aku bukan lagi Ketua Cabang Jakarta. Oesodo yang saat itu menjadi Ketua Cabang, dan yang pada masa aku mengetuai cabang menjadi wakil ketua, saat itu dia menjadi wakil ketua delegasi. Ia memang sangat mendukung aku dalam posisi yang sangat memungkinkan aku terpromosikan. Aku mengenang ia sebagai orang baik dan lurus, bukan karena ia mempercayaiku melainkan karena memang demikianlah sifat orangnya.

Dalam kongres ada beberapa cabang baru yang muncul yaitu Medan yang menjadi cabang HMI pertama di wilayah Sumatera (yang pendirian cabangnya turut kupelopori ketika aku datang ke sana tahun 1952) dan Makassar di Sulawesi. Kawan-kawan yang tinggal di asrama Pegangsaan Timur dan jalan Bunga sibuk membantu, bukan saja dalam rangka sidang-sidang, resepsi dan sebagainya, melainkan juga karena kongres disibukkan pula dengan acara pertandingan olah raga dan deklamasi sajak.

Sidang kami adakan di asrama Pegangsaan Timur, olahraga di halamannya, sedangkan perlombaan sajak di Lembaga Mikrobiologi, juga di Pegangsaan Timur, dan akhirnya resepsi di aula UI di Salemba. Para peserta menginap di asrama Jalan Bunga, asrama Pegangsaan Timur, dan satu orang puteri dari Bandung dan dua dari Yogyakarta di rumah Pak Samsoeridjal, walikota Jakarta.

Sidang-sidang kami kadang-kadang hangat juga. Kupikir, Cabang Jakarta (itu berarti aku karena aku yang menyuarakan pendapat cabang tersebut) terlalu keras menghadapi kerja dan kebijaksanaan Pengurus Besar. Ada berbagai penyesalan yang kami sampaikan dalam hubungan dengan Pengurus Besar: rangkapan ketua umum pengurus besar dengan kedudukan di organisasi lain (seperti Perhimpunan-perhimpunan Mahasiswa Indonesia di mana Ketua Umum PB HMI juga menjadi Ketua Umum PPMI); dalam rangka ini Dahlan Ranuwihardjo pernah bepergian lama ke luar negeri, dengan akibat berkurangnya perhatian pada kegiatan pokok di HMI.

Kecenderungan berpolitik pada sebagian kalangan PB HMI (Dahlan memang secara pribadi besar perhatiannya terhadap bidang politik) sehingga tertinggal dalam usaha peningkatan kemahasiswaan. Termasuk di dalamnya permintaan ketua umum PB HMI kepada Bung Karno untuk menjelaskan masalah "Negara Nasional dan Negara Islam".
Seperti kukatakan di atas, kesempatan ini dipergunakan presiden -- yang mempunyai kedudukan konstitusional -- untuk menyampaikannya ke tengah masyarakat yang bisa mempengaruhi massa. Ini akan merugikan kalangan Islam karena Bung Karno sudah diketahui lama menolak negara Islam.

Ketika itu isu negara Islam (atau negara berdasar Islam) sedang dipopulerkan oleh partai-partai Islam (praktis pada permulaan 1950-an sampai menjelang pemilihan umum 1955 udara politik Indonesia dipenuhi oleh kampanye tak resmi tentang sifat negara yang hendak dibangun di Indonesia ini). Namun, perlu pula dicatat segera bahwa perbedaan pendapat seperti ini tidak mempengaruhi kongres dan hubungan antara cabang Jakarta dengan PB HMI, serta hubungan pribadi pihak-pihak bersangkutan. Memang benar, suara-suara yang kadang-kadang keras diperdengarkan itu menyeramkan juga, namun selesai sidang, ataupun bila menghadapi acara lain, suasana pun sudah berubah pula.

Aku sendiri mencatat dalam hubungan ini betapa perdebatan di dalam lingkungan partai Islam, terutama Masjumi baik yang kudengar dari beberapa tokoh, maupun yang kubaca dari berbagai notulen rapat yang kemudian kuperoleh kemudian dari beberapa tokoh itu, memang bisa sangat menghangat.

