BINTANG ‘ARASY Tafsir filosofis-Gnostik Tujuan HMI (Ridha Allah SWT)
BINTANG ‘ARASY
Tafsir filosofis-Gnostik Tujuan HMI (Meraih Ridha)
Sejatinya, sebuah tujuan harus menyentuh otak sekaligus hati; menggugah rasio dan emosi. Setelah sebelumnya secara argumentatif dibahas melalui perspektif rasional-tekstual, kini tujuan HMI di- perkenalkan melalui pendekatan filosofis-sufistik, tasawuf, gnosis atau irfan. Keseluruhan bab ini membahas nilai-nilai transenden yang menjadi tujuan himpunan, seperti teringkas pada piramida berikut:
Apa Tujuan HMI? Secara konseptual, dalam rumusan sederhana, tujuan HMI adalah “IMH”, yaitu tajalli “HMI” itu sendiri. Tajalli artinya “perwujudan”, “pengejawantahan”, “penampakan”, “pantulan”, “refleksi”, atau “manifestasi”. Misalnya, ketika berkaca, dicermin muncul wujud kita sendiri. Itu namanya tajalli. Demikian juga dengan HMI, ketika direfleksikan, akan muncul wujud reflektif: “I”-“M”-“H”. Konsepsi ini tentu bersifat sangat simbolik, dengan penjelasan seperti berikut.
Target dasar HMI (basic goal) adalah individual, yaitu membentuk “I” (insan kamil, insan cita). Perkaderan bertujuan mentransform personal anggotanya menjadi “manusia sejati”. Ini merupakan proses pendakian dari ‘lembah yang gelap’ (kualitas basyar) menuju ‘Arasy Tuhan (berkualitas insan, hidup melebihi tapal batas kehidupan binatang). Seperti puisi Hafiz Syirazi: “Engkau telah dipanggil-panggil dari Arasy yang agung, lalu mengapa pula engkau masih bermukim dilembah ini”.
Tujuan selanjutnya HMI (intermediate goal) bersifat sosial, yaitu perjuangan mewujudkan “M” (masyarakat adil makmur, masyarakat cita). Setiap kader didoktrin untuk ‘turun’ dari ‘menara gading’ yang tinggi guna mengabdikan hidup bagi kemajuan masyarakat. Inilah insan kamil dalam relasi dengan alam, hidup seimbang sebagai hamba (ibadah vertikal) dan sebagai khalifah (muamalah, ibadah sosial).
Sedangkan tujuan tertinggi (ultimate goal) atau inti dari keseluruhan Tujuan HMI adalah “H” itu sendiri, yaitu Hu (Dia, Allah). Inti tujuan ini selaras dengan bait akhir Tujuan HMI: “....diridhai Allah SWT”.
Karena tujuan ber-HMI semata-mata “hanya untuk Allah SWT”; maka aktifitas dan pengabdian seorang kader pada dasarnya adalah upaya mengenal (ma’rifat), mendekat (taqarrub), kembali (ruju), lebur (fana), atau memperoleh cinta (ridha-Nya). Hal ini sejalan dengan konsepsi Islam, bahwa “awal” dari beragama adalah “mengenal Allah”: awaluddin ma’rifatullah. Inilah akar irfani ber-HMI.
Ridha berasal dari kata ”radhiya-yardha”, artinya: “menerima dengan lapang dada tanpa rasa kecewa atau tertekan”. Ridha tidak berarti pasrah dalam bentuk putus asa. Ridha berarti optimis, bukan fatalis. Ridha Allah mengandung arti “memerima sepenuh hati ketetapan dan ketentuan Allah”. Menerima ketetapan Allah berarti memiliki komitmen untuk melaksanakannya. Oleh sebab itu, Ridha menuntut usaha aktif. Makanya, orang yang Ridha kepada Allah selalu bekerja, belajar, berjuang, berkorban, dan berbuat baik tanpa kenal lelah. Ridha kepada Allah selalu berada dalam konteks positif. Menerima ketentuan Allah dengan berbaik sangka dan tulus ikhlas. Karena keikhlasan inilah maka mencapai Ridha Allah mengandung arti melakukan sesuatu bukan karena pamrih, ingin pamer, menjilat, atau karena kepentingan sesaat;
Mencapai Ridha Allah murni semata-mata untuk meraih kecintaanNya. Oleh sebab itu, memperoleh Ridha Allah adalah puncak segala kebahagiaan. Kalau Allah sudah ridha atau cinta, maka kita akan ditinggikan derajat dan kemuliaan”. Karena Ridha Allah juga mengandung makna Cinta. Maka ini merupakan stasiun atau makam tertinggi yang ingin dicapai oleh setiap hamba. Kalau Allah sudah ridha, rela atau cinta kepada kita maka kita sudah memiliki segala-galanya. Mencapai Ridha Allah berarti berusaha menjadi kekasihNya. Inilah tujuan hidup tertinggi dari seorang hamba;
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.” (Attaubah:100)
“Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah syurga ‘Adn yang mengalir di bawahnya sungaisungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepadaNya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya.” (Al Bayyinah:8)
Allah berfirman: “Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar kebenaran mereka. Bagi mereka surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya; Allah ridha terhadapNya. Itulah keberuntungan yang paling besar.” (Al Maidah:119)
“Jikalau mereka sungguh-sungguh ridha dengan apa yang diberikan Allah dan RasulNya kepada mereka, dan berkata: “Cukuplah Allah bagi kami, Allah akan memberikan sebagian dari karunia-Nya dan demikian (pula) Rasul-Nya, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berharap kepada Allah,” (tentulah yang demikian itu lebih baik bagi mereka).” (At Taubah:59)
“Mengapa kamu datang lebih cepat daripada kaummu, hai Musa?” Berkata, Musa: “Itulah mereka sedang menyusuli aku dan aku bersegera kepada-Mu. Ya Tuhanku, agar supaya Engkau ridha (kepadaku).” (Thaahaa:83-84)
“Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka, dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung.”( Al Mujaadilah:22)
“Ridhallaah ridhal waalidaini’. Hadist (Ridha Allah diperoleh dari ridha ke dua orang tua). Membahagiakan orang tua, guru dan manusia secara umum adalah sebagian dari langkahlangkah untuk mencapai Ridha Allah.
Sebagai penutup, apa yang sesungguhnya dicari HMI? Terjawab pada beberapa bait akhir rumusan tujuan, “....ridha Allah SWT”. Inilah motivasi dasar ber-HMI. Menjadikan Allahswt sebagai satu-satunya tujuan merupakan komitmen mental-spiritual dalam berorganisasi. Sikap jiwa ini disebut “independensi etis”, tunduk patuh atau terikat hanya pada nilai-nilai Ilahiyah. Ketergantungan dan kepasrahan hanya kepada Allahswt. Segala pencapaian di dunia semata-mata hanya karena kecintaan ingin memperoleh ridha-Nya.
Ridha merupakan maqam kegembiraan dan kesenangan hamba kepada Allah SWT, atas segala pemberian, kehendak, qadha dan qadarnya. Ridha merupakan aspek “immateri” dari sebuah tujuan. Jadi wujudnya sangat spiritual. Semakin tinggi jiwa seseorang maka semakin tinggi pula keinginannya. Sesuatu yang paling tinggi itu adalah Allahswt, Wujud Non- Materi. Dengan demikian, wujud tujuan tertinggi tentu bersifat Non- Materi.
Seseorang yang masih pada fase dasar beragama, biasanya tertarik hanya pada imbalan-imbalan yang bersifat materialistis. Ibarat anakkecil yang termotivasi untuk sholat hanya karena iming-iming permen dari ibunya. Orang yang masih awam dalam beragama juga demikian, tertarik hanya pada pahala yang berbentuk “syurga” dengan berbagai gambaran “sungai” dan keindahan “bidadarinya”.
Bagi kaum irfan, sesuatu yang ingin dicapai adalah Allahswt itu sendiri, Dzat yang tidak dapat dibentuk dalam imajinasi. Allahswt adalah tujuan tertinggi dari hidup seorang kader sejati. Bukan berarti mereka menolak adanya syurga dan segala macam wujud yang ada di dalamnya. Hanya
saja mereka tidak menempatkan itu di hati mereka. Karena dalam konsepsi “khalik-makhluk”, syurga itu ciptaan Tuhan, bukan Tuhan. Bagi orang-orang meng-Esa-kan Tuhan; puncak kebahagiaan, keindahan dan kesempurnaan bukan syurga, tetapi Tuhan. Maka bagi kaum sufi, mengharapkan sesuatu selain ridha Tuhan dianggap syirik.
Bahkan ridha disebut-sebut berada di atas maqam keislaman atau taslim (pasrah). Jika taslim (islam) bermakna “pasrah”, yaitu “menerima tanpa membantah segala ketentuan Tuhan”, maka ridha bermakna “menerima dengan penuh kegembiraan segala sesuatu yang merupakan ketentuan
Tuhan”. Artinya, seorang hamba yang ridha selalu bahagia dan bersikap positif atas segala pencapaian, dalam susah dan senang, dalam lebih dan kurang.
Ridha tidak sekedar “rela” dalam pemahaman bahasa Indonesia. Sebab “rela” dalam kosakata Indonesia sekedar bermakna “pasrah”. Tapi Ridha adalah ekspresi kerelaan yang disertai rasa “senang”, “bahagia” dan “gembira”. Contoh, bagi yang berada pada maqam taslim (pasrah), maka
sholat dilakukan sebagai sebuah sikap pasrah, tanpa membantah, karena dianggap sebagai “kewajiban”. Sedangkan pada maqam ridha; sholat, jihad dan ibadah lainnya dikerjakan dengan suka cita walau penuh rintangan dan tantangan, karena tidak dimaknai lagi sebagai kewajiban
melainkan sebagai media ekspresi cinta kepada Tuhan.
Berkenaan dengan ridha, salah satu wali pendiri tariqat Qadiriyyah, Sayyid Abdul Qadir alJailani (470-561H/1077-1166M) mengatakan :
“Hendaklah engkau beramal untuk mencari ridha-Nya, dan hendaknya engkau tidak meminta pahala sedikitpun. Dalam beramal, hendaknya tujuanmu adalah mencari ridha-Nya dan berdekatan dengan-Nya di dunia maupun akhirat”. Karena fokusnya murni kepada Tuhan, maka ridha dengan demikian juga bermakna “menceraikan dunia” dan segala sesuatu selain Tuhan.
Menurut beliau, hati orang-orang yang bertauhied tidak digunakan untuk mengejar dunia, juga tidak untuk mengejar akhirat. Tidak juga mereka hidup untuk mengejar kedua-duanya. Orang-orang mukmin adalah mereka yang hati dan raganya digunakan untuk mengejar ridha Allah SWT. Disinilah letak nilai irfani (gnostik) dari tujuan HMI. Semua amalan ditujukan bukan untuk mengumpulkan “dunia”, bukan untuk mengharap “akhirat”, bukan untuk mengais “pahala”, juga bukan untuk mendapat “syurga”. Melainkan untuk semakin dekat dengan-Nya, untuk memperoleh “ridha”-Nya, di dunia dan akhirat.
Juga mengutip Rabi’ah Adawiyah, seorang sufi perempuan Basrah abad 2 Hijriah:
Aku mengabdi kepada Tuhan
Bukan karena takut neraka,
Bukan pula karena mengharap masuk syurga,
Tetapi aku mengabdi, karena cintaku kepada-Nya.
Ya Allah, jika aku menyembah-Mu karena takut neraka,
Bakar aku di dalamnya.
Jika aku menyembah-Mu karena mengharap syurga,
Campakkan aku darinya.
Tetapi jika aku menyembah-Mu demi Engkau semata,
Janganlah Engkau enggan memperlihatkan keindahan wajah-Mu kepadaku.
“Ridha Allahswt” merupakan arah perkaderan dan perjuangan HMI. Bahwa awal dan akhir dari segala pencapaian, adalah untuk memperoleh kecintaan Allahswt. Nilai-nilai spiritualitas seperti inilah yang harus ditanamkan sejak awal guna memurnikan gerakan, seperti terucap dalam bai’at perkaderan dan kepengurusan:
“Aku ridha dengan Allah sebagai Tuhanku, dan dengan Islam sebagai agamaku, dan Muhammad sebagai Nabi dan Rasulku”.
Seperti tersederhanakan pada gambar di atas, Tujuan HMI adalah terbinanya insan yang rasional (akademis), yang kapasitas keilmuan mereka dibuktikan dalam berbagai inisiatif, gagasan, eksperimen, gebrakan, rintisan, temuan, dan karya (pencipta). Manusia-manusia yang rasional dan kreatif ini menjalani hidup bukan semata-mata untuk kepentingan diri sendiri, melainkan membangun gerakan untuk membuat masyarakatnya semakin berkualitas (pengabdi). Lebih penting lagi, ketiga kualitas tersebut harus tumbuh diatas nilai-nilai ilahiyah (bernafaskan Islam) dan berkembang diatas kesadaran untuk mengemban amanah sebagai khalifah Tuhan (tanggungjawab), guna membangun sebuah model masyarakat yang semakin hari semakin baik.
Kelima kualitas insan tersebut juga disebut dengan kader yang memiliki maksimalisasi “iman-ilmu-amal”. Mereka inilah “muslem-intelektual-profesional”, atau kader yang berakhlakul karimah. Mereka ini memiliki kesalehan individual (mampu memimpin dirinya sendiri) serta memiliki kesalehan sosial (mampu memimpin masyarakat). Inti dari tujuan hidup atau cita-cita para insan ilahiyah ini semata-mata hanya untuk mendapatkan kerelaan (ridha) Tuhan, baik bagi dirinya maupun masyarakatnya, di dunia dan akhirat.*****
Penulis : Said Muniruddin
Dikutip : BINTANG ‘ARASY Tafsir filosofis-Gnostik Tujuan HMI