Khittah Perjuangan (Keyakinan Muslim) Kongres Ke 26 HMI
Dikutip dari : Khittah Perjuangan Kongres Ke 26 HMI
Keyakinan merupakan dasar dari setiap gerak dan aktivitas hidup manusia. Karena itu manusia secara fitri membutuhkan keyakinan hidup yang dapat menjadi pegangan dan sandaran bagi dirinya. Ini berarti manusia menyadari, bahwa dirinya adalah makhluk lemah yang membutuhkan pertolongan, bimbingan dan perlindungan dari sesuatu yang diyakini sebagai yang Maha. Perkara keyakinan tertuang dalam suatu sistem keyakinan atau ideologi. Tiap-tiap sistem keyakinan memiliki konsepsi tersendiri dalam mengantarkan pengikutnya pada pemahaman dan kepercayaan terhadap tuhan. Pertama, sistem keyakinan yang obyeknya didasarkan pada sesuatu yang nyata. Kebenaran diukur melalui indera dan pengalaman. Sistem ini disebut kebenaran ilmiah. Secara filosofis kebenaran ilmiah memiliki kelemahan karena tidak dapat menjelaskan sisi kehidupan yang berada di luar pengalaman inderawinya.
Salah satu di antaranya adalah mengenai Tuhan. Tuhan tak dapat diyakini keberadaannya lewat bantuan sistem keyakinan ilmiah. Selain obyeknya, metodenya juga rapuh karena setiap teori yang diklaim sebagai kebenaran baru sekaligus mengandung keraguan. Manusia tak dapat berpegang teguh pada prinsip yang di dalamnya mengandung kebenaran dan keraguan sekaligus, karena hal itu bukan keyakinan, melainkan persangkaan saja. Al-Qur’an menegaskan bahwa persangkaan tak dapat mengantarkan manusia pada kebenaran.
Kedua, sistem keyakinan yang didasarkan pada doktrin literal. Sistem ini dapat ditemukan dalam semua agama. Pada dasarnya, sistem keyakinan literal mengingkari arti pentingnya akal sebagai sarana verifikasi kebenaran. Baginya, kebenaran adalah sesuatu yang sudah jadi secara sempurna dan harus diterima tanpa perlu menyadarinya terlebih dahulu. Akibat sistem keyakinan literal, manusia potensial melarikan diri dari kenyataan dan tantangan zaman setelah telanjur mendikotomi antara doktrin ketundukan pada ayat suci dengan peran- peran peradaban manusia. Termasuk dalam kategori ini adalah keyakinan yang didasarkan pada kebiasaan budaya yang diwarisi dari nenek moyang yang tidak sesuai dengan petunjuk Tuhan.
Islam mengajarkan sistem keyakinan yang disebut Tauhid. Tauhid berbeda dengan dua sistem keyakinan di atas karena cara pandangnya terhadap eksistensi (wujud). Tauhid merupakan konsepsi sistem keyakinan yang mengajarkan bahwa Allah SWT adalah zat Yang Maha Esa, sebab dari segala sebab dalam rantai kausalitas. Ajaran Tauhid membenarkan bahwa manusia dibekali fitrah yaitu suatu potensi alamiah berupa akal sebagai bekal untuk memilih sikap yang paling tepat serta untuk mengenali dan memverifikasi kebenaran dan kesalahan (haq dan bathil) secara sadar. Manusia meyakini Tuhan dengan metode yang berbeda-beda.
Pada sistem keyakinan lainnya, “Yang Maha” atau yang dirumuskan sebagai Tuhan, hanya dijelaskan berdasarkan persepsi dan alam pikir manusia sendiri. Sedangkan dalam konsepsi Tauhid, selain pencarian akal manusia sendiri sebagai alat mendekati kebenaran mutlak, juga melalui wahyu di mana Tuhan menyatakan dan menjelaskan diri-Nya kepada manusia. Jadi, Tauhid memberi tuntunan berupa wahyu Allah melalui para nabi. Tauhid merupakan inti ajaran yang disampaikan pada seluruh manusia di setiap zaman. Ini berarti bahwa ajaran Tauhid adalah ajaran universal.
Tauhid merupakan misi utama seluruh nabi dan rasul yang diutus Allah SWT. Mereka menyampaikan risalah tauhid sesuai dengan tingkat peradaban masyarakatnya. Syari’at Tuhan silih berganti disempurnakan setiap kali nabi dan rasul diutus untuk mempersiapkan datangnya nabi dan rasul penutup. Tauhid yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW sebagai nabi terakhir yang dijanjikan Allah, dinyatakan dalam dua kalimat syahadat, yaitu; Asyhadu an lâ ilâha illallâh, Wa asyhadu anna Muhammadan Rasûlullâh. Artinya, aku bersaksi bahwasanya tiada ilah selain Allah dan aku bersaksi bahwasanya Muhammad adalah rasul Allah. Setiap manusia telah menyatakan syahadat ini sebelum ia dilahirkan. Persaksian syahadat itu mengakibatkan manusia harus meniadakan sesembahan, tempat bergantung dari segala sesuatu yang dipertu-hankan. Ini juga berarti bahwa dimensi syahadat adalah pengakuan dan ketundukan.
Pengakuan bahwa Allah adalah Tuhan pencipta langit dan bumi serta makhluk-makhluk yang ada dapat diakui oleh siapa saja yang menggunakan akalnya, demikian juga dengan doktrin yang diterima sebagai warisan budaya. Namun jika manusia diajak untuk tunduk dan berserah diri penuh kepada perintah Allah, sebagian manusia menolaknya. Pengakuan yang tak dibarengi dengan ketundukan pada hakikatnya adalah kecacatan Tauhid.
Allah SWT menurunkan wahyu melalui Jibril sejak Adam as. sampai Muhammad SAW, dalam bentuk shuhuf, ataupun dalam bentuk kitab. Wahyu-wahyu sebelum diturunkannya Al Qur’an dibawa oleh para rasul sebagai petunjuk bagi kaum dan kurun tertentu, untuk menata sistem kehidupan di zamannya masing-masing, sedangkan Al Qur’an diturunkan sebagai petunjuk seluruh manusia dan berlaku sepanjang masa. Selain sebagai petunjuk, Al Qur’an juga sebagai kitab penjelas atas petunjuk dan pembeda (haq dan batil), serta pembenar dan penyempurna kitab-kitab sebelumnya, sehingga Al Qur’an mengandung ajaran yang sempurna dan terjaga keaslian dan kelestariannya sampai hari kiamat.
Kandungan Al Qur’an yang amat penting terletak pada misi dan seruan kepada manusia untuk beriman, beribadah serta beramar ma’ruf nahi mungkar. Al Qur’an juga dinyatakan sebagai kitab yang memberi petunjuk, pembeda, pengingat, pembawa berita gembira, pembawa syari’at yang lurus dan pedoman bagi manusia. Al Qur’an diklaim bahwa dirinya adalah kitab yang membawa misi pembebasan bagi manusia dari kegelapan menuju cahaya. Itulah sebabnya manusia diperintah Allah agar menerima Al Qur’an tanpa keraguan.
Kandungan Al Qur’an tidak hanya memuat ajaran tauhid dan peribadatan, tetapi Al Qur’an juga memberikan persepsi tentang masalah-masalah kosmologi, sejarah, fenomena sosial, membicarakan suatu entitas tertentu secara mondial, misalnya tentang langit dan bumi dengan detail atau rinci. Kelengkapan Al Qur’an ini diimbangi dengan seruan Allah pada manusia agar hati dan akalnya senantiasa dimanfaatkan dalam segala hal dan digunakan untuk memikirkan permasalahan intelektual. Al Qur’an menunjukan kelengkapan ajaran dan misi yang diperuntukan bagi manusia, sehingga Allah berkenan menurunkan sejarah kenabian dan kerasulan di dalamnya, berikut dengan konsekuensi penerimaan dan penolakannya.
Semua nabi menyampaikan ajaran tauhid tanpa pemaksaan, namun dengan penyampaian, pengajaran dan peringatan, serta memberikan janji tentang kesucian diri kepada manusia. Keyakinan akan bimbingan oleh para nabi disebut dengan doktri kenabian. Kenabian ini amat penting karena dalam kenyataan hidupnya, manusia ternyata tidak senantiasa mampu menjaga dan mengembangkan jati diri untuk kembali kepada fitrahnya secara mandiri, bahkan tidak jarang manusia tenggelam dalam noda dan dosa serta kekafiran.
Penyampai risalah yang memiliki otoritas sebagai uswatun hasanah, harus menyampaikan risalahnya kepada manusia secara langsung agar dapat dipraktekkan di kehidupan manusia. Perilaku kehidupan manusia yang diridhoi Allah SWT diajarkan oleh Islam dalam konsep kesaksian syahadah rasulnya. Maka kedudukan nabi, rasul dan Muhammad sebagai penutupnya tidak cuma penyampai risalah dan menjadi uswatun hasanah, akan tetapi juga sebagai acuan dan sumber syari’ah setelah wahyu.
Pada realitas sosial, selain mengajarkan risalah, setiap rasul terutama Muhammad SAW juga memimpin dan mendidik umatnya, dan dalam keadaan tertentu juga menjadi panglima perang. Kehadiran dan peran ini memiliki kesamaan misi, yakni menyelamatkan dan membebaskan manusia dari kehancuran dan dari api neraka, serta mengajaknya pada kehidupan yang sejahtera dunia akhirat. Kompleksitas peran dan kedudukan nabi menunjukkan bahwa persoalan agama bukanlah sebatas rohani, spiritual, etika dan keakhiratan belaka, tetapi meliputi semua kehidupan manusia.
Salah satu misi adalah untuk mengembangkan “kejatidirian” manusia dengan benar, terletak pada pandangan dan penjelasan Al Qur’an tentang alam semesta. Menurut Al Qur’an, keberadaan alam semesta juga karena diciptakan.Proses penciptaan itu sendiri berjalan secara evolutif dalam enam masa. Alam diciptakan Allah SWT dalam keadaan seimbang dan tanpa cacat. Alam semesta secara pasif adalah muslim. Keberadaannya sebagai bukti kekuasaan dan keberadaan Allah SWT. Karena itu manusia jangan terperosok ke dalam penyembahan terhadap alam, dan melupakan Tuhan karena interaksinya yang keliru terhadap alam.
Alam semesta ini diciptakan Allah SWT untuk manusia dan menjadi pelajaran baginya. Manusia berhak mengelola dan memanfaatkannya guna memenuhi kebutuhan dan untuk mencapai tujuan hidupnya. Tetapi sebaiknya, manusia dilarang meng-eksploitasi dan merusaknya sehingga segala akibatnya akan diderita oleh manusia. Agar manusia dapat memperoleh pelajaran, maka alam juga dilengkapi dengan ukuran atau qadar dan hukum-hukum tertentu yang disebut sunnatullah. Sunnatullah pada alam semesta bersifat tetap, dapat diamati dan dipelajari oleh manusia.
Oleh karena itu jika manusia secara serius mau memperhatikan alam dengan mengi-kuti petunjuk kitab suci dan nabinya serta mendayagunakan secara maksimal akal budinya maka ia akan dapat memperkirakan perjalanan alam dan selanjutnya menguasainya secara proporsional. Dari sinilah sejarah hidup manusia dan masa depannya diuji Apakah dengan diturunkannya risalah universal itu manusia dengan sadar mengikutinya yang berarti muslim atau menempuh jalan lain yang berarti kafir atau munafiq.
Setiap pilihan manusia membawa konsekuensi di dunia maupun di akherat. Konsekuensi di akherat akan menjadi tanggungan bagi dirinya sendiri. Suatu masa ketika setiap manusia harus mempertanggungjawabkan seluruh amal perbuatannya disebut hari kiamat atau hari pembalasan. Pada hari itu semua amal manusia akan dihisab atau dihitung dan ditimbang baik dan buruknya. Akhirnya, sebagai konsekuensi amal perbuatannya, apabila kebajikannya lebih banyak, akan menjadi ahli surga atau sebaliknya menjadi ahli neraka.
Sistem keyakinan merupakan konsepsi yang menjiwai cara pandang tentang pengetahuan (ma’rifah), cara pandang tentang manusia, cara pandang tentang kemasyarakatan, cara pandang tentang alam semesta, dan cara pandang tentang akhir kehidupan manusia. Bagian berikut dari bab ini nantinya akan menguraikan secara lebih lengkap mengenai cara pandang HMI tentang keilmuan hingga cara pandang tentang keakhiratan yang dijiwai oleh sebuah sistem yang diyakini bersama yaitu sistem keyakinan Tauhid.
Dikutip dari : Khittah Perjuangan Kongres Ke 26 HMI
Download E-Book nya disini
Download E-Book nya disini