Tetapi seusai rapat atau sidang, hubungan antara mereka yang berdebat itu pulih seperti biasa kembali. Tidak pula ada yang menyampaikan isi perdebatan itu kepada orang lain, kecuali yang dipercaya; dan tentu tidak pada kalangan pemerintahan. Masalah perdebatan seperti itu adalah masalah dalam partai atau organisasi.

Kongres menyetujui logo yang direncanakan oleh Cabang Bandung sesuai keputusan kongres darurat tahun 1951. Masalah logo ini berkaitan dengan atribut HMI dalam bentuk lencana, bendera, stempel dan kartu anggota. Ada kesalahpahaman antara Cabang Jakarta dan Cabang Bandung dalam rangka keputusan kongres darurat tentang logo ini.

Kami melihat keputusan kongres darurat meminta cabang Bandung merencanakan logo tadi bukan dalam pengertian secara mutlak, yaitu bahwa rencana yang dibuat oleh Cabang Bandung harus diterima secara otomatis. Oleh sebab itu menjelang kongres di Jakarta, kami di Jakarta pun meminta Budiman, pelukis yang seorang lagi yang tidak turut pameran setahun sebelumnya di Gedung Proklamasi, untuk membuat rencana logo itu. Hasilnya kami kemukakan ke sidang kongres.

Hal ini ditanggapi oleh Cabang Bandung, terutama Achmad Sadali yang ketua cabang, dengan emosi tinggi, karena merasa bahwa yang hanya berhak merencanakan logo itu adalah Cabang Bandung, sesuai kongres darurat 1951. Achmad Sadali sampai mengancam akan keluar dari HMI bila rencana logo Cabang Jakarta ikut dipertimbangakan oleh kongres, dan rencana dari Bandung tidak diterima.

Kurasa reaksinya ini terlalu berlebihan. Kongres seperti di Jakarta, menurut aku, bisa saja memilih rencana yang ada walau yang dari Bandung dipertimbangkan secara serius. Lagipun kalau hanya rencana Bandung yang dibicarakan, kemudian kongres menolaknya, bukankah bisa, malah perlu, dicari rencana logo yang lain? Tetapi pemikiranku ini tidak kulanjutkan, dan setelah ancaman dari Cabang Bandung itu dilontarkan, kami dari Jakarta pun diam-diam saja. Kongres menerima rencana logo Cabang Bandung tersebut.

Kongres tentu mendengar laporan dari pengurus besar, dan dari cabang-cabang. Laporan pengurus besar yang hangat dibicarakan adalah sehubungan dengan pidato Bung Karno tentang "Negara Nasional dan Negara Islam" seperti yang telah kuceritakan di atas. Beberapa cabang lain, di samping Jakarta, Medan, Makassar, juga kurang menyetujui inisiatif Ketua Umum PB yang mengundang Bung Karno dalam rangka menerangkan masalah negara tersebut.

Perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga HMI, sesuai tugas yang diberikan kongres darurat di Yogyakarta (1951), dikemukakan oleh Cabang Jakarta. Berbulan-bulan lamanya suatu komisi khusus yang dibentuk cabang Jakarta mempersiapkan hal ini yang dipimpin oleh Suhariman yang dibantu dengan tekun oleh Ahmad Bustami. Keduanya memang dikenal di kalangan HMI Jakarta sebagai tenaga-tenaga yang serius dan tekun. Aku pun bergembira bahwa jerih payah seperti ini membuahkan hasil yang baik dalam kongres. Memang AD/ART yang berasal dari tahun 1947 sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman.

Suatu bagian baru, Bahagian Keputerian - cikal bakal Korps HMI-wati - diputuskan oleh kongres untuk dibentuk, baik pada tingkat pusat maupun tingkat cabang. Keputusan ini berdasar usul Cabang Yogyakarta. Umumnya kami di Jakarta tidak merasa perlu mengadakan bagian khusus ini, karena selama ini keperluan anggota puteri HMI terpenuhi secara otomatis tanpa adanya bagian khusus. Anggota puteri bisa ikut bersama dalam kegiatan apa pun juga. Ada kecenderungan, demikian pemikiran kami, kalau bagian keputerian dibentuk para anggota puteri akan terpisah kegiatannya dari kegiatan putera. Atau masing-masing akan melaksanakan kegiatan seakan-akan untuk bagiannya sendiri-sendiri.

Kemungkinan lain ialah bahwa kepengurusan HMI secara umum akan terdiri semata-mata atas anggota putera, dan hanya bagian puteri saja yang akan diisi oleh bagian puteri. Padalah kegiatan kaderisasi, penerangan, penerbitan, studi secara umum, kesenian, pendek kata segala segi hidup ini praktis dilakukan bersama, baik puteri maupun putera.

Namun demikian, delegasi HMI Jakarta tidak mempersoalkan amat pembentukan bagian puteri ini. Memang diakui juga bahwa ada hal-hal khusus yang dihadapi kalangan puteri, yang berbeda dengan kalangan putera. Kami hanya berharap bahwa bagian puteri ini hanya menghadapi hal-hal khusus tersebut, dan dalam hal-hal yang lain yang bersifat umum kegiatan dilakukan bersama.

Tentu hal ini menyangkut pula soal pergaulan, dalam pendidikan, agaknya ini juga menyangkut soal pembauran segregasi. Tetapi kami pikir, kedewasaan lebih memungkinkan pembatasan yang terpelihara. Tampaknya hal seperti ini masih harus kita hadapi zaman sekarang.

Tentu kongres peduli terhadap kedudukan ummat Islam di negeri ini. Pada umumnya mahasiswa yang bergabung dalam HMI mendambakan cita-cita Islam tegak di tengah masyarakat dan bangsa kita. Salah satu sarananya ialah turut serta dalam pemilihan umum, hal yang oleh kongres diputuskan juga mahasiswa Islam hendaklah "turut aktif dalam pemilihan umum".

Dalam rangka ini HMI menjaga supaya kedudukannya di tengah perpolitikan Islam tidak memihak ke salah satu partai Islam yang ada. Pengalamanku di Cabang Jakarta, dan kemudian sebagai ketua umum PB menunjukkan bahwa keinginan kami adalah supaya partai-partai Islam itu bersatu kembali. Maka kami pun menghubungi semua pimpinan partai bersangkutan secara berkala.

Dalam rangka Islam atau non-Islam, kami memang tidak netral, dalam rangka sikap terhadap partai-partai Islam, kami netral. Oleh sebab itu kongres juga memutuskan agar di antara partai-partai Islam tadi terdapat semacam gentleman's agreement dalam menghadapi pemilihan umum, maksudnya agar tidak serang-menyerang, dan kalau mungkin saling memperkuat. Seperti ternyata kemudian, harapan seperti ini tinggal harapan belaka.

Kongres juga menyatakan simpati terhadap perjuangan rakyat Maroko, Tunisia dan Aljazair yang ketika itu sedang berusaha mencapai kemerdekaan penuh mereka dari Perancis.

Ketua kongres yang dipilih oleh kongres adalah Mashud yang Ketua HMI cabang Yogyakarta. Mashud ini sebelumnya juga adalah Ketua Senat Mahasiswa Universitas Gadjah Mada dan aktif dalam kesebelasan universitas tersebut. Aku senang bergaul dengannya malah sampai aku berangkat ke Amerika Serikat untuk belajar, dan kemudian kembali ke tanah air, berangkat lagi ke Australia tahun 1975, kami tetap berhubungan.

Setelah dia menikah diperkenalkannya istrinya ketika mereka ke Jakarta kepadaku dengan mendatangiku di rumah "lajang" Pegangsaan Barat. Oleh sebab itu sesudah aku kembali dari Australia 1985, dan kuundang ia dan istrinya ke rumah bersama kawan lain, aku termenung mendengar lewat telepon (istrinya menelepon istriku) bahwa ia telah meninggal dunia. Jalan kami agak berbeda di masa Demokrasi Terpimpin. Tetapi persaudaraan kami rasanya tambah erat saja. Aku merasa kehilangan benar-benar.

Seorang kawan lain juga yang juga setelah menikah membawa istrinya berkenalan denganku di Pegangsaan Barat adalah ketua Cabang HMI Jakarta 1950-51, AS Broto. Dahulu dalam tahun 1950-an itu, arti kunjungan kawan dengan istrinya ke rumahku, padahal aku sendiri belum berumah tangga, kurang kufahami secara dalam. Aku melihatnya sebagai cermin keakraban pergaulan belaka. Tetapi setelah berumah tangga, aku menyadari sangat hal ini, karena istri kita tidak kita bawa ke setiap rumah kawan untuk diperkenalkan, kita memilih-milih dalam hal ini. Dan akupun tambah berterima kasih saja atas kunjungan Mashud dan Broto dengan istrinya masing-masing itu ke rumahku.

Kedudukanku sebagai Ketua Umum PB HMI tentu menuntut kesibukan khusus yang bertambah pula. Apalagi suasana tanah air ketika itu menghangat terus, dan ini berpengaruh pada kehidupan mahasiswa. Di samping itu, perlu pula diperhatikan bahwa aku bekerja pula mencari nafkah, sebagai anggota redaksi bahasa Inggris di kantor berita PIA.

Penyusunan anggota pengurus besar tidak sukar amat. Dahlan yang juga made-formateur bersama Wartomo (dia ini sekretaris kongres), mengusulkan agar Wartomo dijadikan wakil ketua. Aku sebenarnya tidak berkeberatan, apalagi kulihat Wartomo memang serius, dan punya pengalaman dalam organisasi walaupun dalam PII. Tetapi dia juga menjadi anggota PB PII ketika itu, dan ini menyebabkan aku tak bisa menerima usul Dahlan. Kepada Wartomo sendiri hal ini kukemukakan pula, setelah sibuk mencari aku usulkan agar Usuluddin Hutagalung menjadi wakil ketua. Baik Dahlan dan Wartomo menyetujuinya.

Usuluddin ini orangnya besar, umurnya lebih tua dari kami. seperti sudah kukatakan ia sudah turut aktif dalam PB waktu revolusi di Yogyakarta. Jadi sebenarnya ia "stok lama". Tetapi begitulah tidak mudah mencari orang untuk kedudukan ini. Aku masih ingat betapa kami di cabang, untuk mendapatkan calon ketua harus mendatangi beberapa mahasiswa yang senior yang belum menjadi anggota HMI, tetapi yang diketahui ke-Islamannya dengan menawarkan kedudukan ketua itu. Tampaknya kesulitan itu dijumpai lagi dalam mencari wakil ketua untuk PB.

Hutagalung bersedia, dan dengan demikian salah satu kesukaran teratasi. Ia studi di Fakultas Hukum UI. Untuk kedudukan lain dalam rangka PB itu, tidak sesukar mencari wakil ketua. Gunadirdja (dari Sinologi), Harmaini (Ekonomi), Bintoro Tjokroamidjojo (Ekonomi) kuajak masuk dalam PB sebagai sekretaris. tetapi belakangan Bintoro merasa terlalu sibuk, sehingga kedudukannnya digantikan oleh mulanya Zaini Bahri (kalau tak salah dari UID) dan kemudian oleh Hasbullah (Ekonomi).

Bintoro sendiri tetap menangani urusan perguruan tinggi dan kemahasiswaan. Kelihatannya memang ia menyukai bidang ini. Wasul (Ekonomi) yang pernah bendahari di cabang, kuminta untuk duduk di PB dalam kedudukan yang sama. Belakangan ia dibantu oleh Muchsin (dari Hukum), juga yang bekerja sama denganku di cabang. Pembantu umum mulanya hanya Anas Karim, seorang Mayor TNI yang kuliah di Sinologi, belakangan pembantu umum ini ditambah lagi dengan Ismail Hasan Metareum (Hukum), sedangkan Bintoro dibantu oleh Djoko Sanyoto (Ekonomi).

Ismail Hasan Metareum, seperti kuceritakan di atas, sering ke rumahku di Pegangsaan Barat, berbincang panjang-panjang, dan sering makan siang bersamaku. Ismail peduli benar dengan sikap orang HMI yang menurutnya ada yang kurang dapat sesuai dengan tuntutan Islam. Aku mengakui ini, tetapi kukatakan bahwa dengan pergaulan kebiasaan kawan-kawan seperti itu bisa berubah.

Kita tidak dapat mengharapkan kawan-kawan seperti itu bisa berubah. Kita tidak dapat mengharapkan kawan-kawan dari berbagai macam daerah, dengan segala macam pembawaan dan kebiasaan, serta sosialisasi yang beragam, akan dapat memperlihatkan hasil final sekaligus. Kelemahan manusia juga harus diakui, walaupun tidak berarti dibiarkan. Ismail tampaknya memahami ini, dan akhirnya ia bersedia masuk sebagai anggota HMI. Aku pun senang dengan keberadaannya dalam lingkungan kami.

Karena ia memang ingin memberikan sumbangannya kepada kami di HMI, kuajak ia masuk dalam pengurus, mulanya di cabang, kemudian di Pengurus Besar. Aku juga berbesar hati kemudian ketika dia menjadi Ketua Umum PB. Aku sangat berterima kasih kepada semua kawan yang duduk dalam PB bersamaku. Terlebih pula karena agak lama juga aku sakit, dari bulan Nopember 1953 sampai Pebruari 1954. Tak kusangka sama sekali aku terbaring seperti itu.

Dalam bulan Desember 1953 organisasi-organisasi pemuda Islam (termasuk Gerakan Pemuda Islam Indonesia, Pemuda Muhammadiyah, Pemuda Anshor, Fatayat Nahdhatul Ulama, Pemuda Al-Irsyad, Perti, Pemuda PSII, Pemuda Al-Jamiatul Washliyah, Pelajar Islam Indonesia (PII) dan HMI) mengadakan kongres untuk menggalang persatuan pemuda Islam umumnya. Sidang-sidang diadakan di gedung Adhuc Stat, kantor Bappenas sekarang.

Kongres memutuskan untuk membentuk suatu Federasi Perserikatan Organisasi-organisasi Pemuda Islam Seluruh Indonesia. HMI dipercayakan untuk memimpin panitia politik dari federasi, tetapi sebagaimana dapat diduga panitia ini tidak dapat berjalan dengan baik. Penyakit di kalangan partai-partai Islam tidak mengecualikan pemudanya, sehingga kian lama ide Federasi ini kian kabur. Rapat panitia politik pun akhirnya tidak dapat berjalan oleh karena undangan banyak tidak dipenuhi oleh para anggota sehingga quorum sering tidak tercapai.

Suatu Konperensi Pemuda Islam internasional diselenggarakan di Karachi ketika aku berbaring di rumah sakit. Konperensi ini pun kurang berhasil, terbukti dengan terpilihnya presidennya dari Indonesia, Harsono Tjokroaminoto, yang sudah tidak pemuda lagi. Akibatnya, konperensi itu sekali itu saja diselenggarakan. Tetapi hal ini agaknya merupakan kesalahan pihak Indonesia juga. Kelemahan kita dalam rangka ini antara lain kurangnya dana yang dapat digunakan untuk mengembangkan organisasi dunia ini.

Kongres yang di Jakarta ditutup oleh Presiden Soekarno. Sambutan dari pihak peserta kongres disampaikan oleh Anton Timur Djaelani dari PII. Kongres memutuskan hal-hal biasa: persatuan ummat Islam, kutukan terhadap Perancis yang ingin terus menjajah Aljazair, dan persatuan dunia Islam. Cita-cita memang boleh tinggi, sayang usaha pelaksanaannya kurang kuat mengiring.[]
Sumber: Otobiografi Deliar Noer, Aku Bagian Ummat Aku Bagian Bangsa

BPL HMI Cabang Pontianak

{facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google-plus#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget