Latest Post

Keyakinan Muslim 
Dikutip dari : Khittah Perjuangan Kongres Ke 26 HMI

Keyakinan merupakan dasar dari setiap gerak dan aktivitas hidup manusia. Karena itu manusia secara fitri membutuhkan keyakinan hidup yang dapat menjadi pegangan dan sandaran bagi dirinya. Ini berarti manusia menyadari, bahwa dirinya adalah makhluk lemah yang membutuhkan pertolongan, bimbingan dan perlindungan dari sesuatu yang diyakini sebagai yang Maha. Perkara keyakinan tertuang dalam suatu sistem keyakinan atau ideologi. Tiap-tiap sistem keyakinan memiliki konsepsi tersendiri dalam mengantarkan pengikutnya pada pemahaman dan kepercayaan terhadap tuhan. Pertama, sistem keyakinan yang obyeknya didasarkan pada sesuatu yang nyata. Kebenaran diukur melalui indera dan pengalaman. Sistem ini disebut kebenaran ilmiah. Secara filosofis kebenaran ilmiah memiliki kelemahan karena tidak dapat menjelaskan sisi kehidupan yang berada di luar pengalaman inderawinya.

Salah satu di antaranya adalah mengenai Tuhan. Tuhan tak dapat diyakini keberadaannya lewat bantuan sistem keyakinan ilmiah. Selain obyeknya, metodenya juga rapuh karena setiap teori yang diklaim sebagai kebenaran baru sekaligus mengandung keraguan. Manusia tak dapat berpegang teguh pada prinsip yang di dalamnya mengandung kebenaran dan keraguan sekaligus, karena hal itu bukan keyakinan, melainkan persangkaan saja. Al-Qur’an menegaskan bahwa persangkaan tak dapat mengantarkan manusia pada kebenaran.

Kedua, sistem keyakinan yang didasarkan pada doktrin literal. Sistem ini dapat ditemukan dalam semua agama. Pada dasarnya, sistem keyakinan literal mengingkari arti pentingnya akal sebagai sarana verifikasi kebenaran. Baginya, kebenaran adalah sesuatu yang sudah jadi secara sempurna dan harus diterima tanpa perlu menyadarinya terlebih dahulu. Akibat sistem keyakinan literal, manusia potensial melarikan diri dari kenyataan dan tantangan zaman setelah telanjur mendikotomi antara doktrin ketundukan pada ayat suci dengan peran- peran peradaban manusia. Termasuk dalam kategori ini adalah keyakinan yang didasarkan pada kebiasaan budaya yang diwarisi dari nenek moyang yang tidak sesuai dengan petunjuk Tuhan.

Islam mengajarkan sistem keyakinan yang disebut Tauhid. Tauhid berbeda dengan dua sistem keyakinan di atas karena cara pandangnya terhadap eksistensi (wujud). Tauhid merupakan konsepsi sistem keyakinan yang mengajarkan bahwa Allah SWT adalah zat Yang Maha Esa, sebab dari segala sebab dalam rantai kausalitas. Ajaran Tauhid membenarkan bahwa manusia dibekali fitrah yaitu suatu potensi alamiah berupa akal sebagai bekal untuk memilih sikap yang paling tepat serta untuk mengenali dan memverifikasi kebenaran dan kesalahan (haq dan bathil) secara sadar. Manusia meyakini Tuhan dengan metode yang berbeda-beda.

Pada sistem keyakinan lainnya, “Yang Maha” atau yang dirumuskan sebagai Tuhan, hanya dijelaskan berdasarkan persepsi dan alam pikir manusia sendiri. Sedangkan dalam konsepsi Tauhid, selain pencarian akal manusia sendiri sebagai alat mendekati kebenaran mutlak, juga melalui wahyu di mana Tuhan menyatakan dan menjelaskan diri-Nya kepada manusia. Jadi, Tauhid memberi tuntunan berupa wahyu Allah melalui para nabi. Tauhid merupakan inti ajaran yang disampaikan pada seluruh manusia di setiap zaman. Ini berarti bahwa ajaran Tauhid adalah ajaran universal. 

Tauhid merupakan misi utama seluruh nabi dan rasul yang diutus Allah SWT. Mereka menyampaikan risalah tauhid sesuai dengan tingkat peradaban masyarakatnya. Syari’at Tuhan silih berganti disempurnakan setiap kali nabi dan rasul diutus untuk mempersiapkan datangnya nabi dan rasul penutup. Tauhid yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW sebagai nabi terakhir yang dijanjikan Allah, dinyatakan dalam dua kalimat syahadat, yaitu; Asyhadu an lâ ilâha illallâh, Wa asyhadu anna Muhammadan Rasûlullâh. Artinya, aku bersaksi bahwasanya tiada ilah selain Allah dan aku bersaksi bahwasanya Muhammad adalah rasul Allah. Setiap manusia telah menyatakan syahadat ini sebelum ia dilahirkan. Persaksian syahadat itu mengakibatkan manusia harus meniadakan sesembahan, tempat bergantung dari segala sesuatu yang dipertu-hankan. Ini juga berarti bahwa dimensi syahadat adalah pengakuan dan ketundukan. 

Pengakuan bahwa Allah adalah Tuhan pencipta langit dan bumi serta makhluk-makhluk yang ada dapat diakui oleh siapa saja yang menggunakan akalnya, demikian juga dengan doktrin yang diterima sebagai warisan budaya. Namun jika manusia diajak untuk tunduk dan berserah diri penuh kepada perintah Allah, sebagian manusia menolaknya. Pengakuan yang tak dibarengi dengan ketundukan pada hakikatnya adalah kecacatan Tauhid. 

Allah SWT menurunkan wahyu melalui Jibril sejak Adam as. sampai Muhammad SAW, dalam bentuk shuhuf, ataupun dalam bentuk kitab. Wahyu-wahyu sebelum diturunkannya Al Qur’an dibawa oleh para rasul sebagai petunjuk bagi kaum dan kurun tertentu, untuk menata sistem kehidupan di zamannya masing-masing, sedangkan Al Qur’an diturunkan sebagai petunjuk seluruh manusia dan berlaku sepanjang masa. Selain sebagai petunjuk, Al Qur’an juga sebagai kitab penjelas atas petunjuk dan pembeda (haq dan batil), serta pembenar dan penyempurna kitab-kitab sebelumnya, sehingga Al Qur’an mengandung ajaran yang sempurna dan terjaga keaslian dan kelestariannya sampai hari kiamat.

Kandungan Al Qur’an yang amat penting terletak pada misi dan seruan kepada manusia untuk beriman, beribadah serta beramar ma’ruf nahi mungkar. Al Qur’an juga dinyatakan sebagai kitab yang memberi petunjuk, pembeda, pengingat, pembawa berita gembira, pembawa syari’at yang lurus dan pedoman bagi manusia. Al Qur’an diklaim bahwa dirinya adalah kitab yang membawa misi pembebasan bagi manusia dari kegelapan menuju cahaya. Itulah sebabnya manusia diperintah Allah agar menerima Al Qur’an tanpa keraguan.

Kandungan Al Qur’an tidak hanya memuat ajaran tauhid dan peribadatan, tetapi Al Qur’an juga memberikan persepsi tentang masalah-masalah kosmologi, sejarah, fenomena sosial, membicarakan suatu entitas tertentu secara mondial, misalnya tentang langit dan bumi dengan detail atau rinci. Kelengkapan Al Qur’an ini diimbangi dengan seruan Allah pada manusia agar hati dan akalnya senantiasa dimanfaatkan dalam segala hal dan digunakan untuk memikirkan permasalahan intelektual. Al Qur’an menunjukan kelengkapan ajaran dan misi yang diperuntukan bagi manusia, sehingga Allah berkenan menurunkan sejarah kenabian dan kerasulan di dalamnya, berikut dengan konsekuensi penerimaan dan penolakannya.

Semua nabi menyampaikan ajaran tauhid tanpa pemaksaan, namun dengan penyampaian, pengajaran dan peringatan, serta memberikan janji tentang kesucian diri kepada manusia. Keyakinan akan bimbingan oleh para nabi disebut dengan doktri kenabian. Kenabian ini amat penting karena dalam kenyataan hidupnya, manusia ternyata tidak senantiasa mampu menjaga dan mengembangkan jati diri untuk kembali kepada fitrahnya secara mandiri, bahkan tidak jarang manusia tenggelam dalam noda dan dosa serta kekafiran.

Penyampai risalah yang memiliki otoritas sebagai uswatun hasanah, harus menyampaikan risalahnya kepada manusia secara langsung agar dapat dipraktekkan di kehidupan manusia. Perilaku kehidupan manusia yang diridhoi Allah SWT diajarkan oleh Islam dalam konsep kesaksian syahadah rasulnya. Maka kedudukan nabi, rasul dan Muhammad sebagai penutupnya tidak cuma penyampai risalah dan menjadi uswatun hasanah, akan tetapi juga sebagai acuan dan sumber syari’ah setelah wahyu. 

Pada realitas sosial, selain mengajarkan risalah, setiap rasul terutama Muhammad SAW juga memimpin dan mendidik umatnya, dan dalam keadaan tertentu juga menjadi panglima perang. Kehadiran dan peran ini memiliki kesamaan misi, yakni menyelamatkan dan membebaskan manusia dari kehancuran dan dari api neraka, serta mengajaknya pada kehidupan yang sejahtera dunia akhirat. Kompleksitas peran dan kedudukan nabi menunjukkan bahwa persoalan agama bukanlah sebatas rohani, spiritual, etika dan keakhiratan belaka, tetapi meliputi semua kehidupan manusia.

Salah satu misi adalah untuk mengembangkan “kejatidirian” manusia dengan benar, terletak pada pandangan dan penjelasan Al Qur’an tentang alam semesta. Menurut Al Qur’an, keberadaan alam semesta juga karena diciptakan.Proses penciptaan itu sendiri berjalan secara evolutif dalam enam masa. Alam diciptakan Allah SWT dalam keadaan seimbang dan tanpa cacat. Alam semesta secara pasif adalah muslim. Keberadaannya sebagai bukti kekuasaan dan keberadaan Allah SWT. Karena itu manusia jangan terperosok ke dalam penyembahan terhadap alam, dan melupakan Tuhan karena interaksinya yang keliru terhadap alam. 
Alam semesta ini diciptakan Allah SWT untuk manusia dan menjadi pelajaran baginya. Manusia berhak mengelola dan memanfaatkannya guna memenuhi kebutuhan dan untuk mencapai tujuan hidupnya. Tetapi sebaiknya, manusia dilarang meng-eksploitasi dan merusaknya sehingga segala akibatnya akan diderita oleh manusia. Agar manusia dapat memperoleh pelajaran, maka alam juga dilengkapi dengan ukuran atau qadar dan hukum-hukum tertentu yang disebut sunnatullah. Sunnatullah pada alam semesta bersifat tetap, dapat diamati dan dipelajari oleh manusia.

Oleh karena itu jika manusia secara serius mau memperhatikan alam dengan mengi-kuti petunjuk kitab suci dan nabinya serta mendayagunakan secara maksimal akal budinya maka ia akan dapat memperkirakan perjalanan alam dan selanjutnya menguasainya secara proporsional. Dari sinilah sejarah hidup manusia dan masa depannya diuji Apakah dengan diturunkannya risalah universal itu manusia dengan sadar mengikutinya yang berarti muslim atau menempuh jalan lain yang berarti kafir atau munafiq.

Setiap pilihan manusia membawa konsekuensi di dunia maupun di akherat. Konsekuensi di akherat akan menjadi tanggungan bagi dirinya sendiri. Suatu masa ketika setiap manusia harus mempertanggungjawabkan seluruh amal perbuatannya disebut hari kiamat atau hari pembalasan. Pada hari itu semua amal manusia akan dihisab atau dihitung dan ditimbang baik dan buruknya. Akhirnya, sebagai konsekuensi amal perbuatannya, apabila kebajikannya lebih banyak, akan menjadi ahli surga atau sebaliknya menjadi ahli neraka.

Sistem keyakinan merupakan konsepsi yang menjiwai cara pandang tentang pengetahuan (ma’rifah), cara pandang tentang manusia, cara pandang tentang kemasyarakatan, cara pandang tentang alam semesta, dan cara pandang tentang akhir kehidupan manusia. Bagian berikut dari bab ini nantinya akan menguraikan secara lebih lengkap mengenai cara pandang HMI tentang keilmuan hingga cara pandang tentang keakhiratan yang dijiwai oleh sebuah sistem yang diyakini bersama yaitu sistem keyakinan Tauhid.

Dikutip dari : Khittah Perjuangan Kongres Ke 26 HMI
Download E-Book nya disini

BINTANG ‘ARASY
Tafsir filosofis-Gnostik Tujuan HMI (Meraih Ridha)

Sejatinya, sebuah tujuan harus menyentuh otak sekaligus hati; menggugah rasio dan emosi. Setelah sebelumnya secara argumentatif dibahas melalui perspektif rasional-tekstual, kini tujuan HMI di- perkenalkan melalui pendekatan filosofis-sufistik, tasawuf, gnosis atau irfan. Keseluruhan bab ini membahas nilai-nilai transenden yang menjadi tujuan himpunan, seperti teringkas pada piramida berikut:
Apa Tujuan HMI? Secara konseptual, dalam rumusan sederhana, tujuan HMI adalah “IMH”, yaitu tajalli “HMI” itu sendiri. Tajalli artinya “perwujudan”, “pengejawantahan”, “penampakan”, “pantulan”, “refleksi”, atau “manifestasi”. Misalnya, ketika berkaca, dicermin muncul wujud kita sendiri. Itu namanya tajalli. Demikian juga dengan HMI, ketika direfleksikan, akan muncul wujud reflektif: “I”-“M”-“H”. Konsepsi ini tentu bersifat sangat simbolik, dengan penjelasan seperti berikut.

Target dasar HMI (basic goal) adalah individual, yaitu membentuk “I” (insan kamil, insan cita). Perkaderan bertujuan mentransform personal anggotanya menjadi “manusia sejati”. Ini merupakan proses pendakian dari ‘lembah yang gelap’ (kualitas basyar) menuju ‘Arasy Tuhan (berkualitas insan, hidup melebihi tapal batas kehidupan binatang). Seperti puisi Hafiz Syirazi: “Engkau telah dipanggil-panggil dari Arasy yang agung, lalu mengapa pula engkau masih bermukim dilembah ini”. 

Tujuan selanjutnya HMI (intermediate goal) bersifat sosial, yaitu perjuangan mewujudkan “M” (masyarakat adil makmur, masyarakat cita). Setiap kader didoktrin untuk ‘turun’ dari ‘menara gading’ yang tinggi guna mengabdikan hidup bagi kemajuan masyarakat. Inilah insan kamil dalam relasi dengan alam, hidup seimbang sebagai hamba (ibadah vertikal) dan sebagai khalifah (muamalah, ibadah sosial).

Sedangkan tujuan tertinggi (ultimate goal) atau inti dari keseluruhan Tujuan HMI adalah “H” itu sendiri, yaitu Hu (Dia, Allah). Inti tujuan ini selaras dengan bait akhir Tujuan HMI: “....diridhai Allah SWT”.

Karena tujuan ber-HMI semata-mata “hanya untuk Allah SWT”; maka aktifitas dan pengabdian seorang kader pada dasarnya adalah upaya mengenal (ma’rifat), mendekat (taqarrub), kembali (ruju), lebur (fana), atau memperoleh cinta (ridha-Nya). Hal ini sejalan dengan konsepsi Islam, bahwa “awal” dari beragama adalah “mengenal Allah”: awaluddin ma’rifatullah. Inilah akar irfani ber-HMI.

Ridha berasal dari kata ”radhiya-yardha”, artinya: “menerima dengan lapang dada tanpa rasa kecewa atau tertekan”. Ridha tidak berarti pasrah dalam bentuk putus asa. Ridha berarti optimis, bukan fatalis. Ridha Allah mengandung arti “memerima sepenuh hati ketetapan dan ketentuan Allah”. Menerima ketetapan Allah berarti memiliki komitmen untuk melaksanakannya. Oleh sebab itu, Ridha menuntut usaha aktif. Makanya, orang yang Ridha kepada Allah selalu bekerja, belajar, berjuang, berkorban, dan berbuat baik tanpa kenal lelah. Ridha kepada Allah selalu berada dalam konteks positif. Menerima ketentuan Allah dengan berbaik sangka dan tulus ikhlas. Karena keikhlasan inilah maka mencapai Ridha Allah mengandung arti melakukan sesuatu bukan karena pamrih, ingin pamer, menjilat, atau karena kepentingan sesaat;

Mencapai Ridha Allah murni semata-mata untuk meraih kecintaanNya. Oleh sebab itu, memperoleh Ridha Allah adalah puncak segala kebahagiaan. Kalau Allah sudah ridha atau cinta, maka kita akan ditinggikan derajat dan kemuliaan”. Karena Ridha Allah juga mengandung makna Cinta. Maka ini merupakan stasiun atau makam tertinggi yang ingin dicapai oleh setiap hamba. Kalau Allah sudah ridha, rela atau cinta kepada kita maka kita sudah memiliki segala-galanya. Mencapai Ridha Allah berarti berusaha menjadi kekasihNya. Inilah tujuan hidup tertinggi dari seorang hamba;

“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.” (Attaubah:100)

“Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah syurga ‘Adn yang mengalir di bawahnya sungaisungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepadaNya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya.” (Al Bayyinah:8)

Allah berfirman: “Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar kebenaran mereka. Bagi mereka surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya; Allah ridha terhadapNya. Itulah keberuntungan yang paling besar.” (Al Maidah:119)

“Jikalau mereka sungguh-sungguh ridha dengan apa yang diberikan Allah dan RasulNya kepada mereka, dan berkata: “Cukuplah Allah bagi kami, Allah akan memberikan sebagian dari karunia-Nya dan demikian (pula) Rasul-Nya, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berharap kepada Allah,” (tentulah yang demikian itu lebih baik bagi mereka).” (At Taubah:59)

“Mengapa kamu datang lebih cepat daripada kaummu, hai Musa?” Berkata, Musa: “Itulah mereka sedang menyusuli aku dan aku bersegera kepada-Mu. Ya Tuhanku, agar supaya Engkau ridha (kepadaku).” (Thaahaa:83-84)

“Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka, dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung.”( Al Mujaadilah:22)


“Ridhallaah ridhal waalidaini’. Hadist (Ridha Allah diperoleh dari ridha ke dua orang tua). Membahagiakan orang tua, guru dan manusia secara umum adalah sebagian dari langkahlangkah untuk mencapai Ridha Allah.

Sebagai penutup, apa yang sesungguhnya dicari HMI? Terjawab pada beberapa bait akhir rumusan tujuan, “....ridha Allah SWT”. Inilah motivasi dasar ber-HMI. Menjadikan Allahswt sebagai satu-satunya tujuan merupakan komitmen mental-spiritual dalam berorganisasi. Sikap jiwa ini disebut “independensi etis”, tunduk patuh atau terikat hanya pada nilai-nilai Ilahiyah. Ketergantungan dan kepasrahan hanya kepada Allahswt. Segala pencapaian di dunia semata-mata hanya karena kecintaan ingin memperoleh ridha-Nya.

Ridha merupakan maqam kegembiraan dan kesenangan hamba kepada Allah SWT, atas segala  pemberian, kehendak, qadha dan qadarnya. Ridha merupakan aspek “immateri” dari sebuah tujuan. Jadi wujudnya sangat spiritual. Semakin tinggi jiwa seseorang maka semakin tinggi pula keinginannya. Sesuatu yang paling tinggi itu adalah Allahswt, Wujud Non- Materi. Dengan demikian, wujud tujuan tertinggi tentu bersifat Non- Materi.

Seseorang yang masih pada fase dasar beragama, biasanya tertarik hanya pada imbalan-imbalan yang bersifat materialistis. Ibarat anakkecil yang termotivasi untuk sholat hanya karena iming-iming permen dari ibunya. Orang yang masih awam dalam beragama juga demikian, tertarik hanya pada pahala yang berbentuk “syurga” dengan berbagai gambaran “sungai” dan keindahan “bidadarinya”.

Bagi kaum irfan, sesuatu yang ingin dicapai adalah Allahswt itu sendiri, Dzat yang tidak dapat dibentuk dalam imajinasi. Allahswt adalah tujuan tertinggi dari hidup seorang kader sejati. Bukan berarti mereka menolak adanya syurga dan segala macam wujud yang ada di dalamnya. Hanya
saja mereka tidak menempatkan itu di hati mereka. Karena dalam konsepsi “khalik-makhluk”, syurga itu ciptaan Tuhan, bukan Tuhan. Bagi orang-orang meng-Esa-kan Tuhan; puncak kebahagiaan, keindahan dan kesempurnaan bukan syurga, tetapi Tuhan. Maka bagi kaum sufi, mengharapkan sesuatu selain ridha Tuhan dianggap syirik.

Bahkan ridha disebut-sebut berada di atas maqam keislaman atau taslim (pasrah). Jika taslim (islam) bermakna “pasrah”, yaitu “menerima tanpa membantah segala ketentuan Tuhan”, maka ridha bermakna “menerima dengan penuh kegembiraan segala sesuatu yang merupakan ketentuan
Tuhan”. Artinya, seorang hamba yang ridha selalu bahagia dan bersikap positif atas segala pencapaian, dalam susah dan senang, dalam lebih dan kurang.

Ridha tidak sekedar “rela” dalam pemahaman bahasa Indonesia. Sebab “rela” dalam kosakata Indonesia sekedar bermakna “pasrah”. Tapi Ridha adalah ekspresi kerelaan yang disertai rasa “senang”, “bahagia” dan “gembira”. Contoh, bagi yang berada pada maqam taslim (pasrah), maka
sholat dilakukan sebagai sebuah sikap pasrah, tanpa membantah, karena dianggap sebagai “kewajiban”. Sedangkan pada maqam ridha; sholat, jihad dan ibadah lainnya dikerjakan dengan suka cita walau penuh rintangan dan tantangan, karena tidak dimaknai lagi sebagai kewajiban
melainkan sebagai media ekspresi cinta kepada Tuhan.

Berkenaan dengan ridha, salah satu wali pendiri tariqat Qadiriyyah, Sayyid Abdul Qadir alJailani (470-561H/1077-1166M) mengatakan :

“Hendaklah engkau beramal untuk mencari ridha-Nya, dan hendaknya engkau tidak meminta pahala sedikitpun. Dalam beramal, hendaknya tujuanmu adalah mencari ridha-Nya dan berdekatan dengan-Nya di dunia maupun akhirat”. Karena fokusnya murni kepada Tuhan, maka ridha dengan demikian juga bermakna “menceraikan dunia” dan segala sesuatu selain Tuhan. 

Menurut beliau, hati orang-orang yang bertauhied tidak digunakan untuk mengejar dunia, juga tidak untuk mengejar akhirat. Tidak juga mereka hidup untuk mengejar kedua-duanya. Orang-orang mukmin adalah mereka yang hati dan raganya digunakan untuk mengejar ridha Allah SWT. Disinilah letak nilai irfani (gnostik) dari tujuan HMI. Semua amalan ditujukan bukan untuk mengumpulkan “dunia”, bukan untuk mengharap “akhirat”, bukan untuk mengais “pahala”, juga bukan untuk mendapat “syurga”. Melainkan untuk semakin dekat dengan-Nya, untuk memperoleh “ridha”-Nya, di dunia dan akhirat.

Juga mengutip Rabi’ah Adawiyah, seorang sufi perempuan Basrah abad 2 Hijriah:
Aku mengabdi kepada Tuhan
Bukan karena takut neraka,
Bukan pula karena mengharap masuk syurga,
Tetapi aku mengabdi, karena cintaku kepada-Nya.
Ya Allah, jika aku menyembah-Mu karena takut neraka,
Bakar aku di dalamnya.
Jika aku menyembah-Mu karena mengharap syurga,
Campakkan aku darinya. 
Tetapi jika aku menyembah-Mu demi Engkau semata, 
Janganlah Engkau enggan memperlihatkan keindahan wajah-Mu kepadaku.

“Ridha Allahswt” merupakan arah perkaderan dan perjuangan HMI. Bahwa awal dan akhir dari segala pencapaian, adalah untuk memperoleh kecintaan Allahswt. Nilai-nilai spiritualitas seperti inilah yang harus ditanamkan sejak awal guna memurnikan gerakan, seperti terucap dalam bai’at perkaderan dan kepengurusan:

“Aku ridha dengan Allah sebagai Tuhanku, dan dengan Islam sebagai agamaku, dan Muhammad sebagai Nabi dan Rasulku”.


Seperti tersederhanakan pada gambar di atas, Tujuan HMI adalah terbinanya insan yang rasional (akademis), yang kapasitas keilmuan mereka dibuktikan dalam berbagai inisiatif, gagasan, eksperimen, gebrakan, rintisan, temuan, dan karya (pencipta). Manusia-manusia yang rasional dan kreatif ini menjalani hidup bukan semata-mata untuk kepentingan diri sendiri, melainkan membangun gerakan untuk membuat masyarakatnya semakin berkualitas (pengabdi). Lebih penting lagi, ketiga kualitas tersebut harus tumbuh diatas nilai-nilai ilahiyah (bernafaskan Islam) dan berkembang diatas kesadaran untuk mengemban amanah sebagai khalifah Tuhan (tanggungjawab), guna membangun sebuah model masyarakat yang semakin hari semakin baik.

Kelima kualitas insan tersebut juga disebut dengan kader yang memiliki maksimalisasi “iman-ilmu-amal”. Mereka inilah “muslem-intelektual-profesional”, atau kader yang berakhlakul karimah. Mereka ini memiliki kesalehan individual (mampu memimpin dirinya sendiri) serta memiliki kesalehan sosial (mampu memimpin masyarakat). Inti dari tujuan hidup atau cita-cita para insan ilahiyah ini semata-mata hanya untuk mendapatkan kerelaan (ridha) Tuhan, baik bagi dirinya maupun masyarakatnya, di dunia dan akhirat.*****

Penulis : Said Muniruddin
Dikutip : BINTANG ‘ARASY Tafsir filosofis-Gnostik Tujuan HMI

Training of Trainer(TOT)
Senior Course(SC)
Badan Pengelola Latihan (BPL)
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)
Cabang Pontianak

Ruang Lingkup
Senior Course merupakan salah satu pelatihan non-formal HMI1 sebagai wadah untuk membentuk calon instruktur.2 Pada pelatihan ini, anggota HMI yang telah lulus Latihan Kader II dan berniat  mendedikasikan diri untuk perkaderan akan ditempa hingga memiliki kapasitas pengelola latihan HMI. Karena itulah Senior Course juga dikategorikan sebagai pelatihan formal BPL HMI. Ruang lingkup Senior Course meliputi:
1. Kemampuan Profesional
a) Penguasaan dan penghayatan proses kaderisasi: landasan dan pola perkaderan.
b) Penguasaan pengelolaan latihan: landasan dan wawasan tentang instruktur.
c) Penguasaan materi: konsep dasar keilmuan dan bahan ajar.

2. Kemampuan Personal
a) Pembawaan citra instruktur yang simpatik dan karismatik.
b) Pengejawantahan nilai-nilai kemanusiaan berasaskan Islam dalam kehidupan sosial.
c) Pemahaman serta kesungguhan untuk meluruskan pemahaman masyarakat yang keliru tentang Islam dan misi HMI.

Kemampuan-kemampuan tersebut seyogianya tertanam dalam diri instruktur HMI sebagai teladan dalam perkaderan, khususnya pada pelatihan HMI. Sehingga pembentukan sumber daya instruktur harus dirancang dan diselenggarakan dengan akurat, efektif, dan efisien. Petunjuk Pelaksanaan dan Teknis Senior Course ini disusun dengan kesadaran akan tanggung jawab perkaderan HMI yang membutuhkan instruktur berkarakter pemimpin untuk membentuk kader berkualitas insan cita.

Tujuan
Terbentuknya pengelola latihan yang memiliki kualitas muslim inteligensi, serta mampu menjadi teladan yang baik.

Target
1. Peserta dapat mendalami sistem perkaderan, utamanya dalam lingkup HMI.
2. Peserta dapat mengemban tugas dan tanggung jawab pengelola latihan.
3. Peserta dapat menerapkan keilmuannya dalam kehidupan sehari-hari.

Prasyarat Kepesertaan
Perkaderan diarahkan untuk membentuk pribadi yang berkualitas insan cita,8 sehingga kader HMI mampu berkontribusi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan berjuang untuk mewujudkan masyarakat adil makmur yang diridai Allah subhanahu wa ta’ala. Pelatihan ini dirancang untuk membentuk jiwa instruktur yang dapat membentuk kader pejuang demi mewujudkan cita-cita HMI tersebut, sehingga input pelatihan merupakan kader HMI terpilih yang siap berkhidmat kepada perkaderan. Maka calon peserta harus memenuhi beberapa persyaratan demi mempertahankan kualitas instruktur.

1. Seleksi Peserta Screening
Calon peserta screening ditugaskan untuk mengirimkan beberapa hal ini untuk diseleksi:
a) Lembar Motivasi calon peserta dengan narasi terkait:
1) latar belakang atau motivasi mengikuti Senior Course,
2) permasalahan atau keresahan proses perkaderan di komisariat atau cabang asal, dan
3) solusi yang ditawarkan untuk menjawab permasalahan tersebut.
b) Data Kader di komisariat asal calon peserta selama 2 (dua) periode terakhir, meliputi: 1) Nama Lengkap, 2) Tempat dan Tanggal Lahir, 3) Perguruan Tinggi, 4) Tahun Masuk, dan 5) Jenjang Pelatihan di HMI (disertai bulan dan tahun).
c) Video calon peserta membaca dan menjabarkan hokum tajwid QS al-Fatihah.

2. Screening Peserta Senior Course
Screening berupa simulasi penyampaian materi selaku pemateri atau fasilitator dalam Latihan Kader I. Materi-materi yang disampaikan adalah 5 materi wajib HMI yang dijadwalkan 1 materi setiap hari. Sehingga total waktu screening adalah 5 hari. Teknis penyelenggaraan screening:
a) Screener membagi bab/ bagian yang harus disampaikan oleh tiap calon peserta (bisa berupa undian atau diserahkan kepada yang bertugas) dengan bab/bagian yang berbeda untuk setiap calon peserta.
b) Screener mengarahkan peserta untuk menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP).
c) Simulasi oleh setiap calon peserta secara bergantian dengan calon peserta lain menjadi peserta dan screener memberi penilaian.

Materi
Materi Senior Course dirangkum dari materi-materi Pelatihan Instruktur, Pelatihan Instruktur Utama, Training of Trainer, dan Training Management Trainer yang pernah dirancang oleh BPL PB.

No
Materi
Pokok Bahasan
1
Pedoman Perkaderan HMI
Landasan Perkaderan
Prinsip-prinsip Perkaderan
Pola Perkaderan
2
Sejarah dan Pedoman Dasar BPL HMI
Sejarah LPL-BPL
Pedoman Dasar BPL HMI
Pedoman Kepengurusan dan Penjelasan Atribut BPL HMI
Kode Etik BPL HMI
3
Filsafat Pendidikan

Hakikat Pendidikan
Hakikat Pendidikan Islam
Hakikat Manusia, Alam, dan Pendidikan
4
Psikologi Pendidikan

Gejala Jiwa dan Keragaman Individu
Hakekat dan Teori Belajar
Hakekat, Prinsip, dan Pendekatan Pembelajaran
5
Pengantar Ilmu Komunikasi

Definisi dan Konsep Komunikasi
Fungsi dan Tujuan Komunikasi
Komunikasi Verbal dan Nonverbal
Proses Komunikasi
6
Sistematisasi Pelatihan

Fungsi Kurikulum dan Silabus
Metode Penyusunan Modul Pelatihan
Metode Penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
7
Pedagogi, Andragogi, dan Heutagogi

Definisi dan Konsep Pedagogi
Definisi, Konsep, dan Sasaran Andragogi
Heutagogi sebagai Perpanjangan Andragogi
Refleksi Pembelajaran dan Penelitian Tindakan Kelas
8
Format Pelatihan HMI

Latihan Kader I (LK I)
Latihan Kader II (LK II)
Latihan Kader III (LK III)
Latihan Kader KOHATI (LKK)
Pelatihan LPP, BPL, dan BALITBANG
9
Evaluasi dan Teknik Penilaian

Tujuan dan Fungsi Evaluasi
Alat Evaluasi
Aspek dan Teknik Penilaian
Alat Penilaian
10
Pembangunan Suasana
Public Speaking
Ice Breaking
11
Simulasi Pengelolaan Training
Simulasi Pembukaan Forum Hari Pertama Training (LK I, LK II, LKK, SC)
Simulasi Penyampaian Materi (LK I, LK II, LKK, SC)
12
Penyusunan Rencana Tindak Lanjut (RTL)
Metode dan Penyusunan RTL



Peserta
Peserta Senior Course sebagai representasi dari calon instruktur HMI akan berproses dalam forum pelatihan ini. Sehingga kuantitas dan kualitas mereka harus mumpuni untuk menyerap ilmu yang disampaikan tanpa mengganggu konsentrasi peserta lain. Dengan demikian, maka jumlah peserta efektif yang ideal 15 orang dan jumlah maksimal 20 orang.

Disamping itu peserta akan dapat mengikuti proses pelatihan dengan reaksi dan interaksi yang memiliki probabilitas tinggi untuk terbentuknya instruktur berkualitas, apabila mereka paling tidak telah mendalami materi-materi Latihan Kader I dan memahami Pedoman Perkaderan serta Pedoman BPL HMI. Kualifikasi ini dapat diperoleh dengan seleksi pada awal pendaftaran.



BPL HMI Cabang Pontianak

{facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google-plus#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget